Saturday, April 08, 2006

Esai: Unila sebagai Pusat Kebudayaan Lampung?

--Udo Z. Karzi

Ulun Lampung, bergiat di Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Lampung

Judul esai ini sebenarnya sudah mengendap sekian lama setelah berkali-kali berbincang-bincang A. Fauzie Nurdin, staf pengajar Pascasarjana IAIN Raden Intan yang tengah menempuh studi doktoral di bidang filsafat. Dia berkali-kali mengeluhkan minimnya tradisi pemikiran (intelektualitas), terutama di bidang filsafat dan kebudayaan di Negeri Sang Bumi Ruwa Jurai.

Dia berkukuh pemikiran filsafat dan kebudayaan seharusnya menjadi bagian penting dalam membangun masa depan sebuah bangsa. Tidak terkecuali untuk Provinsi Lampung. Pemikiran-pemikiran besar tentang kehidupan, kemasyarakatan, dan kemanusiaan banyak lahir dari para filsuf dan budayawan. Kebesaran nama bangsa-bangsa dari dulu hingga kini, sebut saja Yunani, Romawi, Jerman, Prancis, dan Timur Tengah banyak disokong pemikir-pemikir ulung, baik filsafat maupun kebudayaan.

Maka, dia pun melontarkan gagasan tentang pentingnya perguruan tinggi di Lampung membuka fakultas/jurusan filsafat atau budaya. Memang, banyak pihak yang secara sporadis menyatakan concern dengan persoalan-persoalan kebudayaan.

Sebut saja Dewan Kesenian Lampung (DKL), Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL), Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Lampung, Pusat Informasi Budaya Lampung (PIBL), dan berbagai komunitas atau sanggar seni lainnya. Di Unila, terdapat Jurusan Bahasa dan Sastra dan D-3 Bahasa dan Sastra Lampung. Tetapi, itu jelas tidak terlalu memadai untuk membangun pemikiran kebudayaan karena fokusnya lebih pada pendidikan bahasa dan sastra (FKIP).

Tentu saja akan lain kalau Universitas Lampung (Unila) memiliki fakultas budaya atau fakultas filsafat. Pewacanaan kebudayaan akan lebih intens melalui sistem perkuliahan, riset, dan berbagai event budaya yang lebih ilmiah.

***

Pada kesempatan lain, saya membaca dua buku yang terbit awal tahun ini, yaitu Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana (Pustaka Pelajar, 2006) yang dieditori S. Abdul Karim Masyad dan Manusia Bugis (Nalar, 2006) karya Christian Pelras dalam edisi Indonesia.

Yang pertama, S. Takdir Alisjahbana (STA). Siapa tidak kenal dengan--pinjam istilah Mochtar Lubis--manusia unggul satu ini. Tokoh Pujangga Baru ini dikenal sebagai penyair, novelis, sastrawan, penulis, pendidik, pemikir, budayawan, dan sebagainya yang bermuara pada pemikiran kebudayaan.

Polemik Kebudayaan pada 1930-an yang melibatkan STA di satu sisi dengan Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan lain-lain masih tercatat sebagai bentuk pergulatan pemikiran kebudayaan tentang bagaimana seharusnya membangun Indonesia. Kini, hampir 70 tahun berlalu polemik kebudayaan itu.

Pemikiran kebudayaan STA mendapat cercaan di sana-sini, tetapi dalam realitasnya, yang mewujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri justru apa yang menjadi pemikiran STA itu.

Kita lebih berorientasi ke barat. Modernisasi dan industrialisasi hendak dicapai, tetapi westernisasi dan "impor" segalanya dari luar negeri. Secara budaya kita dijajah!

Sementara itu, selama hampir 61 tahun Indonesia merdeka, pemerintah negeri ini nyaris mengabaikan kebudayaan. Apalagi hendak merumuskan strategi kebudayaan.

Semasa Orde Lama, politik menjadi panglima. Orde Baru menjadikan ekonomi sebagai dewa. Sedang pemerintah pascareformasi masih juga belum melihat pentingnya strategi kebudayaan dalam membangun masa depan negara-bangsa Indonesia.

Tentu saja Lampung, provinsi ujung di Pulau Sumatera ini tidak jauh beda. Lampung toh Indonesia mini. Apa yang tak ada di Lampung. Tak terkecuali hal yang buruk-buruk dari sikap, perilaku, dan gaya hidup yang serba-Barat.

Lampung (yang punya masyarakat, bahasa, sastra, dan budaya) telah tercerabut dari akar budayanya. Tentang hal ini sudah terlalu sering dibahas. Tetapi, kebanyakan orang lebih suka berpikir pragmatis: Untuk apa berkutat pada hal-hal yang tidak konkret semacam pemikiran kebudayaan sementara urusan perut saja tak beres. Ah....

Kedua, tentang manusia Bugis. Kita patut iri dengan Bugis. Dulu, mereka dikenal sebagai pelaut-pelaut ulung, meskipun sebenarnya mereka juga banyak yang petani tangguh. Ada juga, Syekh Yusuf, ulama asal Makassar yang menyebarkan Islam di Afrika Selatan. Dan, baru-baru ini orang tersentak karena dari manusia Bugislah, justru ditemukan naskah sastra paling tebal di dunia, La Galigo.

***

Sekarang kita bandingkan dengan kondisi di Lampung. Beberapa tahun lalu pakar sosiolingustik UI Asim Gunarwan mengatakan bahasa Lampung bisa punah 75--100 tahun lagi. Semua gelagapan. Sebagai turunannya, pengamat sastra Lampung A. Effendi Sanusi pun berkata, "Sastra lisan Lampung terancam punah."

Ada juga "Raja Cetik" Syafril Yamin yang mengeluhkan seni-budaya tradisi Lampung Barat mulai ditinggalkan. Lalu, satu per satu secara bergiliran--apa pun juluk adoknya, apa pun pangkatnya, apa pun jabatannya--berbicara hal yang relatif sama tentang betapa menyedihnya kondisi bahasa, sastra, seni, budaya Lampung dan mengatakan perlunya melestarikannya.

Tetapi, apa yang dilakukan? Sebatas "cawa-cawa". Ada juga yang konkret dengan menekuni kesenian tari, musik, sastra, dan juga berbagai bentuk tradisi kelisanan belaka.

Lama-lama saya berpikir, jangan-jangan orang Lampung itu "cuma pinter ngomong doang". Mungkin ada yang bilang, tidak kami juga menulis. Tetapi, yang ditulis ya...itu tradisi kelisanan itu (sastra lisan). Semacam menuliskan pattun, segata, wayak, pisaan, dll. bentuk sastra lisan dalam makalah atau mungkin buku.

Waduh, jangan bandingkan dengan STA yang menulis ratusan puisi, roman, serta buku-buku, paper, makalah seminar ilmiah untuk mendukung cita-citanya membangun "kebudayaan baru" Indonesia. Jangan pula bandingkan dengan naskah La Galigo yang tertulis dengan ratusan sastra lisan Lampung yang biasanya anonim dan dihapal secara turun-temurun.

Sungguh tidak gampang memahami sesuatu yang bernama kebudayaan Lampung. Sebab, konsep kebudayaan (Lampung) yang sangat kompleks masih banyak tercecer dalam bentuk lisan (oral) atau dalam bentuk-bentuk kebiasaan saja.

Lampung memang tidak seberuntung Jawa, Sunda, Melayu, Bali, dan beberapa etnik lain di Indonesia yang sejak lama kuat dalam tradisi keberaksaraan. Naskah-naskah kuno semacam Negarakertagama, Babad Tanah Jawi, Hikayat Aceh, Gurindam 12, dan sebagainya tak pernah ditulis dalam bahasa Lampung, meskipun Lampung memiliki aksara Kaganga (yang konon mirip dengan huruf Bugis dan Batak).

***

Dalam kondisi itu, sebenarnya saya lama berkeras menumbuhkan budaya menulis, tradisi berpikir (intelektualitas). Bukankah sejarah terbentuk dari tulisan? Dalam konteks kebudayaan Lampung, usaha-usaha yang selama ini dilakukan banyak pihak untuk "melestarikan" bahasa, sastra, seni, dan budaya, jauh dari cukup.

Sekarang saja, terlampau sedikit literatur atau panduan tertulis, apa lagi yang berbentuk pemikiran kebudayaan tentang Lampung atau di Lampung.

Keadaan tersebut masih ditambah dengan terlalu banyaknya kesalahan persepsi orang-orang Lampung tentang apa yang disebut kebudayaan Lampung. Bukankah kebudayaan Lampung itu tidak dibangun sendiri seseorang atau segelintir orang? Bukankah kebudayaan Lampung bukan sesuatu yang statis yang tidak mungkin berubah atau bergeser, bahkan mungkin punah?

Sebab itu, revitalisasi kebudayaan Lampung, reinventing kebudayaan Lampung atau apa pun istilah yang tepat mendinamisasi kebudayaan Lampung menjadi sesuatu yang penting. Wacana kritis (sekali lagi: Ditulis!) sangat dibutuhkan bagi pengembangan kebudayaan Lampung.

Sebuah tradisi dikritik ya wajar dan sudah seharusnya. Dengan demikian, akan lahir pemikiran (kebudayaan) baru atau bahkan mungkin, tradisi baru yang dinilai kontekstual dengan kekinian. Jadi, bukan mengawetkan (konservasi?) kebudayaan Lampung.

Pertanyaanya, siapakah yang harus memulai? Lembaga apakah yang paling tepat untuk menjalankan peran itu?

***

Jumat, 7 April 2006, saya seperti segera menemukan jawabannya. Di Kompas hari itu, Ketua Majelis Wali Amanah Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof. Dr. H.S. Dillon mengemukakan pendapat bahwa perguruan tinggi (PT) harus bisa menjadi pusat kebudayaan. Kutipannya: "Kebijakan pengembangan sains dan teknologi harus didorong berdasarkan kebutuhan dan kemampuan rakyat. Namun, seluruh urusan pendidikan, pelatihan, dan pengembangannya harus dikembalikan kepada perguruan tinggi sebagai pusat kebudayaan bangsa dalam stategi sains, teknologi, dan kultur."

Tidak terlalu kelop dengan pemikiran A. Fauzie Nurdin. Tetapi, benang merahnya ada pada kata "perguruan tinggi sebagai pusat kebudayaan". Kebetulan saja, saya alumnus FISIP Unila. Selama kuliah, saya merasa Unila menganaktirikan jurusan-jurusan sosial (semoga ini tidak benar!).

Ilmu humaniora? Barangkali, ada sedikit di FISIP, program studi sejarah dan jurusan bahasa dan sastra di FKIP. Artinya, relatif tidak ada fakultas/jurusan yang secara khusus mengelola disiplin ilmu ini.

Kalau dibandingkan dengan universitas lain yang tradisi intelektual-- terutama pemikiran kebudayaannya--relatif berjalan, Unila cenderung mengabaikan hal ini. Maka, agak membingungkan juga bagaimana Unila dapat menelurkan pemikiran-pemikiran kebudayaan (dan filosofis?), bahkan melahirkan budayawan.

Agak paradoks juga jika melihat bagaimana Lampung kini, misalnya, menjelma menjadi provinsi penyair. Penyair, sastrawan atau yang mencoba-mencoba menggeluti pemikiran kebudayaan (dan karena itu belum bisa disebut budayawan!) justru besar di jalanan atau tidaknya bukan dari/oleh Unila.

Gugatan ini dimaksudkan agar Unila menyegerakan pembentukan fakultas sastra atau fakultas ilmu budaya yang sesungguhnya lama digagas. Konon, Prsgram Studi Bahasa dan sastra Lampung menjadi embrio bagi kelahiran fakultas dimaksud. Tabik jama Pak Rektor Unila!

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 8 April 2006

Thursday, April 06, 2006

Sajak: Katanya Reformasi Damai

-- Udo Z. Karzi*

katanya, reformasi damai. kok kita masih suka ngotot, memaksakan kehendak, dan pakai kekerasan segala. mengapa kita tak duduk bersama, gantian ngomong, menghormati pandangan lain, dan menemukan solusi terbaik? mengapa kita merasa paling benar, orang lain salah semua, dan karenanya apa pun kita harus terjang? mengapa kita tak mampu menahan diri dan mempertimbangkan segala sesuatu yang telah, sedang, dan akan terjadi akibat kelakuan kita?

kita masih hobi berbuat dosa, memperturutkan hawa nafsu, sibuk memperjuangkan kepentingan dan ambisi pribadi. Kita tak pernah melakukan sesuatu untuk mewujudkan kedamaian di antara umat manusia. padahal, kita punya momentum bagus untuk memulai segala sesuatu untuk membangun masyarakat-bangsa yang sejahtera. saatnya kita peduli dengan tetangga kita, orang-orang tak mampu, anak terlantar, orang yang menderita dan yang tersiksa.

-- delapan orang tewas dalam bentrokan aparat dan warga di merauke, papua.

besok boleh jadi teman, saudara, tetangga, anak, orang tua, kakak, adik, atau kita sendiri menjadi korban. negeri ini makin tak aman saja. pembunuh berkeliaran di mana-mana; tak semata perampok, penodong, atau aparat bersenjata, tetapi mungkin juga orang yang paling dekat dengan kita, atau bahkan diri kita sendiri.

katanya, reformasi damai. kok berdamai dengan saudara sendiri, teman sendiri, tetangga sendiri, dan diri sendiri saja sulit. kalau itu saja tak bisa, bagaimana mungkin kita bisa bertemu, berbincang, berkencan, menyatukan hati kita. kita sulit melihat kesamaan di antara kita. kita berbeda. Beda fisik, beda visi, beda kepentingan, beda keinginan, beda cara, beda ... semuanya. apa boleh buat, kita saling bermusuhan. kita mesti berpisah. soalnya, kita tak mungkin serumah, selingkungan, sekampung, sebangsa lagi.

-- ah, pahit sekali. mengapa mesti begitu?

dulu, kita memiliki cita-cita bersama, harapan bersama, keinginan bersama, kebebasan bersama, keadilan bersama, kesejahteraan bersama, demokrasi bersama, ... apa-apa milik kita bersama. kita hanya beda tempat tinggal, status, kedudukan, pekerjaan, jabatan, kekayaan, dan apa-apa yang tidak terlalu substansial. cerita tentang penderitaan, perlakuan tidak manusiawi, ketidakadilan, penindasan, penyiksaan, penyulikan, pembunuhan, dan pembantaian, itu semua ulah penguasa masa lalu yang tidak pernah kita kehendaki bersama.

kini, zaman berganti. kita kok masih saja suka dengan segala sesuatu yang selama ini kita benci: pemaksaan kehendak, kekerasan, dan pembunuhan. bagaimana kita mau hidup damai kalau tiap hari kita menantang-nantang saudara sendiri, teman sendiri, tetangga sendiri, bapak-anak sendiri, bahkan diri kita sendiri untuk berkelahi. agaknya, kita sulit berdamai.

katanya reformasi damai. kok masih berdarah-darah juga?

* Udo Z. Karzi, lahir 12 Juni 1970 di Liwa, Lampung Barat. Buku sajak dwibahasanya: Momentum (2002).

Puisi Nominasi Edisi Maret 2006


Komentar Dukungan


Sedih.“kita mesti berpisah. Soalnya, kita tak mungkin serumah, selingkungan,
sekampung,sebangsa lagi,”. Kalimat itu begitu menusuk. Miris. Dalam hati muncul
pertanyaan “Apakah 100 tahun yang akan datang Indonesia tercinta masih tegap
berdiri?” . Ah, Saya yakin Indonesia masih berjaya dengan syarat masyarakatnya
semakin Cinta Damai tentunya. Amin. Puisi ini wajib direnungi!

Fitta Astriyani" <>
_______________________________________

Kata-katanya sederhana tapi menggugah 'keakuanku' untuk segera berkaca diri dan
melihat kesekeliling, tenyata kita semua memiliki masalah yang tidak penah usai,
yang selalu terus akan membuntuti sampai kapanpun kalau kita sendiri tidak mau
berubah. dalem banget makna yang ada, menyentil, tapi tidak menggurui.

Teguh Prasetyo" <>
__________________________________

saya pikir puisi ini sudah mendeskripsikan keadaan manusia saat ini: Manusia adalah
srigala bagi manusia yang lain, jadi itu makna satire dari "katanya reformasi
damai", jadi wajarlah kalau Gie bilang 'berbahagialah orang yang mati muda karena
tak sempat bertemu srigala.

Meza Swastika <>
___________________________________

Sumber puitika.net, 6 April 2006