Tuesday, July 31, 2007

Proses Kreatif: Mastera Gelar Bengkel Puisi

SAMARINDA (Borneonews): Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) menggelar bengkel penulisan puisi di Samarinda, Kalimantan Timur, untuk menumbuhkan apresiasi terhadap sastra Indonesia-Melayu.

Program bengkel puisi itu akan berlangsung hingga 4 Agustus, diawali dengan seminar internasional sehari tentang pengajaran sastra Indonesia-Melayu di sekolah, yang dilangsungkan di gedung Gubernur Kaltim, Senin (30/7).

Menurut Ketua Mastera Indonesia Dendy Sugiono, kegiatan tersebut untuk meningkatkan kemampuan guru terhadap pengajaran sastra, agar para guru dapat menularkan pengetahuannya kepada anak didiknya untuk meningkatkan apresiasi sastra di sekolah.

Kegiatan itu juga diharapkan dapat memberi pelatihan penulisan puisi untuk menumbuhkan kecintaan sastra kepada generasi muda, yang dapat menjadi penerus sastrawan Indonesia.

"Kunci keberhasilan kemajuan sastra adalah memunculkan apresiasi dan kecintaan akan sastra itu sendiri," ujar Dendy Sugono.

"Masalah kita adalah jurang yang sangat lebar setelah era sastrawan seperti W.S Rendra dengan yang di bawahnya, sedikit sekali yang dapat dijadikan generasi pelapis," ujarnya.

Ia mengatakan bengkel Mastera ini adalah agenda rutin untuk mempopulerkan sastra di negara Asia Tenggara seperi Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunai Darussalam.

Bengkel sastra tersebut, antara lain, dihadiri anggota Mastera dari Indonesia seperti A Gaffar Ruskhan dan Maini Trisnajayawati, Awang Suip bin Abd. Wahab (Brunai Darussalam), Cik Sarifah binti Yatiman (Singapura), dan Siti Zainon Ismail (Malaysia).

Sederet sastrawan senior juga akan menjadi pembimbing, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Zawawi Imron Zamzam Noer, dan Agus R Sarjono.

Sumber: Borneonews, Selasa, 31 Juli 2007

Monday, July 30, 2007

Wacana: Sastra yang Terbata di Hadapan Kebebasan

-- Ahmad S Rumi*

ISU penting dalam kehidupan sastra Indonesia saat ini, seperti tampak pada beberapa polemik di media massa (Jawa Pos, Media Indonesia, dan Republika) belakangan ini, tak lain adalah kebebasan, lebih tepatnya kegagapan dan kemabukan kita pada isu tersebut. Perdebatan tentang seks dan tubuh dalam sastra, liberalisasi pemikiran, pembongkaran tabu dan belenggu, merupakan bagian dari topik di atas.

Ini menarik, paling tidak untuk membelajarkan kita menyelami makna atau perbedaan pandangan terhadap sosok seksi bernama kebebasan, suatu konsep yang lebih gampang dikatakan daripada dipraktekkan. Dalam hal ini sastrawan dan para penggiat sastra tidak berbeda jauh dengan kalangan lainnya: aktivis partai, aktivis LSM, anggota DPR, birokrat, pengusaha, tim sukses Pilpres/Pilkada, dan bahkan demonstran bayaran yang meneriakkan keadilan dan demokrasi menurut versinya sendiri. Sepuluh tahun era reformasi belum cukup bagi kita untuk dapat memahami makna kebebasan.

Mungkin beginilah jalan masyarakat dari sebuah bangsa yang lama dikolonisasi, dan tidak sebentar dibelenggu Orde Lama-Orde Baru, apalagi sekarang pun kita dijajah oleh bentuk yang lain: neo-imperialisme dalam ekonomi dan budaya global seperti diakui para intelektual poskolonialisme. Celakanya, neoimperialisme ekonomi dan budaya di zaman "merdeka" ini berlangsung halus dan canggih, karena yang dibidik mental manusia.

Secara politik kini kita sudah memasuki era yang bebas. Karena itu, partai-partai bermunculan, gerombolan demonstrasi bentrok di jalanan atas nama rakyat (rakyat yang mana!), proses peradilan lamban karena pelaku kejahatan (utamanya para koruptor) meliak-liuk atas nama kebebasan, tayangan televisi mengeksploitasi publik dan berkelit dalam payung kebebasan, termasuk sastrawan yang konon pejuang (jangan-jangan cuma pemakai) kebebasan itu.

Terjadilah tarik-menarik, perdebatan, baik lisan maupun tertulis, pengerahan massa, hingga dukungan kekuatan dan kekuasaan, ke dalam hal ini termasuk permainan "dana perjuangan". Dalam pertarungan politik dan proses peradilan sudah banyak contohnya: siapa memiliki uang dia yang menang. Dan di manakah posisi rakyat, masyarakat, dan bangsa yang dijadikan pijakan, lebih jelasnya diatasnamakan!

Lalu dalam sastra Indonesia munculah wajah hitam-putih yang berseberangan tajam: sastra tubuh dan lebih-lebih sastra seks berhadapan dengan sastra "penjaga" norma-norma. Bila yang pertama menganggap yang kedua sebagai pelestari tabu dan belenggu, maka yang kedua menilai yang pertama kebablasan.

Kebebasan dan kebablasan: euforia! Inilah yang dengan mudah dapat kita lihat dalam berbagai aspek kehidupan pasca Orde Baru. Kebebasan sering menjadi dalih untuk menghindar dari semacam tanggung jawab atau "kemalasan berpikir dan melakukan analisis" (pinjam kata-kata Veven Sp Wardhana dalam eseinya di koran ini) seperti dilakukan Veven sendiri yang membela seakan-akan TUK objektif menghargai dan mempraktekkan prinsip keberagaman.

Apakah mereka mengira tergolong orang-orang "kritis" dan mampu melakukan analisis? Semoga demikian sehingga mereka mau menyelami akar persoalan secara dalam, termasuk menganalisis mengapa masyarakat merasa ada "penjajahan" halus dari para penguasa dunia yang menjadi "polisi" pergaulan global.

Sebagai bangsa yang lama dijajah dan tertinggal dalam banyak hal, utamanya pendidikan, sehingga mental bangsa masih sering inlander, "prasangka" terhadap "penjajahan" global tidak patut disalahkan. Trauma, jika boleh dikatakan demikian, bagaimanapun tak gampang disembuhkan, apalagi beberapa gejala cukup jelas terlihat. Gejala-gejala itu antara lain sikap pemerintah yang sumir terhadap negara adikuasa, perilaku masyarakat yang kagetan, konsumtif tanpa kritis, gegar budaya (seperti kata Kurnia Efendi dalam diskusi Ode Kampung terhadap perilaku Binhad Nurohmat misalnya), juga snobis dan sok elit di sebagian sastrawan kita.

Kebebasan, kebablasan, keberagaman! Ternyata yang "mabuk" terhadap kebebasan itu hanyalah sekadar mabuk untuk eksplorasi (boleh dibaca: eksploitasi) tubuh dan sekitar seks. Dengan mengutip pemikiran para feminis Eropa, sebagian di antara kita gagah mengatakan perempuan kita tertindas, mari kita rayakan kebebasan, menulis dengan tubuh kita sendiri.

Karena itu, Ayu Utami bangga melakukan "ziarah seks" di Swiss sana (mungkin sebangga istri dan anak pejabat membeli lampu kristal di Paris), tetapi apakah ia peduli pada nasib-nasib perempuan miskin di got-got kota dan desa-desa di Indonesia? Novelnya yang ditaburi puja-puji dan diberitakan besar-besaran, sesungguhnya mirip telenovela yang menceritakan "keluh kesah" dan "gunjingan" perempuan-perempuan muda kaya di kota besar tentang lelaki yang dimimpi dan dibenci. Niatnya mungkin menyetarakan perempuan dan laki-laki, tetapi kesetaraan apa yang diharapkan dari tokoh-tokoh perempuan yang demikian?

Wowok Hesti Prabowo lalu "menghujat" sastra yang mengumbar kelamin itu, juga Komunitas Utan Kayu (KUK) dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang dianggap sebagai cabang TUK (KUK). Binhad ngeri (mungkin juga jijik) dengan "hujatan" itu, kira-kira sengeri pemilik Lapindo melihat serbuan rakyat Porong Sidoarjo ke Jakarta. Sengeri "suara-suara" rakyat yang "tidak berperadaban" bagi sastrawan yang biasa berkarya di kafe, salon, dan diskotik.

Namun, cobalah pandang dari sebaliknya: kita akan memahami kenapa ada sastrawan-sastrawan yang ngeri dan jijik dengan karya yang temanya dari anu ke anu alias seputar anu. Rakyat yang miskin juga pasti ngeri dan jijik melihat perilaku pemerintah dan pengusaha yang punya segudang hak untuk "bebas" melakukan apapun.

Perbedaan pendapat tentulah wajar. Dari perbedaan itu kita berharap sama-sama menemukan kesadaran dan kemauan untuk masing-masing melakukan introspeksi, menimbang ulang keyakinan dan argumentasi. Perbedaan dan keberagaman harusnya bukan sekedar jargon, apalagi dalih untuk berkelit dari kritik orang.

Pasti akan seru jika hadir orang-orang KUK dalam diskusi Ode Kampung yang bersuasana pribumi itu. Sayangnya, sebagai importir dan laboratorium uji coba pemikiran Barat, mereka lebih suka mencitrakan diri sebagai pemikir elit yang memetakan dunia sastra Indonesia, atau membaptis sastrawan dalam sejumlah festival, diskusi, dan atau tulisan di lingkungan sendiri.

Sebagai komunitas yang awalnya mengimbangi DKJ-TIM dan Horison sebagai "pusat sastra", KUK kini menjadi komunitas besar, khususnya dalam kuantitas program dan dana. Dan kini ia dikritik, antara lain karena wacana yang didengungkannya tak seindah tindak-tanduknya. Orang-orang KUK menggembar-gemborkan perbedaan dan keberagaman, tetapi karya, pikiran, dan perilaku mereka sendiri memperlihatkan keseragaman, dan keseragaman itu diseminasi ke tempat lain, termasuk ke DKJ atau acara-acara lain di komunitas lain yang diasuhnya. Orang-orang KUK mencitrakan diri sebagai para pemikir elit, tetapi yang terjadi cuma gaya hidupnya yang elit. Mereka mengusung perlunya demokrasi, tetapi sikap dan tindakannya yang arogan jelas bertentangan dengan demokrasi.

Jadi kebebasan? Suka tak suka sebagai bangsa, sebagai sastrawan dan penggiat sastra, kita terbata-bata memaknai konsep itu, terlebih dalam mempraktekkannya. Itulah soalnya sebagian di antara sastrawan Indonesia mabuk "memakai" (bukan memperjuangkan!) dan berfoya-foya dengan konsep besar kebebasan di wilayah yang amat sempit: seputar tubuh dan kelamin itu!

* Ahmad S Rumi, Dosen sastra Untirta Serang

Sumber: Republika, Minggu, 29 Juli 2007 18:53:00

Horison: Ode Kampung Tolak Sastra 'Ngeseks' dan Imperialis Budaya

ACARA sastra tahunan, Ode Kampung, makin gegap gempita. Tahun ini, iven yang digelar di Rumah Dunia, Hegar Alam, Serang, Banten, itu tidak hanya jadi ajang temu karya dan sastrawan, tetapi juga gerakan untuk menolak sastra 'ngeseks' dan imperialisme budaya.

Acara yang dikemas sebagai Pertemuan Penggiat Komunitas Sastra se-Nusantara itu telah berlangsung sukses selama tiga hari (20-22 Juli 2007). Dihadiri lebih dari 200 sastrawan dan penggiat komunitas sastra dari berbagai daerah di Indonesia, Ode Kampung 2007 menyuguhkan pertunjukan tari tradisi Banten, pemutaran video cerpen Yanusa Nugraha, pemutaran film pendek Padi Memerah Rumah Dunia, musikalisasi puisi Tasbih IAIN Serang, serta pembacaan puisi dan cerpen para peserta.

Pertemuan ini menarik karena diskusi panas yang membicarakan karya-karya komunitas sekaligus merespons polemik sastra mutakhir. Diskusi menjadi lebih seru, karena perbedaan pendapat yang cukup tajam di antara pembicara. Puncaknya, Minggu 22 Juli 2007, diterbitkan Pernyataan Sikap Sastrawan Ode Kampung yang didukung lebih dari 150 sastrawan serta penggiat komunitas sastra.

Pernyataan sikap itu berisi tiga poin penting. Pertama, menolak dominasi dan arogansi sebuah komunitas sastra atas komunitas sastra lainnya. Kedua, menolak eksploitasi seksual sebagai standar estetika. Dan, ketiga, menolak bantuan asing yang memperalat keindonesiaan kebudayaan kita.

Pada bagian lain pernyataan sikap itu tegas mengeritik ketakpedulian pemerintah terhadap musibah-musibah yang disebabkan baik oleh perusahaan, individu, maupun kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat. Secara khusus dalam hal ini disebut musibah Lapindo di Porong Sidoarjo yang jelas-jelas membuat rakyat tak berdosa menderita.

"Pernyataan sikap ini menggembirakan. Ternyata bangsa ini memiliki sastrawan dan penggiat sastra yang peduli terhadap persoalan rakyat, di tengah segelintir 'sastrawan' yang berkoar tentang kebebasan sambil mengemis dana bantuan asing," ujar Wowok Hesti Prabowo, salah seorang pembicara.

Bagi Wowok, sastrawan Ode Kampung bukan hanya menolak dan menentang tiga hal di atas, melainkan mengajak sastrawan dan penggiat sastra untuk peduli pada berbagai musibah dan kebobrokan moral melalui karya sastra. "Mereka (sastrawan) yang memuja-muja kebebasan ternyata hanyalah memuja hal-hal di seputar seks, kebebasan melakukan dominasi, dan kebebasan menerima dana asing atas nama keindonesiaan kita. Mereka tidak bertanggung jawab terhadap masyarakat, bangsa, dan kesusastraan kita," katanya.

Wowok menyebut Komunitas Utan Kayu (KUK) sebagai lokomotif pemuja kebebasan seputar seks dan berupaya menyeragamkan estetika sastra dan kebudayaan. Pembicara lain, Saut Situmorang, menunjukkan bagaimana KUK berafiliasi dengan lembaga-lembaga asing menyelenggarakan atau mendukung sejumlah festival internasional dengan standar estetika yang mereka asaskan.

Menurut Saut, banyak sastrawan kita yang tidak jelas ideologinya dan tidak memiliki visi kemana sastra dan kebudayaan Indonesia akan dibawa, selain mengekor pandangan-pandangan pemikir luar lalu mencangkokannya secara serampangan ke dalam sastra Indonesia. Ia mencontohkan beberapa pengarang perempuan yang sibuk bicara atas nama "tubuhnya" dan menelan mentah-mentah pemikiran feminisme Eropa, sementara secara kontekstual "tubuh perempuan" Indonesia berbeda dari mereka.

Saut juga mengkritisi pandangan Hudan Hidayat, pembicara lainnya di Ode Kampung, yang menyatakan setuju dengan "ideologi" KUK, tetapi tidak setuju dengan tindak-tanduk mereka yang menurut Hudan sendiri membunuh keberagaman di luar KUK.

Namun, Saut menghargai kehadiran Hudan dalam Ode Kampung untuk memperdebatkan perbedaan pemikiran. Dalam diskusi, Hudan memang tegas menyuarakan perlunya liberalisasi pemikiran dalam penciptaan sastra. Karena itu, ia setuju dengan apa yang selama ini digaungkan orang-orang TUK. Namun ia sendiri mengaku bukan bagian dari TUK, bahkan secara tajam menganggap TUK membunuh karya dan estetika di luar TUK.

Ode Kampung sendiri bertujuan untuk menghargai keberagaman estetika dalam sastra Indonesia. "Kami di Rumah Dunia dan kawan-kawan sastrawan serta komunitas di Banten menghargai keberagaman estetika sastra masing-masing sastrawan atau penggiat komunitas," kata Gola Gong, pendiri Rumah Dunia yang kini gencar mempublikasikan novel-novel genre fiksi Islami.

Menanggapi eksploitasi seksual dalam sastra, novelis Forum Lingkar Pena (FLP) Asma Nadia mengatakan para sastrawan FLP menulis untuk beribadah yang tujuannya mencerahkan kemanusiaan. Karena itu, ia menolak eksploitasi seksual dalam sastra. Menurutnya, kini ada beberapa sastrawan yang jelas-jelas mengeksploitasi seks dalam karya-karya mereka tanpa mempertimbangkan perlu tidaknya unsur seks hadir dalam teks karya sastra itu.

Asma menyebut novel Ayu Utami dan Dinar Rahayu sebagai contoh. Ia mengakui permainan metafor dalam novel Ayu Utami, tetapi menurutnya apakah penting menggambarkan aspek seksual seperti tampak pada bagian akhir novel tersebut.

Ketegasan sikap FLP mendapat respons positif dari pembicara lain dan peserta Ode Kampung. Hudan Hidayat pun melontarkan pujian terhadap beberapa karya sastrawan FLP. Begitu pula Saut Situmorang yang mengapresiasi ketegasan sikap para pengarang FLP.

Pembicara lain, Kusprihyanto Namma, pun mendukung sikap Asma Nadia yang menolak eksploitasi seks dalam sastra. Dengan tegas ia mengajak untuk menghindari sastra 'ngeseks', karena menurutnya bertentangan dengan kultur kita sebagai orang Timur. Ia mengajak untuk menghasilkan karya sastra yang lekat dengan keseharian kita, tidak perlu mencomot-comot ide dari para pemikir Barat.

Mengkaji Lagi Peran Komunitas


Peran komunitas sastra juga menjadi topik diskusi yang menarik dalam Ode Kampung 2007. Kurnia Efendi, misalnya, melihat adakalanya komunitas-komunitas sastra melahirkan karya-karya yang sewarna, meski tidak berarti aspek individu tenggelam oleh kepentingan komunitas.

"Bagaimanapun menulis adalah kerja individu, yang memunculkan karakter masing-masing pengarangnya," katanya. Ia mengakui, banyak pengarang yang sudah berkarya sebelum bergabung dengan komunitas sastra, dan tetap mempertahankan karakter pribadinya.

Pembicara lain, Kusprihyanto Namma (tokoh Revitalisasi Sastra Pedalaman -- RSP), menganggap keberadaan komunitas sastra di berbagai daerah sangat penting, terutama untuk meningkatkan jumlah apresiator sastra.

Chavcay Saefullah juga menganggap komunitas penting. Interaksi antar komunitas juga perlu dikembangkan, karena akan bermanfaat untuk meningkatkan kualitas karya anggotanya. Menurutnya, tiap komunitas selayaknya bisa saling menghargai karena pada dasarnya komunitas itu beragam.

Shiho Sawai, seorang peneliti dari Tokyo University, lebih banyak menunjukkan bagaimana komunitas-komunitas sastra di Indonesia tumbuh dan membangun diri sesuai keyakinan masing-masing. Ode Kampung ini dihadiri oleh beragam komunitas (sekitar 60 komunitas dan lebih dari 200 sastrawan serta penggiat komunitas) yang ada di Indonesia.

"Ode Kampung 2 digelar untuk memperkuat jaringan komunitas sastra di negeri ini, agar kita bisa bertukar pikiran, memecahkan masalah, mengembangkan kerjasama untuk kelangsungan komunitas di masa depan," kata ketua panitia, Firman Venayaksa. n ayh

Sumber: Republika, Minggu, 29 Juli 2007

Sunday, July 29, 2007

Esai: Tentang Penyair

-- Alex R Nainggolan*

Seorang penyair merupakan orang yang tak mau diganggu. Namun sebenarnya ia suka juga,mungkin secara sembunyi-sembunyi, sekadar nguping pendapat pembaca, demikian penuturan Sapardi Djoko Damono dalam pengantar kumpulan puisinya, Hujan Bulan Juni.

Sebab, lanjutnya, seorang penyair belajar dari banyak pihak maupun hal-ihwal kehidupan: keluarga, penyair lain, kritikus,pembaca, teman-teman, masyarakat luas, media massa,dsb. Hal itu pulalah yang menyebabkan bahwa dirinya tak hidup sendirian bersama puisinya.Tak cuma penyair dan puisi, tetapi juga pada tatanan hidup masyarakat.

Bisa saja, puisi merupakan petikan dari dunia yang lebih luas,dan mungkin juga ia tersembunyi bersama lembaran kertas-kertas berjilid yang menumpuk. Namun, getar kata nampaknya selalu ada dan berpijar. Ia seperti kekal,mengabadikan potret hidup manusia yang mungkin gemar dengan kekacauan ini.

Pembelajaran yang ditempuh oleh penyair bermacam-macam, ada yang mengangkat hal-hal sederhana dari kehidupan yang acap kali luput dari pikiran "orang kebanyakan". Dalam hal itu, dengan bahasa sederhananya merujuk Sutardji Calzoum Bachri, penyair ialah seseorang yang menemukan bahasa, terus-terusan mencari, dan merupakan kerja yang serius.

Maka, "sesuatu yang kelak retak akan dibuat abadi". Tengoklah bagaimana puisi bermainmain di tengah jerat makna, semacam halnya Joko Pinurbo, "Kepada Puisi": Engkau mata/Aku air mata.Atau dalam "Pelajaran Menulis Puisi". Penyair, sebagai penemu bahasa itu sendiri,senantiasa mengucapkan sesuatu dengan "terbata" menemukan pelbagai sketsa, tanda, ruang waktu.

Mencampur aduk realita dan imajinasi,memainkan bunyi, repetisi, dan sebuah jeda sunyi. Hal-hal yang membuat dada tersirep saat membaca sebuah puisi yang bagus, yang menenggelamkan dalam pusara tanpa ujung, di mana sebuah makna kehidupan dapat dipetik dengan luas lagi. Meskipun kita mengeluhkan beberapa kegagalan dalam membaca,semacam riuhnya teks yang berpola sehingga tak masuk ke kepala.

Keanehan pemakaian diksi yang acap kali menemui pintu kemubaziran. Tapi penyair terus berupaya menjebak kata, memain-mainkannya dalam sebuah perangkap, memerasnya, kemudian menuliskan. Sesekali menemukan kegagalan dalam menulis puisi, inspirasi yang buntu,ide yang cenderung dipaksakan, tanda titik yang bertindak "gila-gilaan",dan melulu ingin berhenti.

Atau koma yang selalu berlanjut, senantiasa berbuntut terhadap sejarah katakanlah. Kerja kepenyairan memang menguras waktu banyak. Sebagai pengamat dari kehidupan yang luas ini,sesungguhnya penyair sadar bila ia menulis hanya untuk hal-hal yang kecil.Hanya pilahanpilahan peristiwa, fragmen yang setengah, cuplikan realita yang tak akan pernah digarap dengan sempurna. Dunia penyair selalu dipenuhi dengan perenungan-perenungan.

Semacam filsuf yang berkutat dengan medan kata-kata. Seluruh rasa, jiwa, karsa berkutat di sana. Pekerjaannya serius karena habis-habisan mencurahkan energi sekaligus kemampuan. Meski akhirnya Sutardji mengakui secara logis: Walau penyair besar/ Alifbataku tak sebatas Allah.(Puisi "Walau").Selalu ada denyut kerinduan untuk pulang kembali ke hadapan sosok pencipta. Sebab, ilmu Allah demikian luas sehingga tak bisa ditandingi dengan ilmu manusia.

Lewat puisi, seorang penyair berkabar dengan karyanya.Terutama mengingat dirinya tak hidup sendirian.Meskipun dalam puisinya terkesan: Mampus kau ditikam sepi! (Chairil Anwar). Sebuah puisi adalah kelindan antara jarak yang membentangkan realita itu sendiri, di mana selisik sepi sesungguhnya bermain di sana. Setiap getaran yang riuh dalam kata-kata,sesungguhnya kembali juga pada asal mula kata: sunyi itu bermula. Sunyi yang melontar kau ke pusara waktu, (Iswadi Pratama).

Lalu adakah harapan yang tebersit dari kerja semacam ini? Apakah semuanya, Memang layak dicatat, dan mendapatkan tempat?(Chairil Anwar) Sementara, kehidupan terus berputar. Kita dihadapi dengan pelbagai kisah tragedi kemanusiaan, kekejaman, kebahagiaan, kaya, miskin, penindasan, penghilangan nyawa seseorang, seks yang tak lagi tabu dibicarakan di luar kamar tidur, dsb.

Dan para penyair pun terjerngah, berupaya membangun bahasa ibunya sendiri (Joko Pinurbo), menemukan bahasa selain yang ditemukan dalam berbagai surat kabar, catatan-catatan kerja,karya ilmiah,dll. Penyair bergelut dalam ruangnya yang dipenuhi dengan kesakitan yang menyergap.

Di mana kata-kata menjadi slogan dan omong kosong. Ia merasa kata-kata telah lama dikhianati, dan penyair berusaha untuk mengobati,menidurkan, dan menyembuhkannya. Bukan sebagai dokter, tetapi ia memakai kata-kata dengan tenaga yang lain. Barangkali, yang tak pernah tersirat dalam pikiran orang lain. Sebagai perlawanan untuk membendung realitas yang lebih kejam dari dunia.

Di jagat dunia kita temui berbagai puisi perlawanan yang ditulis Pablo Nerudda, Pushkin, atau ingatan kita melayang saat tahun-tahun kacau di Tanah Air di bawah tekanan rezim pemerintahan yang paranoid terhadap sastra, kita punya: W. S.Rendra,Wiji Thukul,Taufiq Ismail,Agus R Sarjono,dan Emha Ainun Nadjib.Pemberontakan yang dilakukan angkatan 70’-an; Sutardji dengan "Ngiau"-nya yang berusaha membebaskan beban makna terhadap kata.

Ah, betapa puisi merupakan pusat dari segala air mata. Menempuh kelokannya sendiri, penyair yang tak habishabis berusaha menemukan "tenaga baru"dari sebuah kata dan makna.Puisi yang berkelebat antara bayangan maut kata-kata yang menyergap. Nampaknya berupaya untuk menata, atau merakit kembali sakit yang lama hinggap dalam kata.

Puisi berusaha menyibak segala kegetiran yang tak kunjung sembuh dalam kehidupan manusia.Barangkali,dengan memberikan sejumlah jalan lain, mungkin terkesan agak sinting, urakan, dan sakit-sakitan. Maka Sapardi pun berkeluh: Demikianlah maka burung-burung tak betah lagi tinggal dalam sarang di sela-sela kalimat-kalimatku sebab sudah begitu rapat sehingga tak ada lagi tersisa ruang. Tinggal beberapa orang pemburu yang terpisah dari anjing mereka menyusur jejak darah, membalikkan dan menggeser setiap huruf kata-kataku, mencari binatang korban yang terluka pembuluh darahnya itu. ("Sajak,2-Hujan Bulan Juni"). Begitu banyak pemburu kata, yang menggunakan kata sesuka hatinya.

Demi kampanye, propaganda, iklan, sehingga tak begitu banyak ruang yang tersisa bagi penyair.Tinggal sebatas lelah yang mencabik, sebuah kerja yang membutuhkan ketelitian dan ketekunan dirinya untuk masuk penuh dalam puisi. Puisi yang membangkitkan seluruh aura kata-katanya yang membius. Meskipun Iswadi melanjutkan: aku teringat Nietzche di tengah swalayan tapi yang kubutuhkan cuma seikat sayuran bukan Zarathustra dongeng tentang para pengembara atau hamparan puisi para penyair…

Ya, pada akhirnya puisi terbentur menghadapi realitas itu sendiri.Yang memang sungguh kejam.Ketika di swalayan seseorang hanya membutuhkan seikat sayuran bukan buku-buku yang menenggelamkan dalam pusaran,kemudian mengajaknya tamasya ke negeri ilusi para penyair.

Atau Joko yang bermain dengan diksi-diksinya: Matakata menyala melihat tetes darah di matapena ("Matakata"-Kekasihku) Pun dalam paragraf terakhir puisi "Malam Pertama": Apakah kata-kata mempunyai ibu? Aku mencoba mengingat-ingat lagi apa kata ibu. Aku sering lupa dulu ibu suka berkata apa. Aku gemetar.Tubuhmu makin cerdas dan berbahaya. Ibukata,temanilah aku. (2003)

* Alex R Nainggolan, Penikmat Sastra, Tinggal di Jakarta

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 29 Juli 2007

Esai: Sastra Politik, Dikotomik, atau Biografik?

-- Toni Aprito*

SASTRA dan dinamika politik, bagaikan kumparan gasing dan talinya; siapa mengendalikan siapa. Apakah tali yang mengendalikan gasing atau justru gasing yang tanpa tali tak mungkin berputar.

Demikian pula kesustraan di Indonesia, ia berkait erat dengan proses politik yang terjadi. Kisi-kisinya mengembangkan nuansa politik. Ini mungkin pengaruh masyarakat dan tradisi politik Indonesia.

Kalau sastra dunia, cenderung mengapresiasi rakyat dengan suatu kebudayaan visualitatif, seperti visualisasi kesusastraan yang direkam dalam film Herry Potter, karya sastra populer miliknya J.K. Rowling.

Maka, sastra Indonesia, justru setiap tahapan selalu bergumul dengan dinamika sistem. Secara sistemik alur sejarah sastra Indonesia dilihat sebagai bagian dari sistem itu sediri. Apa yang diungkap oleh Prisma 1988, agaknya membenarkan asumsi ini.

Pada paro pertama 1960-an, dunia kesusastraan Indonesia diguncang oleh pertarungan antara kelompok sastrawan pendukung Manifes Kebudayaan (sebuah pernyataan seniman Indonesia yang menegaskan hak seniman untuk terbebas dari tekanan politik).

Di satu pihak kelompok sastrawan pendukung Lembaga Kebudayaan Rakyat (yang menekankan komitmen sosial dalam kesenian Indonesia), di pihak lain. Tetapi, dengan perkembangan politik setelah 1965, dan afiliasi politiknya, pengaruh kecenderungan Lekra dalam kesusastraan Indonesia secara otomatis terhapuskan, dan pertarungan ini pun selesai.

Tetapi bagaimanakah perkembangan kesusastraan Indonesia sejak itu? Untuk beberapa waktu, kebebasan dari "komitmen sosial" yang tegas dimanfaatkan oleh sastrawan Indonesia untuk menghasilkan karya-karya sastra yang imajinatif, kaya dengan eksperimen, untuk menjelajahi bagian-bagian terdalam dari kehidupan sebagai manusia.

Sementara hal ini sempat memperkaya kesusastraan Indonesia modern, tidak jarang pula karya-karya yang ditampilkan terjerumus untuk lebih mementingkan style dari pada substance. Sehingga, di akhir 1970-an, banyak orang melihat bahwa sastra dan sastrawan Indonesia telah begitu terisolasikan dari masyarakatnya, dalam keasyikan melakukan eksperimentasi.

Kerinduan akan karya sastra Indonesia yang kembali mengangkat persoalan-persoalan dalam masyarakat, dan yang dapat menjangkau audiens yang tidak sekadar eksklusif, menjadi pendorong perdebatan tentang sastra Indonesia pada 1980-an.

Sampai sekarang, perdebatan ini sekadar terputus, namun tak sampai (atau tak mungkin?) terselesaikan. Sebab, perdebatan ini menyangkut hal-hal yang sangat esensial tentang makna kehadiran karya sastra dan sastrawan dalam masyarakat: Adakah sastrawan memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat? Kalau tanggung jawab ini ada, bagaimanakah ia memengaruhi kebebasan seorang sastrawan dalam berekspresi? Apakah sastra Indonesia modern memang harus terisolasi dari masyarakat luas? Dengan isolasi ini sampai manakah kecenderungan pada eksperimentasi subjektif dalam kesusatraan Indonesia masih bisa berkembang?

Bila ditinjau dari uraian di atas, alternatif jaring-jaring kesusastraan Indonesia di era reformasi, tentu berbeda dengan era sebelumnya. Di era reformasi meski sastra Indonesia, semakin lebih bebas, namun tidak menampakkan greget universalismenya. Proses penulisan sastra lebih berbingkai pada ambivalensi kultur penulisan.

Sastra di era reformasi, bagaikan dipaksa untuk menjadi sastra dikotomik. Di tengah ambivalensi prilaku eforia politik kesusastraan. Sastra dengan para penyair mudanya, di satu sisi menjual ide cemerlang tanpa uang, di sisi lain membungkus kesusastraan Indonesia ke dalam jaring refleksi politik reformasi.

Dalam kerangka dikotomi itu, dunia kesusastraan Indonesia, pun melahirkan ide-ide baru, dan bersamaan dengan itu kesusastraan Indonesia melupakan kelembagaan dalam pengertian yang sebenarnya. Indikator ini dapat dilihat rendahnya minat siswa terhadap kesusastraan Indonesia.

Harapan kita di era reformasi yang riuh rendah dengan kata, para penyair harus mengapresiasikan sastra dalam bentuknya yang lebih renyah dan edukatif. Renyah dan edukatif dalam arti, renyah untuk dibaca agar diminati, dan edukatif yang bermakna siswa sekolah tidak harus dipaksa dengan kesusastraan yang berat.

Mengentalnya kesusastraan dikotomik, mungkin saja bisa dicairkan lewat sastra biografik. Semisal, buku berjudul Emak karya Daoed Yoesuf, atau katakanlah seperti karya alm. Ramadhan K.H. dan berbagai biografi tokoh-tokoh lainnya.

Mengapa kekentalan sastra dikotomik yang cenderung bermain pada dinamika sistem dapat dicairkan dengan sastera biografik, karena cerpen, novel, dan berbagai bentuk tulisan lainnya tidak terlalu diminati oleh generasi muda. Selain itu, sastra biografik diharapkan mampu mentransformasikan tokoh-tokoh bangsa ini ke dalam wacana berpikir orang orang muda.

Kalaulah kemudian sastra biografik menjadi terobosan, maka harapan kita terhadap kemajuan sastra Indonesia (dalam hal ini dapat dimininati para orang muda), sekaligus pula meretas orientasi onaninya para sastrawan kita. n

* Toni Aprito, penikmat sastra, tinggal di Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Juli 2007

Budaya: Membela Manusia dan Merayakan Kebebasan

-- M Fadjroel Rachman*

Kami adalah manusia bebas. Berdaulat atas jiwa dan raga kami untuk mencipta kemanusiaan kami sendiri dalam kebebasan tanpa penjajahan.

(Memo Indonesia, 12 Juli 2007)

MENCIPTA diri sendiri dan mencipta kemanusiaan kita sendiri adalah sarana sekaligus tujuan segala aktivitas manusia. Garis batas penciptaan dan kebebasannya hanya cakrawala historis bumi manusia. Kita semua adalah warga negara bumi manusia dan negara hanya batasan hukum belaka, bukan batas imajinasi, kreasi, maupun aktivitas. Praktisnya, segala aktivitas manusia di muka bumi di mana pun yang mengorbankan manusia hanya sebagai sarana, alat, atau objek dari satu tujuan tertentu, sebaik dan sesuci apa pun, semestinya ditolak dan harus ditolak. Tidak ada tujuan dan ukuran di luar kehidupan manusia dan kemanusiaan. Itulah pula tujuan dan ukuran sastra dan kebudayaan kita hari ini. Bukankah paradigma humanisme global dan kosmopolitan seperti ini adalah identitas baru manusia di muka bumi, termasuk generasi abad XXI manusia Indonesia. Sungguh bahagia menyatukan diri kembali dalam identitas sebagai umat manusia di bumi manusia. Sedangkan negeri, entah Indonesia atau apa pun namanya, hanyalah tempat badan secara relatif terikat, tetapi pikiran dan kesadaran membubung tinggi mengatasi tempat.

Jadi, apakah artinya menjadi manusia Indonesia hari ini? Menjadi manusia global membumbung tinggi bersama jiwa-jiwa bebas seluas bumi, mencipta hari depan manusia bersama-sama secara global. Dengan kebebasan seluas bumi, bukan sekadar kebebasan yang diciptakan dan dipaksakan negara Indonesia. Apakah artinya identitas baru manusia Indonesia seperti itu dengan kehidupan sastra dan kebudayaan kita hari ini? Sebuah konflik, sebuah konfrontasi tuntas terhadap paradigma yang sekadar menyempitkan diri pada norma, nilai, atau patriotisme sebatas negara Indonesia.

Tiga Paradigma, Empat Polemik


Kita sempitkan dulu pada polemik sastra dan kebudayaan antara Memo Indonesia (MI), Barisan Taufik Ismail (BTI), dan pernyataan sikap Sastrawan Ode Kampung (SOK). Polemik itu pada dasarnya menyangkut empat hal, yakni paradigma manusia, tujuan sastra dan kebudayaan, standar dan variasi estetika sastra dan kebudayaan, serta sarana aktivitas sastra dan kebudayaan. Memo Indonesia (M Fadjroel Rachman, Hudan Hidayat, Mariana Amiruddin, dan Rocky Gerung) jelas menempatkan paradigma manusia sebagai ukuran, sarana, dan tujuan. Meyakini tak ada ukuran, sarana, dan tujuan yang lain di luar manusia. Mengutip Erich Fromm, Memo Indonesia menempatkan man for him/herself.

Sementara itu, BTI, bila membaca pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki (TIM) yang menyebut sastra yang ditulis generasi baru Indonesia sebagai sastra mazhab selangkangan (SMS), gerakan syahwat merdeka (GSM), dan fiksi alat kelamin (FAK) berakar pada paradigma 'keagamaan konservatif' untuk membedakannya dengan paradigma 'keagamaan progresif'. Sementara itu, SOK, menegaskan di Serang, Banten, 20-22 Juli 2007 yang ditandatangani 138 orang (sebenarnya kata Einstein, untuk menggagas dan menggagalkan satu teori atau paradigma cukup satu orang tidak beratus-ratus orang). Tetapi tuntutannya menarik, simak saja menolak arogansi dan dominasi sebuah komunitas atas komunitas lainnya, menolak eksploitasi seksual sebagai standar estetika, menolak bantuan asing yang memperalat keindonesiaan kita. Selain itu, pada baris terakhir, SOK menegaskan solidaritas terhadap musibah kejahatan kapitalisme di seluruh Indonesia. SOK tampak berparadigma eklektik untuk tidak mengatakan saling bertabrakan. SOK dan BTI setuju dengan gagasan BTI, terutama dalam aspek standar dan variasi estetika sastra. Tetapi, BTI tidak pernah secara langsung menyerang komunitas tertentu, seperti Komunitas Utan Kayu (KUK) dan pribadi-pribadi di dalamnya, seperti Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto, Ayu Utami. Bahkan jurnal Boemi Poetera secara kasar 'mengorbankan' edisi pertama untuk melecehkan secara seksual (apakah itu termasuk kategori eksploitasi seksual juga? Penulis mengatakan ya) dan mengaburkan istilah jurnal sebagai sarana 'dialog ilmiah dan cerdas' dengan 'pamflet kuning'. Prestasi yang tidak mengagumkan. Bila BTI membaca Boemi Poetera, tuduhan GSM, FAK, dan SMS semestinya juga berlaku bagi Boemi Poetera.

Tak ada kebudayaan Indonesia


SOK dan BTI juga belum sepakat mengenai keindonesiaan. Keindonesiaan SOK terasa lebih berdimensi sekuler daripada 'agama konservatif'-nya BTI apalagi SOK menegaskan sikap ideologis mereka yang bersimpati pada korban kapitalisme dan kapitalisme global di Indonesia. SOK bukanlah paduan homogen sebuah paradigma, bahkan pada titik tertentu setuju dengan Memo Indonesia. Misalnya, MI juga bersikap kritis terhadap dominasi paradigma tertentu maupun kelembagaan tertentu sebab sikap MI adalah membuka ruang demokrasi seluas-luasnya, terutama mendukung pasar besar gagasan, tetapi tanpa penghakiman dan penghukuman individu, kelompok ataupun negara. MI berarti menolak penjajahan dalam bentuk apa pun terhadap gagasan, iman, agama, ideologi, ekspresi seni, dan kebudayaan. Tetapi, MI tidak mau dan tidak pernah mau memuja satu interpretasi tertentu terhadap keindonesiaan. Tidak ada pribadi Indonesia, tak ada kebudayaan Indonesia, manusia yang tinggal di negeri Indonesia adalah pribadi global, kebudayaan global, termasuk kreasi dan ekspresi keseniannya. Lebih jauh lagi, setiap manusia adalah 'manusia relatif' dengan 'kebudayaan relatif'. Yang murni hanya cita-cita totaliter kebudayaan dan pribadi Rusia oleh almarhum Uni Soviet, sedangkan kebudayaan dan pribadi Indonesia oleh Soeharto dan almarhum Orde Baru. Apakah BTI dan SOK mau mengulangi jaman kegelapan kemanusiaan ini? Karena kata Soedjatmoko (Etika Pembebasan, LP3ES, 1984), 'Pada asasnya seniman harus mempunyai kebebasan untuk menyimpang daripada yang sudah dikenal umum untuk menerobos kepada jalan-jalan dan cara-cara penciptaan baru sebab kebenaran senantiasa harus ditangkap dan ditaklukkan lagi. Kebenaran, seperti binatang jalang, mengelakkan diri dari jalan-jalan yang sudah terkenal. Kesempatan bereksperimen sama pentingnya dengan air untuk menyirami tanaman.

Mari menajamkan polemik

Polemik antara MI, BTI, dan SOK sekarang ini barulah tahapan awal dari ketiga pihak merumuskan tesisnya masing-masing. Elaborasi paradigma, estetika, lembaga, ruang persaingan dan kerja sama, dan lainnya baru menyentuh kulitnya. Tentu akan indah bila ketiganya bisa menghasilkan karya lengkap dan masterpiece yang mewakili kelompok masing-masing. Lebih hebat lagi jika bukan saja hasil karya masing-masing bisa bersaing secara nasional, melainkan juga bersaing secara global mewarnai taman sari sastra, seni, dan kebudayaan global. Jangan sampai ketakutan bersaing, inferioritas, dan ketidakmampuan berkarya dilindungi dengan slogan revolusioner dan parokialisme standar seni dan kebudayaan. Mari bertarung terbuka dalam paradigma, teori, maupun karya. Jangan bermimpi segera membuat sintesis, ataupun menjadi gerombolan eklektik seperti SOK. Jangan cepat-cepat menghakimi dan menghukum secara pribadi dan golongan apalagi mengundang negara (pemerintah) untuk memberangus pemikiran dan kecenderungan ekspresi atau ideologi tertentu. Marilah kita menjaga kebebasan dalam pasar bebas gagasan kita semua beruntung mendapat kompetitor sepadan dan akan memperkaya tesis kelompok –masing-masing. Itulah ruang kebebasan yang ingin dijaga MI dan seharusnya tidak diberangus BTI dan tidak diracuni SOK. Ingatlah, tanpa kebebasan, kita semua tak bisa memilih, tak bisa membuat alternatif dalam eksperimen kreatif, tak perlu bertanggung jawab, bahkan tak perlu bicara surga dan neraka. Salib kemanusiaan adalah kewajiban menjaga kebebasan, selain mempertahankannya sebagai hak bersama. Hanya dengan jalan kebebasan, kita dapat meraih puncak tertinggi kemanusiaan kita. Kita undang Ignazio Silone (The God That Failed, 1959) untuk merayakan kemanusiaan, merayakan kebebasan, dan merayakan polemik yang lebih bermutu dari MI, BTI, dan SOK. Apakah kebebasan itu? ...liberty is the possibility of doubting, the possibility of making a mistake, the possibility of searching and experimenting, the possibility of saying 'no' to any authority – literary, artistic, philosophic, religious, social, and even political.

Bukankah kita rindu pada kemungkinan untuk meragukan segala otoritas apa pun. Lalu, memajukan kemanusiaan dengan belajar dari kesalahan. Adalah salah untuk mengeksploitasi, menindas, mendominasi, dan menghina manusia di manapun, di level kampung, nasional, maupun global atas nama apa pun, termasuk lembaga dan komunitas tertentu. Mari berpolemik secara cerdas, etis, ilmiah, dan meninggikan kemanusiaan kita bersama. Karena, kata Sutardji Calzoum Bachri, "Luka padamu, berdarah padaku. Ketulusan menerima perbedaan apa pun dari Chairil Anwar, "Semua harus dicatat, harus dapat tempat.

* M Fadjroel Rachman, esais, penyair, novelis, dan penggagas Memo Indonesia.

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 29 Juli 2007

Saturday, July 28, 2007

Khazanah: Sutardji, Tradisi, Apresiasi

-- Ibnu Wahyudi*

SELAMA sepekan, sampai Kamis kemarin, digelar sejumlah acara untuk menyambut 66 tahun usia penyair bernama Sutardji Calzoum Bachri yang dipusatkan di Kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Kalau menurut Dami N. Toda dalam Hamba-hamba Kebudayaan, tahun ini Sutardji baru berusia 62 tahun. Secara statistik, sangat sedikit sastrawan Indonesia yang dalam pencapaian usia tertentu dirayakan dengan semarak dan menghadirkan sejumlah pengamat sastra Indonesia dari dalam maupun luar negeri sebagai pembicaranya. Dengan kata lain, diadakannya acara bertajuk "Pekan Presiden Penyair" ini paling kurang menunjukkan kebermaknaan eksistensi sastrawan kelahiran Riau tahun 1941 (atau 1945?) ini berkaitan dengan perjalanan sastra Indonesia yang tahun ini mencapai 150 tahun jika dihitung sejak tahun 1857.

Penyair yang di masa lalu namanya sering dipelesetkan dengan Sutardji Calzoum Bir --lantaran dalam beberapa acara pembacaan puisi ia sering membaca sembari menenggak bir-- tak pelak lagi adalah sastrawan, istimewanya sebagai penyair, yang bersastra dari suatu pijakan kesadaran puitika yang bernas. Setidak-tidaknya dari kredo yang pernah ia kemukakan, jelas menunjukkan bahwa ada alas yang mendasari arah atau kecenderungan berpuisinya itu. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika beberapa kali dapat kita baca pikirannya melalui sejumlah tulisannya yang menyiratkan konsep bersastranya.

Gugatannya atas karya-karya yang ia nyatakan sebagai puisi gelap, misalnya, yang menurutnya marak pada tahun 1980-an, sekurang-kurangnya telah menunjukkan sikap dan pengambilan posisinya dalam dunia kepenyairan dan kepengarangan pada umumnya.

Demikian pula dari "perdebatan" kecilnya dengan Joko Pinurbo soal salah cetak dalam puisi, misalnya, atau komentarnya atas sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, menjelaskan akan sikap kesastraannya itu. Dan kenyataan ini, secara jelas memberikan bukti kepada kita akan proses kepenyairannya, yang dalam konteks Indonesia dapat dinyatakan sebagai istimewa, sebab yang jauh lebih banyak adalah penyair yang menghasilkan sajak-sajak, tetapi tanpa didukung oleh suatu konsep berkarya yang dapat dipahami oleh pembaca.

Dengan kata lain, yang jauh dan sangat lebih banyak adalah sajak-sajak yang ditulis karena adanya dorongan untuk menulis sajak begitu saja.

Tradisi

Ketika tulisannya mengenai "pantun" dipublikasikan, sejumlah orang dan konon juga banyak pelaku sastra di Malaysia cukup terhenyak akan kedalaman pemahaman Sutardji atas pantun, Sementara, bentuk pantun ini sangat dikenal dan masih segar-bugar di sana, sedangkan di Indonesia dapat dikatakan tidak lagi menjadi bagian keseharian. Kemampuan Sutardji dalam mendedah dan mengeksplorasi pola pantun yang sedemikian itu, barang tentu bukan sesuatu yang mengherankan. Sama tidak mengherankannya ketika di akhir kredonya ia menyatakan "maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantra" yang secara jelas dapat dipahami sebagai akar budaya dan roh kepenyairannya. Dan baik pantun maupun mantra adalah bentuk sastra (lisan) dari khazanah pribumi yang tentu dapat disebut sebagai sebuah tradisi yang kita miliki.

Dengan demikian, antara Sutardji dan tradisi dapat dinyatakan sebagai sebuah kesatuan, sebuah kedirian. Oleh kenyataan ini, maka ketika membaca sajak-sajaknya yang mantra itu, yang kemudian sangat terasa adalah sifat kealamiahannya; bukan keartifisialannya. Dalam kesenian, kebersatuan semacam ini akan mempertontonkan suatu "kehidupan" yang menawan. Dan itulah sajak-sajak Sutardji, yang utamanya telah dikumpulkan dalam O Amuk Kapak: sebuah diri yang hakiki.

Tapi jangan silap, mantra Sutardji tentu tidak lagi berfungsi sebagaimana mantra di masa dulu. Mantra-mantra Sutardji menyimpan misteri; ia menyiratkan sesuatu yang di masa kini kerapkali dinyatakan sebagai representasi sebuah komunikasi. Oleh karena itu, jika sajak-sajak Sutardji masih saja dipahami sebagai pelaksanaan atau penerusan belaka dari tradisi mantra, jelas itu sipi.

Dalam sajak yang berjudul "Shang---Hai" contohnya, yang berbunyi "//ping di atas pong/ pong di atas ping/ ping ping bilang pong/ pong pong bilang ping/ mau pong? Bilang ping/ mau mau bilang pong/ mau ping bilang pong/ mau mau bilang ping/" paling tidak memperlihatkan fenomena kemanusiaan yang paling dasar, yaitu bahwa komunikasi itu ternyata sangat sering tidak komunikatif. Kendati tampak ada komunikasi, ternyata sesungguhnya tidak ada komunikasi, seperti banyak dipancarkan oleh karya-karya absurd.

Maka, pengeksplorasian khazanah tradisi yang berupa mantra itu, sejatinya untuk menetak jalan buntu. Oleh karena itu, idiom kapak, bukan hanya dalam bentuk puisi, melainkan secara nyata dihadirkan dalam pembacaan puisinya sekitar 30-an tahun lalu, menyiratkan akan repotnya suatu komunikasi.

Kembali kepada soal kredo yang ditulis tanggal 30 Maret 1973, khususnya dalam pernyataannya bahwa "Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya" dan "Bila kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan" tentu segera mengingatkan kita pada hakikat kearbitreran atau kemanasukaan dalam menyebut benda dengan kata apa saja. Ini lagi-lagi soal komunikasi. Namun, realitas tak selamanya bisa diajak kompromi, sebagaimana mantra yang sangat terbatas sebagai sarana komunikasi dengan bukan sesama. Perihal kearbitreran ini, perhatikan sajaknya yang berjudul "Sejak", misalnya pada "//sejak kapan sungai dipanggil sungai/ sejak kapan tanah dipanggil tanah/ sejak kapan derai dipanggil derai/ sejak kapan resah dipanggil resah/".

Sebagaimana Friedrich Nietzsche dengan teologi "death of God"-nya, kalimat kredonya "bila kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan" sesungguhnya semata-mata sekadar penyemangat atau siasat dalam soal yang personal sifatnya. Artinya, baik Nietzsche maupun Sutardji sepertinya mau menyatakan bahwa di sekitar diri ini sangat banyak belenggu, sehingga perlu ada upaya membebaskan atau "memberontak" dalam kadar yang seberapa pun.

Apresiasi

Salah seorang peserta lomba baca puisi dalam rangkaian kegiatan "Pekan Presiden Penyair" ini konon membacakan puisi "Mesin Kawin" nyaris tanpa busana dan beraksi di pentas seolah suatu persetubuhan. Dari sisi penghayatan, barangkali peserta ini dapat dinilai sebagai mencoba lebur ke dalam esensi sajak menurut pandangannya. Namun dari sisi yang luas, perlu disadari bahwa apresiasi terhadap kepenyairan Sutardji lebih sering bukan pada aspek penghayatan terhadap karya melainkan pada sosok atau penampilannya.

Dalam beberapa acara apresiasi sastra yang diikuti Sutardji sebagai narasumber, konon yang lebih mengemuka adalah apresiasi terhadap identifikasi kepenyairan yang bukan pada proses pemahaman terhadap karya-karya, tapi lebih kepada keflamboyanan atau juga kenyentrikan sang sastrawan. Tentu, ini bukan kesalahan Sutardji misalnya, namun kesalahan dunia pengajaran sastra di Indonesia pada umumnya.

Inilah Sutardji Calzoum Bachri, yang baik karya maupun penampilannya, telah mampu menghipnotis banyak peminat sastra di Indonesia, sebagaimana seorang pesulap telah mampu memukaunya: "aku dipukau David Copperfield".

* Ibnu Wahyudi, Peminat sastra, tinggal di Depok

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 28 Juli 2007

Sejarah: Tan Malaka Ditembak di Desa Selo

Jakarta, Kompas - Sejarawan Belanda, Harry A Poeze, Jumat (27/7) di Jakarta, menjelaskan, Tan Malaka ditembak mati tanggal 21 Februari 1949. Selama ini kematian Pahlawan Nasional Tan Malaka itu menjadi misteri sejak lebih dari setengah abad.

"Dia ditembak atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan bagian Divisi Brawijaya, yang terakhir berpangkat brigadir jenderal dan pernah menjadi Wali Kota Surabaya. Data tersebut diperoleh dari kesaksian pelbagai pihak, seperti rekan gerilya Tan Malaka, anggota Batalyon Sikatan, keterangan warga desa dan tokoh-tokoh angkatan 1945," kata Poeze yang memulai riset Tan Malaka sejak tahun 1980 dengan menemui banyak tokoh nasional.

Harry Poeze yang juga Direktur KITLV Press (Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara) menambahkan, Tan Malaka ditembak di Desa Selo Panggung di kaki Gunung Wilis di Jawa Timur. Eksekusi yang terjadi selepas agresi militer Belanda ke-2 itu didasari surat perintah Panglima Daerah Militer Brawijaya Soengkono dan komandan brigade-nya, Soerahmat.

Petinggi militer di Jawa Timur menilai seruan Tan Malaka yang menilai penahanan Bung Karno dan Bung Hatta di Bangka menciptakan kekosongan kepemimpinan serta enggannya elite militer bergerilya dianggap membahayakan stabilitas. Mereka pun memerintahkan penangkapan Tan Malaka yang sempat ditahan di Desa Patje.

Sebelum ditangkap, Tan Malaka memimpin gerilya melawan Belanda di Desa Belimbing. Dia juga mengimbau seluruh rakyat melakukan perjuangan semesta melawan Belanda, seperti yang dilakukan Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Tan Malaka, yang pada bulan September 1945 pernah disiapkan Bung Karno untuk memimpin Indonesia jika Proklamator mengalami bahaya sehingga tidak mampu bertugas, sempat lolos dari tahanan bersama 50 gerilya anti-Belanda yang dipimpinnya. Namun, Tan Malaka yang berpisah dan bergerak dalam rombongan kecil berjumlah enam orang ditangkap Letnan Dua Soekotjo di Desa Selo Panggung yang berakhir dengan eksekusi.

Menurut Poeze, Menteri Sosial Republik Indonesia sudah setuju untuk mengerahkan tim forensik mencari sisa jenazah Tan Malaka. Tan Malaka sempat dijuluki "Bapak Repoebliek Indonesia" selepas medio 1920-an karena menerbitkan buku Naar Repoebliek Indonesia (Menuju Repoebliek Indonesia) dalam Bahasa Belanda dan Melayu tahun 1924 di Kanton (sekarang Guangzhou), China. Diketahui, ratusan jilid buku tersebut diselundupkan ke Hindia Belanda dan diterima para tokoh pergerakan, termasuk pemuda Soekarno. Walhasil, Tan Malaka pun dikenal sebagai Bapak Repoebliek Indonesia jauh sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945.

Fakta tersebut ditampilkan dalam tiga jilid buku berjudul Tan Malaka Verguisd en Vergeten (Tan Malaka Dihujat dan Dilupakan). Edisi bahasa Indonesia buku tersebut akan diterbitkan enam jilid selama dua tahun hingga 2009, dimulai Senin pekan depan. (ONG)

Sumber: Kompas, Sabtu, 28 Juli 2007

Thursday, July 26, 2007

Musik Sastra: Ananda Sukarlan Melebur Puisi Sapardi

ISTILAH musik sastra mungkin terdengar asing di telinga. Ya, istilah tersebut memang baru saja 'diciptakan' oleh pianis dan komposer kenamaan, Ananda Sukarlan. Musik sastra berarti, musik yang dibuat berdasarkan puisi seorang penyair, dan dimainkan secara baku. Bait dalam puisi yang menginspirasi komposisinya kemudian disesuaikan dengan komposisi musik itu sendiri. Ini sungguh berbeda dengan musikalisasi puisi, yang tidak mementingkan unsur musik, namun lebih kepada menyanyikan puisi itu sambil diiringi musik.

foto-foto:dok jcom

Musik sastra karya Ananda Sukarlan yang diubah dari puisi-puisi karya Sapardi akan dipentaskan pada lima konser JCoM Fest, yang digelar Jakarta Conservatory of Music di Goethe Haus dan Erasmus Huis dalam kurun waktu Sabtu (28/7) hingga Minggu (12/8).

Selain karya Sapardi, Andy juga menggubah beberapa karya penyair lain, yakni Goenawan Mohamad dan Ilham Malayu. Ia juga akan ditemani beberapa musisi lain yang turut tampil, termasuk Jeffrey Jacob, pianis dan komposer piawai asal AS.

"Karena itu, dalam karya Ananda, ibaratnya saya hanya ikut saja. Beda dengan musikalisasi beberapa puisi saya beberapa waktu lalu. Meski dibawakan secara akustik, namun di kesempatan lain nada maupun instrumennya bisa diubah dan tidak baku, asalkan kata-katanya tetap puisi saya," tutur Sapardi Djoko Damono, dalam ajang diskusi santai, Sapardi dari Dekat, sebagai pembuka rangkaian acara Jakarta Conservatory of Music Festival (JCoM Fest) di Jakarta, Senin (23/7).

Beberapa puisi karya Guru Besar dan mantan Dekan Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya, red) Universitas Indonesia itu memang digubah menjadi komposisi musik dan lagu oleh Ananda. Di antaranya adalah Aku Ingin, Dalam Doaku, Di Kebun Binatang, Akulah si Telaga, Hujan Turun Sepanjang Jalan dan Kuterka Gerimis.

Oleh Andy, panggilan akrab Ananda, puisi-puisi tadi digubah ke dalam bentuk musik. Sebelumnya, ia sudah kerap melakukan itu, namun hanya terbatas pada puisi-puisi karya penyair Barat seperti Walt Whitman atau TS Elliott.

"Terus terang, sebelum ini, satu-satunya sastrawan Indonesia yang saya baca karyanya hanyalah Goenawan Mohamad. Saya belum pernah membuat karya musik dari puisi-puisi Indonesia karena saya kurang memahami bahasanya, meski saya bisa bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia,' tutur musisi yang lama tinggal di luar negeri dan kini berdomisili di Spanyol ini.

Untunglah, kawan baik sekaligus rekanan Andy dalam menggelar JCoM Fest, Chendra Panatan, mengenalkannya pada puisi-puisi karya Sapardi. Lewat internet, kemudian ia mencari puisi lain karya sang sastrawan. Bahasa Sapardi yang sederhana membuat Andy jatuh hati. Keindahan di antara jalinan kata-kata nan lugas tersirat dengan sendirinya. "Puisi karya Pak Sapardi lebih kena di saya. Ibaratnya, seperti musik, yang penting adalah yang terjadi di antara not-notnya, bukan not balok itu sendiri," lanjutnya.

Membuat komposisi ini bak memberikan identitas baru untuknya. Andy mengakui, hingga tahun lalu, karya-karyanya tidak pernah terkesan sebagai karya musisi Indonesia, atau dalam bahasanya sendiri, "tidak ada Indonesia-Indonesianya sama sekali."

Menggubah puisi Indonesia ke dalam komposisi musik bukanlah pekerjaan yang mudah. Memang, puisi Indonesia memiliki karakter yang tidak ada pada karya sastra Barat. Dengan puisi Sapardi, Andy mengaku bisa mengenang masa kecilnya dulu. "Selain bunyi yang ada pada jalinan kata-katanya, saya suka sekali dengan metafora yang dibuat Pak Sapardi dalam puisi-puisinya. Banyak kata yang menjelaskan apa yang tidak bisa atau tidak pernah dirasakan pancaindra," ungkapnya.

Sejak Januari, Andy pun secara intens berhubungan dengan Sapardi via email. Diskusi demi diskusi, saran demi saran mengalir membuahkan beberapa komposisi. Di antaranya terdapat beberapa kantata, kumpulan beberapa puisi yang digabung menjadi satu. Seperti Ars Amatoria, yang menggabungkan beberapa sajak tentang cinta menjadi satu komposisi musik dan lagu. Bahkan, puisi Aku Ingin digabung dengan sebuah puisi lain yang dimasukkan ke bagian tengah. Sehingga, struktur musikalnya berbeda dengan struktur puisinya.

Bagi Sapardi, keinginan Andy menggubah puisi-puisinya menjadi komposisi musik merupakan sesuatu yang menggembirakan. Bahkan, ia mengaku kaget dan sangat terkesan karena Andy justru memilih menggubah puisi-puisi yang panjang, bukan sajak pendek dengan beberapa bait saja.

"Ada beberapa sajak yang tak pernah saya bayangkan untuk bisa dijadikan musik. Ternyata justru sajak-sajak itu yang dipilih. Selama ini, beberapa musisi yang menggubah puisi saya umumnya memilih sajak yang pendek dengan lirik dan bait yang jelas. Lha, Andy malah memilih puisi-puisi yang panjang. Saya kaget, kok berani ya?" jelas Sapardi seraya tersenyum.

Namun, kala menyaksikan beberapa puisinya dibawakan dalam bentuk lagu dan musik sore itu, Sapardi mengaku puas. Ia justru kagum karena puisi-puisi karyanya tetap mengena meski telah berubah bentuk sedikit.

"Menurut saya, puisi itu penuh ambiguitas dan multi interpretasi. Saya tidak akan merubah itu. Dalam menggubahnya, saya lebih melihat struktur kalimat dan banyak berkonsultasi dengan Pak Sapardi. Namun beliau justru membebaskan saya sehingga saya merdeka dalam berkarya," kata Andy. [D-10]

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 26 Juli 2007

Tuesday, July 24, 2007

Pemartabatan Bahasa Daerah Angkat Fungsi dan Kedudukannya

[MAKASSAR] Pemartabatan bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar) merupakan usaha untuk mengangkat kembali fungsi dan kedudukan bahasa daerah di tengah masyarakat.

Menurut dosen Universitas Muhammadiah Makassar, Andi Syukri Syamsuri pada Konggres I Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan di Makassar, Senin, bahasa daerah bukan hanya alat komunikasi sehari-hari melainkan berfungsi sebagai media yang menunjukkan jati diri sebagai masyarakat yang bermartabat sejak dulu hingga sekarang.

Oleh karena itu, pemartabatan bahasa daerah (BD) dalam pelayanan publik dapat dilakukan melalui kesadaran seluruh komponen yang terkait baik pengambil kebijakan, pemakaian, para ahli dan bahasa itu sendiri.

"Sinergitas dari keseluruhan komponen ini dapat mewujudkan pengangkatan fungsi dan kedudukan bahasa daerah di provinsi ini di tengah masyarakat penuturnya," katanya kepada Antara.

Menurut dia, pada masa perjuangan dan perebutan kemerdekaan, bahasa daerah memiliki andil yang sangat besar karena menjadi lingua franca dalam penggalangan kekuatan rakyat untuk memerdekakan negeri ini.

Karena itu, tidaklah mengherankan jika bahasa-bahasa daerah itu harus menjadi perhatian penting bagi pemerintah dalam menjaga kelestariannya dari kepunahan, baik secara keseluruhan maupun dalam keeksistensiannya pada peradaban masyarakat Indonesia.

Perhatian pemerintah dalam konteks penguatan bahasa daerah sudah tampak dalam tataran kebijakan dan legalitas eksistensinya yang diatur dalam kedudukan dan fungsi BD di negara ini.

Kedudukan dan fungsi BD dalam rancangan Undang-undang kebahasaan, secara eksplisit meletakkan BD sebagai sarana perhubungan dalam keluarga dan masyarakat daerah serta bahasa media lokal (RUUK Psl 4).

Selain itu, pemerintah berkewajiban memelihara BD dalam upaya melestarikan bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional dan sumber pengembangan bahasa Indonesia yang tertuang dalam pasal 10 RUUK.

Dalam Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, kewenangan pemerintahan pusat dalam bidang bahasa daerah diserahkan kepada pemerintah daerah sehingga diharapkan BD lebih mendapat peluang untuk tetap lestari serta dapat dijadikan sumber pengembangan bahasa nasional, katanya.

Namun, ujar Andi Syukri, dalam perkembangannya, ada indikasi kemerosotan pemakaian bahasa daerah termasuk di Sulsel sebagai bahasa pelayanan publik.

Bahkan, sangat dikhawatirkan kepunahan akan menjadi ancaman bagi BD di daerah ini sebab separuh dari kurang lebih 6.000 bahasa di dunia dewasa ini terancam akan hilang. Hal itu berarti dalam setiap dua pekan akan punah satu bahasa.

"Kepunahan suatu bahasa memang kadang-kadang tidak dapat dielakkan tetapi dapat dicegah karena bahasa itu tidak sepatutnya dibiarkan mati," ujarnya seraya menyatakan bahwa bahasa itu adalah milik manusia yang sangat berharga.

Bahasa daerah di Sulsel (Bugis, Makassar dan Tanatoraja) maupun Sulawesi Barat (bahasa Mandar) bisa saja hilang kalau tidak segera diatasi. Bahasa Indonesia, telah menggeser kedudukan BD sehingga pemerintah dan penutur bahasa ibu perlu melakukan usaha-usaha untuk mencegah proses kepunahan BD tersebut.

"Kalau tidak, suatu bahasa bisa saja punah dalam dua generasi," katanya seraya menambahkan kecenderungan itu muncul karena orang menurunkan bahasa nasionalnya kepada generasi berikutnya.

Untuk itu, jika menginginkan bahasa-bahasa daerah kembali menjadi bahasa yang tetap hidup dalam pelayanan publik diperlukan sistem yang efektif yang merupakan sinergitas seluruh komponen yang terkait bersama-sama membangun sebuah mekanisme kerja yang harmonis.

"Sinergitas dari komponen terkait harus dilandasi kesadaran, sikap dan prilaku yang akan berubah ke arah yang lebih baik. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat membentuk dan mencetak ulang dirinya sendiri dengan mengubah sikap," tambahnya. [U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 24 Juli 2007

Sosok: Novelis "Pemberontak" yang Cinta Tanah Leluhur

Ismet Fanany (SP/Ely Burhaini Faisal)


SUNGGUH, malang nian nasib manusia Indonesia! Sebagai manusia, ia nilainya nol di mata manusia Indonesia yang lain. Manusia Indonesia tidak berharga, kecuali jika ia punya definisi hubungan dengan sesama manusia Indonesia yang lain atau masyarakat secara lebih luas. Ismet Fanany, sastrawan asal ranah Minang yang kini bermukim di Australia, barangkali satu dari segelintir orang yang sadar betapa rendahnya nilai manusia Indonesia. Keprihatinan itulah yang tertuang pada Bulan Susut, novel terbaru Ismet yang diterbitkan belum lama ini.

"Bentuk dan tinggi rendahnya nilai manusia Indonesia ditentukan oleh kedudukan tiap-tiap manusia Indonesia, dan makna dari hubungan tiap-tiap kedudukan tersebut di dalam masyarakat Indonesia," ungkap Ismet Fanany dalam diskusi dan peluncuran buku Bulan Susut yang digelar The Wahid Institute bekerjasama dengan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kabar Baik (LPP-KB), belum lama ini.

Manusia Indonesia, kata Ismet, seringkali tidak dianggap berharga hingga mereka memiliki kedudukan. "Orang dianggap tak berharga, hingga ia punya definisi dalam hubungannya dengan masyarakat, entah sebagai tentara, menteri, presiden ataupun konglomerat. Manusia Indonesia tidak dianggap berharga hanya dengan bersandar pada kemanusiaannya semata," ungkap Ismet, yang kini menjabat sebagai Ketua Program Bahasa dan Kajian Indonesia di Universitas Deakin, Melbourne. Manusia Indonesia tidak akan dihargai jika belum menjadi "sesuatu".

Manusia Indonesia, kata Ismet, juga senantiasa melihat manusia-manusia lain dari luar Indonesia seakan-akan jauh lebih baik. Pengalaman buruk itu pernah dialami ketika berkesempatan pulang kampung ke Kotopanjang, Tanah Datar, Sumatera Barat, bersama istrinya, Rebecca Fanany, yang berkebangsaan Amerika.

Tatapan mata orang-orang di sekelilingnya terasa menusuk tajam, ketika Ismet dan Rebecca pergi ke pasar. Kebetulan, Ismet hanya berkemeja lusuh dan bercelana pendek. Kakinya pun hanya mengenakan sandal jepit agar lebih nyaman berjalan di lorong-lorong pasar yang kotor dan becek. Tiba-tiba, seorang pria menyapa Rebecca, yang berdiri tidak jauh darinya.

"Maaf, apakah Bapak ini penerjemah Anda?"

Rebecca menggeleng sambil menyahut, "Bukan, Pak." Kebetulan Rebecca fasih berbahasa Indonesia.

"Oh, kalau begitu, dia pasti sopir Anda?" kata orang itu sekali lagi. Rebecca lagi-lagi menggelengkan kepala.

"Pembantu Anda, barangkali?" Untuk kesekian kalinya Rebecca menggelengkan kepala.

Tetapi kali ini, Rebecca menggeleng sembari mengatakan, "Beliau suami saya." Orang itu pun tercengang luar biasa. Yang lebih mencengangkan, pria itu masih dengan yakinnya mengatakan, "Saya tidak percaya!"

Meskipun tidak sepenuhnya sama, peristiwa pahit yang dialami Ismet di tengah-tengah pasar Minangkabau bertahun-tahun yang lampau cukuplah menggambarkan bagaimana pandangan manusia Indonesia terhadap orang- orang sebangsa. Manusia Indonesia senantiasa memandang manusia-manusia di luar mereka lebih tinggi. Sementara saudara sebangsa dipandang rendah jika tidak memiliki "kedudukan" apa-apa. "Ini patut disayangkan," kata Ismet, penulis novel yang lama merantau ke negeri orang, tetapi tetap terikat hatinya dengan tanah leluhurnya di Minangkabau.

Mengapa manusia Indonesia cenderung tidak menghargai manusia Indonesia lainnya? Entahlah. "Latar belakang sosial, ekonomi, bahkan budaya, bisa bercampur-baur menjadi pemicunya," ungkap mantan ketua jurus- an bahasa dan kajian Asia di University of Tasmania, Australia, serta dosen di jurusan kajian Melayu di National University of Singapore tersebut.

Yang jelas, kata Ismet, manusia Indonesia baru dihargai jika sudah menjadi "sesuatu". Ironi inilah yang dituangkan cukup apik oleh Ismet dalam novel terbarunya, Bulan Susut.

Ridwan, dikisahkan dalam novel ini, sebagai seorang pria yang sejak kecil sudah dekat dengan pusat kekuasaan. Uang, perhatian, kepercayaan dan segala sesuatu yang ia inginkan, begitu mudahnya untuk didapatkan. Ridwan pun terdidik untuk dapat berbuat semaunya. Semua boleh ia lakukan, asal jangan memalukan nama keluarga. Watak yang suka bertindak semau sendiri mengendap, karena sejak kecil hidup Ridwan sudah dipenuhi persaingan untuk mendapatkan tempat terhormat di dalam keluarga dan masyarakat.

Segala kelebihan yang dimiliki ternyata masih juga tidak cukup membebaskan Ridwan dari rasa iri hati terhadap Kadir, sepupunya sendiri. Perasaan terkalahkan oleh Kadir dalam hal berebut cinta Upik tak kunjung pupus dari benak Ridwan, meski perhatian dan cinta dari wanita lain yang lebih dewasa sudah ia dapatkan.

Kekalahan, yang mengkristal menjadi dendam pada Kadir, terus membayangi pikiran Ridwan meski ia sudah terusir dari kampung halamannya karena berbuat kesalahan. Sayang, di perantauan, Ridwan malah menemukan jalan agar ia dapat lebih dekat lagi dengan kekuasaan, yang dapat membuat dia memperoleh segalanya, termasuk membalaskan dendam kepada sepupunya.

Ismet, melalui novel ini, secara tidak langsung mengkritik budaya Minangkabau, serta budaya masyarakat Indonesia secara umum, yang menurutnya banyak menyimpan segudang hipokrisi. Pelanggaran, penyimpangan dan berbagai perbuatan buruk banyak terjadi di tengah kehidupan masyarakat Minangkabau, maupun masyarakat Indonesia, yang dikenal religius.

"Tidak heran apabila masyarakat Indonesia tetap terpuruk setelah dihantam badai krisis, sebab kadang-kadang agama pun dipakai untuk memperalat, membeda-bedakan orang lain, dan bukan sebaliknya dipakai untuk bagaimana lebih menghargai orang lain," ungkap pria kelahiran Kotopanjang, Tanah Datar, tahun 1952, yang meraih gelar PhD dari Cornell University, Amerika Serikat, tahun 1990.

Kendati gagasan Ismet tentang tanah kelahirannya dinilai cenderung diselimuti nuansa yang sangat pekat akan tradisi "pemberontakan" si Malin Kundang, bapak dua anak itu mengaku latar belakang Minangkabau dalam novel dan cerpen yang ia tulis sesungguhnya refleksi kecintaan dia terhadap budaya tanah leluhurnya tersebut.

Bulan Susut, terbitan Kompas, adalah novel ke-2 novelis produktif yang menulis fiksi sejak di bangku PGA tersebut. Cerpen pertama dia dimuat di Suratkabar Haluan, Padang, sewaktu ia masih kuliah di Jurusan Bahasa Inggris IKIP Padang. Novel pertamanya berjudul Kusut, yang diterbitkan oleh Dian Aksara Press tahun 2003.

Dua novel tersebut baru saja terpilih oleh National Endowment for the Arts (NEA), sebuah badan pemberi dana nasional AS dalam bidang kesusasteraan. NEA mendanai penerbitan Bulan Susut ke dalam Bahasa Inggris, yang terjemahannya dikerjakan oleh sang istri, Rebecca Fanany. [SP/Elly Burhaini Faizal]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 24 Juli 2007

Tuesday, July 03, 2007

Pentas: Hujan Bulan Juni

-- SP/Adi Marsiela

Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu- ragu di jalan itu


Iman Soleh membawakan cerita pendek "Sunat" karya Pramoedya Ananta Toer dalam acara Hujan Bulan Juni di Selasar Sunaryo Art Space, Sabtu (23/6). (SP/Adi Marsiela)


Penggalan musikalisasi puisi Hujan di Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono yang dinyanyikan Dua Ibu (Reda dan Tatyana) terdengar sayup-sayup di amphitheater Selasar Sunaryo Art Space, Sabtu (23/6) malam lalu. Bulan pun menampakkan dirinya tanpa malu meski usianya baru mencapai setengah purnama.

Hawa dingin Bandung bagian utara yang menusuk kulit tertutup oleh hangatnya sajian kopi, teh manis, dan mie kocok. Puluhan pengunjung sudah hadir untuk mengikuti puncak acara Hujan Bulan Juni yang diselenggarakan oleh Yayasan Lontar dan Selasar Sunaryo.

Siapa sangka, meski hanya dengan mie kocok, makan malam itu menjadi sebuah pengalaman berbeda. Yayasan Lontar yang berusia 20 tahun pada 28 Oktober 2007 mendatang memutarkan Rendra-Si Burung Merak, salah satu film dari On The Record Tokoh-Tokoh Sastra Indonesia yang memang dibuat untuk melengkapi kurangnya dokumentasi para tokoh sastra di Indonesia.

Jadilah, kami makan sembari menyaksikan lembaran hidup Willibrordus Surendra Broto Rendra, pendiri Bengkel Teater, Yogyakarta. Melengkapi cerita yang disajikan, sejumlah kritikus juga tampil memberikan komentarnya dalam film itu. Sesekali Rendra sendiri yang menuturkan pandangannya tentang karya dan bangsanya.

Selepas maghrib, acara di sana bisa dibilang menjadi miliknya penyair. Usai Rendra, tampil Iman Soleh, penyair asli Bandung yang juga mengelola Pusat Kebudayaan Ledeng. Mengenakan baju lengan pendek berwarna hitam dengan balutan celana jeans, penyair berambut gondrong itu membacakan cerita pendek karya Pramoedya Ananta Toer bertajuk Sunat.

"Cerpen ini saya pilih karena menarik dan anak saya juga mau disunat bulan depan," katanya sebelum membacakan cerita itu.

Kemampuan Iman Soleh membacakan cerita sangat mumpuni. Intonasi dan mimik Iman juga mengundang tawa, terlebih saat dia sampai pada bagian sang anak menanti giliran disunat. Rasa takut akibat mendengarkan temannya yang sudah lebih dulu dipotong, dia sampaikan dengan matanya yang melotot sembari merapatkan kedua kakinya ke arah paha. Geli sekaligus miris.

Keyakinan sang anak yang goyah ketika mengetahui dirinya belum menjadi seorang penganut Islam yang sejati juga terpapar di bagian akhir cerita. Suara lirihnya mewakili pertanyaan sang anak kepada bapaknya yang tidak juga mampu berbuat haji, menaiki kapal ke negeri Arab. Pandangannya yang kosong seolah-olah mengatakan bagaimana harapan sang anak hilang harapan untuk menjadi orang Islam sejati.

Grup musik Wedang Jahe dari Universitas Pendidikan Indonesia tengah membawakan musikalisasi puisi dalam acara Hujan Bulan Juni di Selasar Sunaryo Art Space, Sabtu (23/6). (SP/Adi Marsiela)


Menjadi saksi pembacaan cerita pendek itu memang cukup mengasyikan. Apalagi jika para pengunjung sempat menyaksikan pemutaran film tentang Ramadhan KH, NH Dini, Selasih, Achdiat Kartamihardja, dan Pramoedya Ananta Toer.

Setidaknya kita bisa mengetahui kalau ternyata Selasih, perempuan penyair pertama yang menulis puisi dan novel dalam bahasa Indonesia dan sangat menjunjung tinggi emansipasi perempuan ternyata tidak pernah memasak seumur hidupnya. "Ibu hanya tahu teori tapi tidak tahu praktek," kata penulis novel Kalau Tak Untung ini menuturkan omongan anak-anaknya.

Bagaimana pula Pramoedya Ananta Toer yang rendah diri semenjak kecil bisa menjadi seseorang yang sangat berani dan tegas dalam mengambil sikap, saya dapatkan dari pemutaran film itu. Menurut Pram, panggilan akrabnya, perubahan itu dia dapatkan ketika usianya mencapai 27 tahun.

Saat itu, kata Pram, dirinya tengah berada di Belanda dan jatuh cinta pada seorang noni Belanda. Singkat cerita, dua anak manusia itu memadu kasih sampai akhirnya berhubungan sex. "Sejak saat itu saya merasa sederajat dengan siapapun. Terima kasih kepada pacar Belanda saya," ungkap Pram di film yang disutradari oleh Sriketon M itu.

Kembali ke amphitheater. Usai pembacaan cerita pendek, berturut-turut hadir Wedang Jahe, Dedi Koral, dan deKasta. Selain Dedi, adalah kelompok musikalisasi puisi dari Universitas Pendidikan Indonesia.

Puisi karya Sutan Takdir Alisyahbana, H B Yassin, serta Makmur Saadi dibawakan dengan irama keroncong oleh Wedang Jahe. Cara baru menikmati puisi. Dedi Koral menambah keriuhan pengunjung. Pasalnya, beres dia membacakan puisi tanpa text, turun satu per satu pengunjung yang ikut menyumbangkan puisinya secara spontan.

Acara yang diawali oleh diskusi sastra "Yang Muda Yang Bersastra: Sastra di Mata Anak Muda" pada Jumat (22/6) itu ditutup oleh penampilan deKasta yang terdiri dari seorang pria dan tiga perempuan.

Usaha mereka membawakan puisi dengan gaya musik modern yang dilengkapi sebuah keyboard patut diapresiasi. Terlebih saat membawakan karya Presiden Penyair, Sutardji Calzoum Bachri berjudul Sepisaupi. Mantra dalam puisi itu terasa jelas dalam gaya musik jazz yang mereka mainkan.

Satu hal yang sebenarnya sangat dinantikan oleh para pengunjung adalah musikalisasi puisi karya Sapardi Djoko Damono di tengah-tengah acara itu. Tapi sayang, sampai akhir acara yang judulnya menyerupai sebuah puisi karya Sapardi, penantian itu tidak membuahkan hasil. Untung saja masih terdengar sayup-sayup suara Dua Ibu dari pengeras suara.

...tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu.

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 3 Juli 2007

Sunday, July 01, 2007

Udo Z Karzi: Aku Bayangkan Got yang Kau Pajang

-- Dody Kriswaloejo*


ketika hujan aku tak pernah membayangkan
bagaimana keajaiban tercipta
tapi tidak melalui got yang kau angankan
betapa sajakmu membuat hantu hantu bangkit tidur
persis tanah Surabaya dengan keinginan lembab Samun

betapa aku inginkan melukis sajakmu sebagai bukit dan kau arung melebihi bayangan kota bodoh dengan anjing menyalak
tapi aku tak ingin lahir serupa puisimu
aku ingin meledakkan rumah rumah utara
yang kau kira berubah hitam sejak sungai tak lagi kau alirkan di lenganmu
seperti barisan tanah yang lebih sakit hati dari elang elang hujan

gerimis yang kupajang melebihi bentang gaun pelacur
selebihnya sungai dengan hantu hantumu yang
tak perawan

inilah keinginan kota kota selatan
bagaimana sajakku membaca sejarah sebagai dunia tanpa ketololan
sebab kau lebih layak
terpotong sebagai penyair simbolis
yang sudah terbantai sejak
patung patung bermimpi mengelupas di kulitmu

Surabaya, Juni 2007

* Dody Kristianto, lahir 3 April 1986. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya. Penikmat Kajian Sastra, Seni dan Budaya. Bergiat pada kelompok Jeda Interlude dan Komunitas Penulis lepas (www.penulislepas.com). Beberapa sajaknya pernah muncul di beberapa media.

Sumber: Puitika.net, Sabtu, 30/06/2007 - 11:40.

Wacana: 'Ruang Kebebasan' Dalam Novel Kontemporer

-- Hudan Hidayat*

NOVEL, sebagai karya sastra, harus diletakkan dalam hubungan antara Tuhan, alam dan manusia. Tuhan, sebagai Maha Kesadaran yang tak berbentuk, memerlukan semesta untuk menampakkan kehadiran-Nya. Kita bisa menandai kehadiran Tuhan melalui bentuk ciptaan-Nya. Yakni dunia dan manusia.

Tuhan memang bisa membuat apa saja, tetapi bentuk yang dibuat-Nya itu tetap mengandaikan waktu. Waktu yang memuat tahapan dalam proses yang kita nikmati atau sesali. Begitulah manusia menikmati proses terbentuknya alam dengan mengeluarkan teori Big Bang atau Statemen Evolusi. Proses dan bentuk yang terikat dalam hukum-hukumnya sendiri. Proses dan bentuk yang menimbulkan keindahan dan kecemasan, ketakutan dan harapan -- seperti bentuk janin dalam perut ibu. Bentuk yang menginginkan kekekalan dalam nilai-nilainya. Proses dan bentuk adalah novel itu sendiri. Proses dan bentuk adalah penceritaan itu sendiri.

Seperti Tuhan mencipta semesta yang menjadi latar bagi manusia, demikian juga manusia mencipta karya sastra yang menjadikan alam sebagai latar bagi tokohnya. Kehadiran tokoh dalam karya sastra adalah turunan langsung dari kehadiran manusia di tengah semesta. Tanpa manusia yang mengalami peristiwa, semesta tak mempunyai arti. Hanya alam yang membisu: ada, tapi tak bisa dimaknai. Karena hanya manusialah yang bisa membuat makna dengan kesadarannya.

Demikian juga dengan tokoh dalam karya sastra. Latar, alur, tema, ada dalam sebuah novel. Tanpa tokoh yang bermain di latar, alur dan tema, maka novel itu hanya membisu bagi pembaca. Dengan hadirnya tokoh, maka segenap unsur 'semesta' dalam novel tiba-tiba membentuk jalinan makna bagi pembaca.

Itulah gejala 'kesadaran' yang memerlukan 'tubuh'nya. Seperti Tuhan memerlukan semesta untuk memperlihatkan kebesaran-Nya. Begitu juga manusia memerlukan tubuhnya untuk menampakkan roh kesadarannya. Maka prinsip penciptaan adalah bagaimana mengkonkretkan dunia yang abstrak. Konkretisasi inilah kerja sang pengarang. Maka novel adalah tubuh pengarang, tempat gejala kesadarannya mewujud. Dalam wujud novel.

Dalam elemen-elemen novel, sang pengarang berdiam. Masa lalunya mengendap di situ. Tokoh dalam novel menjadi alter-ego sang pengarang. Dengan tokoh-nya, sang pengarang memberantakkan dirinya. Membongkar gudang jiwanya. Gudang jiwanya yang terhubung dengan alam dan Tuhan. Sang pengarang membuat semacam terowongan untuk sampai ke alam dan Tuhan. Terowongan yang bercabang di mana di dalamnya sang pengarang berjalan bolak balik antara manusia, alam dan Tuhan.

Tentu saja sang pengarang boleh membuat terowongan jiwanya sendiri, tanpa terhubung dengan alam dan Tuhan. Tekanan diberikan pengarang kepada relasi antara tokohnya dengan manusia lain. Sesekali saja dia menyentuh alam dan Tuhan. Sikap seperti ini sikap yang sah. Sebab novel sebagai bagian bentuk seni tidak bisa dibakukan. Membakukan novel sama dengan menindas sang pengarang untuk menghayati alam dan Tuhan, sementara sang pengarang ogah menyentuh kedua bidang ini.

Tetapi, bila sikap ini yang ditempuh, maka dunia yang dibangun pengarang dalam novelnya akan kekurangan bahan renungan. Sebab hidup ibarat jalannya mobil: seseorang tertarik pada rodanya atau pintilnya, orang lain tertarik pada warna dan bentuknya. Baik roda atau pintil ban bukanlah mobil itu sendiri. Juga warna dan bentuk mobil. Mereka hanya elemen mobil. Elemen yang penting, tapi bukan mobil itu sendiri. Maka datang orang lain lagi yang terpikat dengan keseluruhan mobil, sambil kemudian mulai menanyakan hakekat mobil: darimana mobil itu memperoleh tenaganya. Hendak kemanakah mobil itu dibawa oleh pengemudinya. Singkat kata, kenyataan mobil ditransenden ke dalam makna yang lebih luas.

Tanpa terowongan yang menghubungkan dengan alam dan Tuhan, maka sebuah novel akan bertaruh dengan kedalaman jiwa sang tokoh. Tentu, tokoh yang ditempatkan dalam bingkai relasi dengan manusia lain. Tokoh yang karena lakunya atau laku orang lain pada dirinya, telah membuat manusia fiksi itu menembus kedalaman dirinya sendiri. Ia memamerkan lukanya, ke dalam suatu kengerian psikologis karena luka jiwanya. Ia memburaikan jiwanya. Ia meninggi. Ia menjauh dari dunia sehari-hari.

Tokoh seperti ini biasanya memiliki keunikan dan ketinggian baik pikiran maupun lakunya. Sebuah penceritaan yang penuh talenta, akan menghidupkan tokoh yang unik ini ke dalam simbol dan metapor. Ia bukan penceritaan yang hanya memusat pada hasrat tubuh. Penceritaan yang hanya tubuh, akan meringkus novel ke dalam kekeringan makna. Novel menjadi dunia yang sempit. Tak bisa menjadi kaca banding bagi pembaca.

Sebab hidup penuh lapisan dan tarikan. Seolah lapisan dan tarikan hati. Seolah lapisan dan tarikan bumi. Tarikan Tuhan juga. Lapisan dan tarikan yang seolah arus sungai menarik diri-diri pembaca. Diri pengarang juga.

Sering dikatakan orang, dunia yang begitu kompleks ini telah membuat seluruh relasi menjadi nisbi. Hidup menjadi serba permisif. Dan dalam kenisbian itu relasi lelaki dan perempuan menjadi medan yang penuh ujian: nilai-nilai terguncang. Manusia kini boleh melakukan apa saja. Bahkan seorang perempuan boleh meniru lebah. Di mana sang ratu lebah dikelilingi dan dicicipi banyak lelaki.

Sudah demikian jauh hidup berjalan, meninggalkan jaman Siti Nurbaya. Tetapi soalnya, "kebebasan tubuh", harusnya hanya menjadi sampiran, bukan isi, dari perjuangan memuliakan manusia. Manusia (tokoh novel) boleh terjatuh, tetapi sang pengarang menariknya untuk tegak kembali. Memberinya sayap pikiran untuk menjangkau dunia.

Ledakan kehidupan, tarikan kematian, lintasan hati, dalam bentuk varian keanehan dan ketinggian pikiran dan perasaan, yang memendar dalam sekian banyak tindakan aneh dan gila, harusnya menjadi harga yang pantas bagi novel yang mengusung kebebasan. Bukan hanya berhenti pada tubuh. Mengerucut hanya hasrat pada tubuh. Tetapi ia bergerak liar menjangkau dunia. Novel menjadi tandingan dunia dalam bingkai kata-kata. Tempat di mana manusia dapat menyimak dan memetik kabajikan darinya.

Sejak Iwan Simatupang, Budi Darma, Mangunwijaya, Kuntowijaya atau Putu Wijaya misalnya, berhenti menulis, saya merasa dunia novel sudah lama mengusir alam dan Tuhan dari kisahnya. Juga mengusir disiplin psikologi.

Novelis kita (terutama perempuan), banyak yang hanya bertumpu pada kisah tubuh. Seolah patriarki benar-benar mengungkung dan hendak mereka rubuhkan. Tak ada salahnya. Tapi kebebasan itu, tak menjadikan tubuh terangkat, atau tubuh dipandang, sebagai sesuatu yang lebih tinggi. Tubuh tak menjadi keping alam dan Tuhan. Tempat dimana renungan dunia ditegakkan.

Tubuh adalah segala-galanya, membuat novel seolah dunia tak lengkap. Kalaupun ada luka, kesakitan, kegilaan, aspirasi, maka luka, kesakitan, kegilaan, dan aspirasi itu tidak bisa naik. Karena tubuh bukan sampiran tapi isi. Sastra kehilangan nilai transendennya.

Fasilitas yang diberikan oleh novel, semangat kebaruan yang hendak diusung dalam fasilitas itu, tak mengangkat novel. Kecuali pameran hasrat akan tubuh. Pembaruan yang menyempit pada tubuh, bukan membuka pada dunia, tapi tak akan sampai kemana-mana.

* Hudan Hidayat, Cerpenis dan pekerja sastra

Sumber: Republika, Minggu, 24 Juni 2007

Monolog: Energi Putu Wijaya

-- Ilham Khoiri

DALAM usia 64 tahun, gelora Putu Wijaya seperti tak habis-habisnya. Pentas Seratus Menit—yang ternyata molor hingga lebih dari 140 menit—di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu dan Kamis (27-28/6) malam, menjadi ajang pemendaran energinya.

Monolog itu tampil kuat sebagai karya baru yang lebih "provokatif", yang menerabas kungkungan teks cerita.

Didukung kru Teater Mandiri, Putu membawakan lima cerpen karya sendiri, masing-masing berjudul Merdeka (ditulis tahun 1995), Poligami (2003), Raksasa (2006), Memek (2005), dan Setan (2005). Energi dan pendekatannya dalam menghidupkan kisah-kisah itu masih menarik dikomentari.

Di depan penonton yang tak lebih dari separuh kapasitas Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), panggung ditata bersahaja. Ada kursi kayu di tengah dan semacam sangkar burung bulat yang tergantung. Latar kain putih bergerak dinamis karena dipermainkan dan disorot lampu warna-warni. Putu tampil mengenakan setelan hitam-hitam dan berikat kepala.

Pentas dibuka dengan cerpen berjudul Merdeka. Diceritakan, seorang juragan tua yang menghadiahi burung-burung perkututnya dengan melepaskannya ke alam bebas. Makna kemerdekaan pun dipertanyakan dalam konteks kekinian.

Cerpen kedua, Poligami, mengisahkan perempuan yang ingin menjadi laki-laki yang dianggap menggenggam otoritas sosial lebih kuat. Namun, saat keinginan itu sempat terwujud dalam mimpi, perempuan itu justru menemukan fakta laki-laki pun kerap jadi korban perempuan, terutama saat dimabuk cinta.

Raksasa menuturkan gerombolan orang-orang yang merasa lebih kuat sehingga mau memangsa manusia lain. Memek menceritakan bocah yang penasaran untuk mengetahui kelamin perempuan. Orangtuanya kebingungan menjelaskan, sampai seorang ibu guru menunjukkannya di depan kelas. Guru itu malah dinistakan dan dibunuh. Setan mengisahkan setan yang berguru menjadi pahlawan.

Kelima cerpen itu bukanlah cerita baru, malah sebagian sudah kerap ditampilkan dalam sejumlah pertunjukan. Kisah-kisah itu kembali mempertanyakan hakikat kemerdekaan, persoalan jender, dan moralitas. Tanpa menitipkan pesan tunggal yang mutlak, monolog lebih merangsang penonton memikirkan ulang kenyataan sosial dengan kaca mata berbeda.

Sebelum di Jakarta, Seratus Menit sudah dipentaskan di Universitas Parahyangan Bandung, Universitas Petra Surabaya, dan Universitas Islam Negeri Makassar. Karya ini bakal ditampilkan lagi di Roma, Italia, dan Praha, Ceko, pada pertengahan dan akhir Juli ini.

Energi

Menonton Seratus Menit, kita lagi-lagi dihadapkan pada energi Putu Wijaya yang masih menggelora. Untuk orang seusianya, bermonolog selama sekitar 2,5 jam dengan lima cerita beruntun jelas memamerkan kekuatan fisik yang prima, apalagi dia hanya mengambil jeda sejenak antarcerita, tanpa minum.

Sebelumnya, Putu pernah tampil sekitar dua jam dalam monolog Demokrasi, Kemerdekaan, Memek, dan Setan di Goethe Haus Jakarta, tahun 2004. Pentas Zetan di Taman Ismail Marzuki (TIM), tahun 2003, memakan waktu sekitar satu jam. Begitu juga monolog Protes di GKJ, tahun 1996, berdurasi sekitar 1,5 jam.

Bagaimana Putu mengelola energi itu hingga terjaga hingga akhir pentas yang panjang? "Saya berbagi dengan penonton. Saya mengeluarkan energi kepada mereka, setelah itu saya yang menyerap balik energi dari mereka," katanya.

Serap-menyerap energi itu dalam Seratus Menit terjadi terutama saat Putu menempatkan penonton tak hanya sebagai pendengar, tetapi juga bagian dari penutur. Dia bisa sesekali melemparkan lelucon, meminta respons dari penonton, atau bercakap-cakap dengan kru panggung. Penutur, penonton, dan kru panggung tidak berjarak lagi karena semuanya dilibatkan dalam satu ruang pentas.

Provokasi


Energi Putu diandalkan untuk membangun monolog yang dramatis, yang disebutnya sebagai provokasi. Itu memang diniatkan sejak awal ketika dia memilih keluar dari kungkungan membaca atau menghafal teks cerita. Teks hanya menuntun inti cerita. Soal bagaimana kisah itu disuarakan, semuanya bertumpu pada improvisasi dalam momen yang spontan.

Monolog diolah dengan memainkan suara, bahasa, mimik wajah, gerak tubuh, dan penguasaan panggung. Dia leluasa menghidupkan suasana dan tokoh, juga membelokkan alur sehingga sedikit mengejutkan. Benda-benda di atas panggung, seperti kursi, sangkar, handuk, atau pecut, dimanfaatkan menjadi obyek atau subyek secara bergantian.

Putu membangun ketegangan cerita dengan rentetan dialog dan deskripsi yang serasa ditembakkan bertubi-tubi kepada penonton. Imajinasi dan realitas diaduk-aduk, demikian juga nama tokoh, tempat, atau rinci alur cerita. Putu lihai bergulat di situ karena dia adalah penulis cerita, dramawan, sutradara, sekaligus aktor teater.

Segala sesuatunya memang berpusat pada dirinya sendiri dan dia bisa bermain dengan asyik. Inilah pertunjukan teater satu orang.

Monolog Putu dimulai sejak dia membacakan cerpen berjudul Bom di TIM, tahun 1978, dan cerpen "S" tahun 1979. Pembacaan cerpen dengan keharusan mengikuti teks dirasa membatasi akting. Tahun 1979, dia mulai menuturkan cerpen tanpa membaca teks.

Putu mengembangkan diri sebagai aktor monolog tanpa teks dengan pendekatan drama. Produktivitasnya menulis cerpen juga diikuti kerapnya tampil bermonolog. Akhirnya itu memunculkan warna berbeda di tengah kecenderungan monolog yang lazim mengacu teks cerita.

Gairah dan ketekunan Putu pada pilihannya terasa berharga di tengah turun-naiknya semangat sebagian seniman di Tanah Air. Energinya yang besar sebenarnya bisa terus mendorongnya terus menyegarkan gaya bertutur itu. Jika tidak, energi itu bisa terjebak dalam kegetolan untuk memanjangkan durasi pentas, tetapi dengan menu cerita dan gaya bertutur yang cenderung mengulang pentas-pentas sebelumnya.

Sumber: Kompas, Minggu, 01 Juli 2007