Saturday, May 31, 2008

Negara-Bangsa: Dari Otonomi ke Multiplisitas

-- Yasraf Amir Piliang*

SEBAGAI masyarakat bangsa, kita terbiasa hidup dalam realitas kesatuan, ketunggalan, penyeragaman, sehingga gamang menghadapi realitas keliyanan (otherness), perbedaan, dan diversitas. Kita terbiasa merangkai makna tunggal dan tak terbuka terhadap makna jamak (polysemy).

Kita terbiasa dengan keterpusatan dan sentralisasi dan cemas menghadapi ketakberpusatan dan desentralisasi. Kita terbiasa dengan totalitas dan canggung terhadap multiplisitas. Kita terbiasa dengan ketunggalan (ideologi, identitas, standar, etika) dan asing terhadap ”keserbaragaman” (multiplicity).

Kita selalu mempunyai hasrat menjadi ”pusat” (center): pusat kekuasaan, pusat iman, pusat kebenaran, pusat pengetahuan, pusat perhatian (popularitas), pusat kekayaan (monopoli), pusat kekuatan. Kita merasa menjadi bagian dari pusat, mengidentifikasi diri sebagai pusat, bahkan hendak menjadi pusat itu sendiri.

Kita enggan menjadi ”pinggiran”, menjadi ”sang liyan” (the others). Kita dikuasi ego dan tak pernah mau berbagi (sharing). Kita melihat ”sang liyan”: orang lain, suku lain, kelompok lain, provinsi lain, ras lain, agama lain; sebagai ”sang pinggiran” (the peripheral other), yang harus memusat pada kita.

Kita terbiasa hidup di dunia oposisi biner dan dualisme: dunia hitam/putih, benar/salah, kafir/beriman, kawan/lawan, pusat/pinggiran, teroris/antiteroris. Kita juga terbiasa dengan segala kepastian (kerja, penghasilan, keyakinan, masa depan), dan tak sanggup menghadapi ketakpastian dan keadaan turbulensi (chaotic).

Kita terbiasa dengan ”perbedaan hierarkis” dan gamang terhadap ”perbedaan nonhierarkis”. Dalam penjara hierarki, kita kehilangan kepekaan untuk ”berbagi”: berbagi jalan, berbagi senyum, berbagi ilmu, berbagi kekayaan, berbagi budaya.

Dari ”logos” menuju ”chaos”

Kita terbiasa dengan ”kepastian” atau ”jaminan kebenaran” (truth of truth) yang telah disediakan oleh masa lalu bagi kita, apakah yang berasal dari adat, mitos, atau bahkan wahyu. Mata, pikiran, dan kesadaran kita nanar dan terpukau dengan semua kebenaran itu.

Kita terbiasa membangun ”kekuasaan tunggal” (monolithic of power) dan melupakan ”kekuatan bersama” (multiplicity of power) (Hardt dan Negri, Multitude, 2005).

Bahwa, ”himpunan kekuatan-kekuatan kecil” (micro power) bisa lebih dahsyat ketimbang ”kekuatan tunggal terpusat” (macro power). Demi hasrat menjadi ”pusat”, kita enggan membangun ”energi gabungan” lebih dahsyat itu. Kita malah menciptakan ”ironi kekuasaan”: kita tidak mau dikuasai ”pusat”, dengan merayakan otonomi, tetapi melalui otonomi itu kita justru membangun ”pusat-pusat mikro”. Ironisnya, di dalam pusat-pusat mikro itu, kita masih tergantung pada pusat besar.

Otonomi hanya mereproduksi ”kebenaran akhir” (logos), yang berasal dari sentimen kesukuan, kedaerahan, ras, dan bahkan keagamaan. Keterbiasaan kita hidup di dalam bingkai tafsiran restropektif, telah menciptakan ketergantungan besar pada logos atau kebenaran akhir itu. Demi menghindari chaos, kita menggantungkan diri pada logos.

Dari totalitas ke multiplisitas

Kita terbiasa merangkai yang berbeda-beda (heterogeneity) menjadi sebuah ”kesamaan” (homogeneity), menyusun yang beraneka ragam menjadi sebuah ”kesatuan” (unity); merajut yang bersifat multiplisitas menjadi sebuah ”totalitas” (totality). Dengan menyamaratakan yang beragam, kita mereduksi perbedaan-perbedaan menjadi kesamaan; dengan menyatukan yang beraneka ragam menjadi kesatuan, kita memangkas keanekaragaman; dengan menunggalkan yang plural, kita menyunat pluralitas; dengan menotalkan yang multiplisitas.

Kita melihat negara-bangsa sebagai sebuah ”organisasi besar”, yang menyatukan entitas-entitas (manusia, bahasa, etnis, keyakinan, artifak) yang berbeda-beda menuju sebuah titik pusat deterministik, dengan melupakan ”jaringan” dan ”hubungan” di antara entitas-entitas plural itu (Guattari, Molecular Revolution: Psychiatry and Politics, 1981).

Padahal, ”mesin negara” itu kini tengah ”diinvasi” oleh ”mesin lebih besar”, yang mampu ”menghimpun” dan ”menggerakkan” elemen-elemen individual, sosial, politik, kultural, dan spiritual, melalui kompleksitas organisasi dan pengaturannya: mesin-mesin jaringan internet, teroris, narkoba, perdagangan manusia.

Dengan berakhirnya kekuatan totalitas, pilihan tunggal yang tersedia di masa depan adalah kekuatan ”multiplisitas” di dalam aneka jejaring. Multiplisitas adalah sebuah orkestra negara-bangsa tanpa konduktor, yang membangun sendiri iramanya di dalam jaringan, melalui kekuatan komunikasi, koperasi, aliansi, dialog, garis hubungan, dan aneka relasi sosial lainnya. Di dalamnya tidak ada ”kekuasaan tunggal” atau kekuasaan total. Yang ada adalah entitas-entitas yang mengatur diri sendiri, dengan mencampakkan kedaulatan (Bard dan Söderqvist, Netocracy: The New Power Elite and Life After Capitalism, 2002).

Di dalam abad multiplisitas, tidak ada seseorang atau sebuah institusi pun yang dapat mengatur setiap orang melalui prinsip totalitas, baik institusi keluarga, adat, negara, maupun agama.

Di dalam sistem keluarga, anak-anak tidak dapat lagi diatur secara ”totaliter” oleh orangtua. Di dalam sistem adat para anggota masyarakat adat sudah mulai melepaskan diri dari kungkungan adat; di dalam sistem negara, rakyat tidak dapat lagi sepenuhnya dikendalikan oleh negara. Di dalam sistem agama, kekuatan wahyu mendapatkan tantangan dari aneka ”spiritualitas sekuler”, seperti media dan dunia hiburan.

Setiap orang kini berada di dalam kondisi ”multiplisitas pengaturan” macam itu, yang tak satu pun bersifat dominan atau total. Mungkin setiap kita canggung memasuki masa depan yang tampak tak ramah itu, tetapi begitulah panorama dunia yang tersedia bagi kita.

* Yasraf Amir Piliang, Ketua Forum Studi Kebudayaan Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung

Sumber: Kompas, Sabtu, 31 Mei 2008

Buku Mahal akibat Selera Tinggi, Pusat Buku Indonesia Diresmikan

Jakarta, Kompas - Sebagai negara produsen kertas, harga kertas sebagai bahan baku buku sebenarnya relatif murah. Harga buku menjadi mahal karena selera tinggi. Buku-buku yang diterbitkan umumnya menggunakan kertas HVS, bukan kertas buram seperti yang dilakukan India dan negara-negara lain.

Wakil Presiden Jusuf Kalla berbincang dengan pelajar SD yang hadir saat peresmian Pusat Buku Indonesia di Kelapa Gading Trade Centre, Jakarta, Jumat (30/5). Sekitar 258 stan buku yang diisi berbagai penerbit, distributor, dan importir buku bergabung di area tersebut. (KOMPAS/LASTI KURNIA)

Hal itu disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat meresmikan Pusat Buku Indonesia yang bertempat di lantai 3 Gedung Kelapa Gading Trade Centre, Jakarta Utara, Jumat (30/5). Hadir dalam acara itu di antaranya Ny Mufidah Jusuf Kalla dan Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Setia Dharma Madjid.

”Harga kertas ditambah pajak dan lain-lain, saya tahu betul, tidak terlalu mahal. Sebab, kita adalah produsen kertas. Tetapi, kadang-kadang kita punya selera yang tinggi. Jadi, maunya kertas HVS,” ujar Wapres.

Menurut Wapres Kalla, dengan sebagian pajak yang sudah dihapuskan, memang buku relatif masih mahal.

Wapres mengakui sebagian besar penerbit langsung menjual buku-buku mereka ke sekolah. ”Kalau penerbit langsung menjual buku ke sekolah-sekolah, fungsi toko buku sebagai distributor buku tidak akan berjalan. Akibatnya, buku yang dijual di toko sedikit dan tidak ada. Yang banyak dijual di toko hanya novel dan komik. Itu karena yang dicetak sedikit. Karena dicetaknya sedikit, harga jual buku pun menjadi mahal,” ujar Wapres.

Oleh sebab itu, Wapres Kalla meminta agar peran dan fungsi toko dikembalikan lagi ke peran dan fungsi awalnya agar distribusi buku berjalan dengan baik kembali. ”Kalau ingin semangat baca meningkat, kembalikan sistem distribusi penjualan buku. Selama ini telah terjadi penghilangan salah satu fungsi dalam distribusi penjualan buku,” ujar Wapres lebih lanjut.

Pusat Buku yang pernah dicita-citakan kalangan penerbit buku yang tergabung dalam Ikapi selama 30 tahun lalu itu terdiri dari sekitar 258 toko buku, distributor, dan penerbit.

Pusat pertemuan

Setia Dharma Madjid mengatakan, Pusat Buku Indonesia didirikan atas upaya Ikapi dan pengusaha yang menyediakan tempat. Selama satu tahun, Pusat Buku Indonesia mendapatkan keringanan biaya tempat dari pengusaha.

Pusat tersebut diharapkan menjadi tempat pertemuan pihak-pihak yang terkait dengan perbukuan, baik penulis, penerbit, distributor, maupun pembaca. Dengan berkumpulnya penerbit, penulis juga diharapkan akan lebih mudah mengajukan karya-karyanya untuk diterbitkan.

Distributor, penerbit, dan toko buku yang menjadi anggota Pusat Buku Indonesia berharap tempat tersebut ramai pengunjung dan menjadi komunitas baru. Anton Utomo dari Anelinda Pusat Buku Unik dan Antik mengatakan akan melihat perkembangan Pusat Buku Indonesia selama satu tahun ini. ”Kalau nanti ramai, pasti kami akan tetap di sini,” ujarnya.

Dia berpendapat, pusat tersebut akan memudahkan masyarakat. Tidak hanya kemudahan mencari buku baru dan buku lama, tetapi informasi soal akan diterbitkannya buku baru.

Hal senada diungkapkan Jeane dari distributor Etnobook. ”Dalam bisnis perbukuan ada istilah dead stock atau buku-buku lama yang sudah ditarik dari toko. Di sini kami bisa bebas menjual buku baru dan lama,” ujarnya. (HAR/INE)

Sumber: Kompas, Sabtu, 31 Mei 2008

Sejarah: Pemerintah Masih Kurang Memerhatikan Museum

Jakarta, Kompas - Museum bakal menjadi tempat penting pada masa mendatang, seperti diramalkan Naisbitt dan Aburdene dalam buku Megatrends 2000. Hal ini pun sudah terjadi di negara-negara di Eropa. Namun, di Indonesia, perhatian pemerintah terhadap museum masih kurang.

Demikian permasalahan yang terungkap dalam Seminar Reposisi Museum di Indonesia dalam Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional di Jakarta, Kamis (29/5). Hadir antara lain para kepala museum dari 286 museum di Indonesia serta kalangan akademisi.

Daud Aris Tanudirjo dari Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengatakan, di negara-negara maju, masyarakatnya sangat mendukung pendirian museum dan tingkat kunjungannya pun sangat tinggi. Di Indonesia, citra museum sebagai gudang penyimpanan barang-barang kuno yang tidak menarik masih menjadi gambaran umum masyarakat.

”Museum di Indonesia semestinya bisa menjadi tempat pendidikan, penelitian, pelestarian, sekaligus sebagai hulu industri budaya,” kata Daud.

Untuk itu museum harus informatif, komunikatif, jelas, dan berkesan, serta ditangani tenaga-tenaga profesional.

Prof Dr Noerhadi Magetsari dari Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia mengatakan, museum haruslah dikelola para profesional dari berbagai disiplin ilmu. Bukan cuma ahli arkeologi atau paleontologi, tetapi juga ahli manajemen, ilmu komunikasi, kimia, desain grafis, dan ilmu-ilmu lainnya.

Yuwono Sri Suwito, Ketua Dewan Kebudayaan Yogyakarta, mengatakan, mestinya museum dioptimalkan sebagai wahana pembelajaran, sarana mencerdaskan kehidupan bangsa, memperkokoh persatuan, dan mempertebal jati diri bangsa. Namun, peran dan potensi museum kurang dimanfaatkan secara optimal. Berbagai pihak, termasuk birokrasi pemerintah, lanjut Yuwono, perlu melakukan berbagai terobosan agar museum bisa semakin menarik minat masyarakat untuk berkunjung dan mengoptimalkan museum. (THY)

Sumber: Kompas, Sabtu, 31 Mei 2008

Fokus: Memahami Pancasila Lewat Museum

KENDARAAN lapis baja itu masih tampak terawat. Panser bertipe PCMK-2 Saraceen asal Inggris itu menjadi atraksi pertama yang langsung bisa dinikmati begitu melangkahkan kaki memasuki gerbang Monumen Pancasila Sakti di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Jakarta Timur. (Dok SP)

Pada 1976, panser itu dipakai untuk mendukung operasi militer di Timor Timur (sekarang Timor Leste, Red). Pada Juli 1985, panser tersebut ditarik dari medan perang untuk diabadikan di monumen.

Bukan semata-mata karena pernah dipakai mendukung operasi militer, tapi panser itu dilestarikan di tempat itu. Panser itu ternyata termasuk saksi bisu Peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Buku panduan monumen menyebutkan panser itu dipakai untuk mengangkut jenazah korban G30S menuju Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto Jakarta Pusat guna pemeriksaan visum et repertum. Jenazah-jenazah itu kemudian disemayamkan di Mabes Angkatan Darat.

Selain panser, kendaraan bersejarah lain yang dipajang di tempat itu adalah kendaraan dinas yang digunakan Soeharto, kemudian menjadi Presiden kedua Indonesia, pada 1965, yakni jip kanvas bermerek Toyota berwarna hijau tentara. Di sebelahnya, dipajang mobil dinas Jenderal Anumerta A Yani. Seperti jip kanvas dan beberapa kendaraan lain yang dipajang, mobil beregistrasi AD-01 itu tersimpan di bawah pendopo. Pagar rantai menjadi batas pengunjung yang ingin melihatnya.

Tidak jauh dari area parkir, terlihat replika truk berwarna abu-abu yang digunakan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk mengangkut jenazah DI Panjaitan (mayor jenderal anumerta, Red) ke Lubang Buaya. Truk bermerek Dodge produksi 1961 itu merupakan kendaraan rampasan, milik Perusahaan Negara (PN) Arta Yasa.

Kendaraan-kendaraan bersejarah itu selama ini tak banyak dikisahkan. Keberadaannya kalah populer dengan lubang maut dan diorama-diorama yang mengisahkan peristiwa berdarah, bagian dari sejarah kelam republik ini. Monumen Pancasila Sakti itu resmi dibuka pada 1972, dibangun untuk mengenang Peristiwa G30S. Selain itu, pemerintah juga membangun Museum Pengkhianatan PKI (Komunis) yang dibuka untuk umum sejak 1992.

Pembangunan kedua fasilitas tersebut, seperti dijelaskan petugas di museum tersebut, untuk mengingatkan generasi penerus mengenai pemberontakan PKI yang merenggut banyak korban, demi tercapainya tujuan mereka yaitu mengganti Pancasila dengan paham komunis sebagai ideologi negara. Fasilitas publik yang dikelola Pusjarah TNI itu, merupakan kumpulan fakta sejarah yang dapat dipelajari generasi penerus agar tetap setia dengan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara.

Mudah mencapai tempat itu. Kendaraan umum mikrolet M 28 dan Metro Mini T 45 melintasi kawasan tersebut. Lokasinya tak jauh dari Taman Mini Indonesia Indah. Tiket masuknya Rp 1.500.

Museum

Memasuki area, pengunjung harus mengikuti rute kunjungan, yakni Museum Pengkhianatan PKI (Komunis), Gedung Paseban, dan Monumen Pancasila Sakti. Pengelola menyediakan jasa pemandu bagi perorangan maupun rombongan.

Tiga foto mozaik hitam putih di Ruang Intro menyongsong pengunjung yang memasuki museum. Masing-masing menggambarkan kekejaman PKI pada pemberontakan Madiun, penggalian jenazah korban keganasan Peristiwa G30S, dan pengadilan gembong PKI oleh Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).

Mengikuti alur, pengunjung dapat menikmati diorama-diorama yang menggambarkan berbagai kegiatan makar dan pengkhianatan PKI di seluruh wilayah Nusantara sejak 1945. Diorama pertama adalah Peristiwa Tiga Daerah pada 4 November 1945. Sejumlah 34 diorama berderet di sisi kanan-kiri menghiasi gedung berlantai dua itu.

Dilengkapi pendingin ruangan, pengunjung dapat menikmati tur sejarah tanpa pemandu, karena setiap diorama mencantumkan keterangan peristiwa yang digambarkannya. Masih di lantai satu, bagi pengunjung yang jeli, dapat melihat kilauan lampu flip-flop pada sketsa konsep umum rencana operasi penumpasan pemberontakan PKI Madiun 1948.

Di tempat itu juga dipamerkan beberapa senjata, seperti pistol jenis FN dan senapan milik DI Panjaitan, serta seragam pasukan PGRS (Pasukan Gerilya Rakyat Serawak) lengkap dengan benderanya. Mendekati pintu keluar, di sisi kanan terdapat tulisan: "Jangan biarkan peristiwa semacam itu terulang kembali. Cukup sudah tetes darah dan air mata membasahi bumi pertiwi. Untuk itu pelihara dan tingkatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Selamat jalan dan merdeka."

Foto-foto pengangkatan jenazah dan pemakaman Pahlawan Revolusi bisa disaksikan di salah satu bagian Gedung Paseban. Berdekatan dengan ruang pameran foto itu, terdapat ruang relik yang memamerkan pakaian korban, petikan visum, termasuk alat bantu pernafasan (aqualung) yang dipakai dalam pengangkatan jenazah.

Di sumur bergaris tengah 75 cm ini, tujuh pahlawan revolusi ditemukan dalam peristiwa G30S/PKI. (Dok SP/Yatti Harjiyo)

Monumen

Jalan menuju monumen melintasi lapangan berumput yang digunakan untuk upacara Hari Kesaktian Pancasila. Menaiki tangga, terlihat bangunan seperti pendopo bertonggak empat lengkap dengan penutupnya. Itulah cungkup dari sumur tua tempat menimbun jenazah korban Peristiwa G30S. Dalamnya 12 meter dan berdiameter 75 cm. Pada bagian mulut sumur, terdapat prasasti dengan tulisan ejaan lama. "Tjita-tjita perdjoeangan kami untuk menegakkan kemurnian Pantja Sila tidak mungkin dipisahkan hanja dengan mengubur kami dalam sumur ini, Lubang Buaja, 1 Oktober 1965."

Di sebelah kiri sumur, bisa disaksikan rumah yang dijadikan tempat penyiksaan keempat korban. Patung Pierre Tendean, R Soeprapto, S Parman, dan Soetojo Siswomihardjo yang disiksa, tergambar pada diorama yang dikelilingi kaca berwarna hitam itu.

Tidak jauh dari bangunan itu, terdapat rumah yang dijadikan pos komando untuk mempersiapkan rencana penculikan. Rumah berwarna putih pucat itu masih dipertahankan keasliannya. Tiga buah lampu petromaks, mesin jahit, dan lemari kaca dilestarikan sebagai peninggalan sejarah. Di seberangnya, bisa dilihat bangunan rumah yang dipakai sebagai dapur umum.

Tugu Pahlawan Revolusi bisa disaksikan 45 meter sebelah utara sumur maut. Di latar belakang tampak patung Garuda Pancasila. Ketujuh patung Pahlawan Revolusi, gelar bagi korban Peristiwa G30S, berdiri berderet setengah lingkaran dari barat ke timur.

Seharian mengunjungi monumen dan museum, pengunjung dapat beristirahat sejenak atau menikmati hidangan makanan yang tersedia di kantin dekat area parkir. Bahkan, pengunjung dapat memesan makanan cepat saji asal Negeri Paman Sam kepada pegawai kantin. [Raymond R Sumampouw]

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 31 Mei 2008

Seminar "Reposisi Museum Indonesia": Paradigma Museum Sudah Berubah

[JAKARTA] Di zaman seperti saat ini, museum bukan hanya untuk menyimpan barang-barang antik saja. Kalau museum tidak melakukan inovasi-inovasi dan tetap monoton, jangan salahkan kalau masyarakat akan semakin enggan menginjakkan kakinya ke bangunan bernama museum itu.

Paradigma museum sudah berubah seiring dengan perkembangan zaman serta semakin luasnya cakrawala seseorang dalam berpikir. Di era milenium saat ini, museum juga bisa menjadi misi pendidikan dan ilmu pengetahuan dengan memberikan informasi ke masyarakat luas.

"Museum jangan hanya menyimpan benda-benda antik saja. Museum juga harus bisa memberikan informasi yang sedetail-detailnya tentang benda-benda antik tersebut. Museum itu adalah tempatnya identitas bangsa. Dengan museum, kita tidak bicara lagi soal koleksi. Museum harus bisa memberikan manfaat bagi masyarakat dan bukan sekadar menjadi tempat penyimpanan benda-benda langka. Museum harus menjadi lembaga kebudayaan yang melayani masyarakat," kata Prof. Dr Nurhadi Magetsati, Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia seusai memberikan pemaparannya dalam seminar yang bertajuk Reposisi Museum Indonesia di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, Kamis (29/5).

Menurut dia, perubahan paradigma ini juga akan berdampak pada para pelakunya, yaitu para profesional di bidang permuseuman. Katanya, museum saat ini dituntut memiliki profesional baru sebagai peneliti koleksi sehingga peneliti inilah yang menggantikan fungsi kurator. Selain pada sumber daya manusia (SDM), perubahan paradigma juga berdampak pada manajemen museum, yaitu manajemen yang lebih menekankan pada manajemen koleksi dan komunikasi.

"Yang jelas, konsep manajemen memori kultural merupakan konsep kunci dalam mengaktualisasikan museologi (kajian atau studi tentang museum). Konsep kuncinya adalah preservasi, penelitian, dan komunikasi," ujar dia.

Preservasi, sebagaimana yang tertuang dalam makalahnya, mencakup pengertian pemeliharaan fisik maupun administrasi dari koleksi. Sementara penelitian mengacu pada penelitian terhadap warisan budaya. Sedangkan komunikasi mencakup kegiatan penyebaran hasil penelitian berupa ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam bentuk pameran, program-program pendidikan, kegiatan, dan publikasi.

Peran Strategis

Selain Nurhadi Magetsari, pembicara lainnya dalam seminar sehari yang diikuti oleh hampir seluruh pengelola museum di Indonesia ini, adalah Ir Yuwono Sri Suwito, Ketua Dewan Kebudayaan DI Yogyakarta.

Yuwono menjelaskan, museum bukan tempat untuk menyimpan barang-barang kuno, barang-barang bekas yang tidak berfungsi, tetapi, museum dengan segala koleksi yang dimiliki merupakan wahana pembelajaran kepada manusia atau sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

"Museum mempunyai peran strategis sebagai sarana pendidikan, sebagai tempat untuk mencari kebenaran sejarah dan ilmu pengetahuan, dan sebagai tujuan wisata. Yang jelas, orang yang datang ke museum itu tidak hanya to see (melihat) atau to buy (membeli), tetapi juga to do (mengerjakan sesuatu)," ujar dia.

Berkaitan dengan dunia pariwisata, menurutnya, museum dikategorikan sebagai objek dan daya tarik wisata budaya. Daya tarik wisata budaya ini dapat dipilah menurut sasarannya yaitu pertama, kebudayaan yang hidup contohnya sajian kesenian, upacara adat, peragaan busana, dan lain-lain.

Kemudian kedua, warisan budaya masa lalu khususnya yang bersifat tangible seperti keris, benda-benda pusaka lainnya yang mudah dipindah. Sedangkan ketiga, bentang alam budaya (cultural landscape) seperti Gunung Tangkuban Perahu beserta legenda yang melekat pada gunung tersebut, dan lain sebagainya.

Pembicara lainnya, Dr. Daud Aris Tanudirdjo, MA, Dosen FIB Universitas Gajah Mada, dalam makalahnya yang berjudul Menuju Kebangkitan Permuseuman Indonesia; Reposisi Museum Di Indonesia, berkeyakinan bahwa menjelang memasuki era milenium ketiga, tahun 2002 lalu, museum merupakan salah satu tempat berkumpul manusia yang penting dalam milenium baru. Kalimat ini dia ambil berdasarkan buku Megatrends 2000 karangan Naisbitt dan Aburdene (1990).

Menurut dia, untuk dapat melakukan penataan kembali permuseuman di Indonesia, tentu diperlukan adanya rujukan yang tepat. Kata dia, hampir semua orang setuju bahwa museum adalah tempat pendidikan.

"Saya kira di Indonesia pun sudah ada kesadaran seperti itu sejak lama. Namun, kenyataannya, ternyata lebih banyak museum kita yang tidak benar-benar mengemban fungsi ini. Karena itu, barangkali, kinilah saatnya museum-museum di Indonesia lebih memantapkan posisinya sebagai tempat pendidikan, Musem harus mampu menjadi mitra para pendidik, baik siswa, guru, orangtua, maupun masyarakat pada umumnya," kata dia. [F-4]

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 31 Mei 2008

Misteri Kreativitas (Buat Hikmat Gumelar)

-- Beni Setia*

SEDULUR Hikmat Gumelar, esaimu di Khazanah "Perihal Kelas Menulis", (19/4), membuatku bimbang. Itu sebuah model penyampaian gagasan yang amat aneh karena menekankan suasana untuk menjelaskan sesuatu yang sangat sublim subjektif kepada orang yang hidup dengan waktu, yang selalu berpacu supaya punya sedikit waktu untuk sekadar hadir sebagai subjek dalam ruang. Padahal menulis, seperti memancing yang kini jadi pilihan estetik menjadi eksistensi utuh di tengah alam perawan Sukaratu model Syaeful Badar, itu memasuki ruang di mana waktu mati dan berpacu dengan waktu raib.

Tempat orang berkonsentrasi, dan menemukan apa yang ingin diungkapkannya itu tak sekadar karena rangsangan ekstrenal. Saat di mana kesadaran di hati dan ingatan tak dipengaruhi apa-apa dan siapa-siapa, hanya bertemu dengan kemurnian dan terpancing buat mengungkapkan kemurnian dalam metode fenomenologis. Akan tetapi, apa ada orang yang percaya kepada keheningan tanpa gerak, kepada momen sunyi saat ego bertemu dengan diri yang tak pernah diberi kesempatan untuk tampil menyatakan dirinya. Setelah dalam 24 jam dipaksa keadaan untuk reaksional pada rangsangan sekitar, hingga si bersangkutan sendiri heran dengan posisi diri yang terpecah episodistik --karena terlalu bertindak pragmatis tanpa memakai prinsip tunggal yang mendasari semua tindakan.

Namun, bisakah orang itu mengerti kalau menulis itu disiplin sunyi yang memaksa tirai diturunkan dan komputer dinyalakan, di mana dunia cyber membawa si bersangkutan terbang ke mana-mana tanpa digopohkan oleh waktu? Sama seperti lembaran-lembaran buku yang ditelusuri, di mana kalimat demi kalimatnya menjadi labirin yang menjebak ingatan dalam petualangan mental --meski tubuh tak bergerak ke mana-mana. Orang tahanan yang suka rela dipenjara oleh obsesi dan merasa terbebaskan setelah berhasil menuliskan apa yang ingin dituliskannya, yang rentangan keterkutukan siksaannya mungkin ada antara sehari, 2 minggu, atau malah 20 tahun. Seperti seorang Iman Supriono, kelahiran 1971 di tepi hutan jati di Caruban (Madiun, Jawa Timur), yang sejak 1987 belajar menulis, ingin jadi penulis, dan berhasil jadi penulis dalam rentang 20 tahun.

Sekitar 2003 ia mampir dan menghadiahkan buku tipis berjudul "Persiapan Finansial Menjelang Pernikahan". Sebuah buku yang fokusnya goyah dan teknik ungkapnya gemetar, hingga kita cuma menemukan ketanggungan meski kita bisa menangkap rambu arah (tentang) apa yang ingin ditulisnya. Awal April 2008 lulusan ITS dan Unair ini mampir sebagai pemilik SNF Consulting yang bergerak di bidang Strategic Finance, Trainer FSQ (Financial Spiritual Quotient), seminaris, penceramah, dan penulis. Tentu saja dengan sebuah buku setebal xx + 423 halaman, dengan cetakan pertama Agustus 2006 dan cetakan keempat Maret 2007 -- FSQ: Memahami, Mengukur, dan Melejitkan Financial Spiritual Quotient untuk Keunggulan Diri, Perusahaan, & Masyarakat (Lutfansah Mediatama & SNF Consulting). Buku panduan yang menghasilkan 50 angkatan training FSQ.

Akan tetapi, bukan fakta itu yang menarik perhatianku. Justru pengakuannya, yang menyatakan: Ia perlu waktu 20 tahun sebelum sadar akan apa yang ingin ditulis, fokus pada tema, dan berhasil menulis buku yang diapresiasi secara positif.

"Perlu 20 tahunan sebelum yakin dengan apa yang ditulis dan tulisan dipertimbangkan yang lain secara positif," katanya, "Dan itu apa bukan indikasi saya ini goblok dan dibimbing oleh guru bodoh?" Saya termangu. Ia bukan murid menulisku dan saya juga tak membuka kelas menulis atau sekadar bimbingan konsultasi menulis --meski e-mail-ku selalu dimasuki permintaan konsultasi. Ia bekas murid SMP istriku, yang mengajar bahasa dan sastra Indonesia. Ia bukan siapa, tetapi klaim itu memaksa merenung --pintu ke arah ruang diri bertemu dengan diri murni tulis-menulis dibuka, saya dipaksa masuk dan melapor.

Pelatihan selalu bertumpu pada silabus dan standar kompetensi pencapaian minimal, yang akan mengandaikan si peserta latihan bisa mencapai nilai standar kompetensi minimal dan berhak menyandang sertifikat kelulusan karena ia punya nilai di atas angka standar kompetensi minimal. Dengan kata lain, itu hanyalah urusan antara peserta latihan dan pelatih, antara peserta latihan dan silabus yang mensyaratkan pencapaian angka standar kompetensi minimal, serta antara murid dan guru serta institusi yang cenderung memotivasi sebanyak mungkin peserta latihan agar tersedia sekian puluh lulusan yang siap menulis. Tapi celakanya, kualitas tulisan tak ditentukan oleh pelatih dan guru, oleh institusi pelatihan dan silabus yang menerapkan standar kompetensi minimal. Tak oleh pihak kedua yang intim, tetapi oleh pihak ketiga yang anonim dan keras kepala jaga jarak, oleh pasar yang diwakili oleh subjek redaktur media massa atau penerbit buku, yang mempunyai referensi, preferensi atau selera subjektif dominan yang tak terbantahkan. Mereka yang menentukan nasib sebuah tulisan tanpa perlu tahu apa latar belakang tulisan dan penulisnya --dan pelatihan hanya jembatan magang.

Menulis itu perjalanan panjang Bima di segala alas dan lautan, sebelum ia masuk fenomenologis ke dalam dirinya dan berdialog dengan diri yang tak pernah diberi kesempatan tampil menyatakan diri. Sebuah loncatan yang menyebabkan Musashi jadi seekor harimau di tengah alam dan bukan cuma sensei pelatih dojo shogun. Sebuah keheningan ketika seorang PNS dan suami melepaskan penat sehari-hari dengan pergi ke lubuk angker di kelok sungai sunyi, lalu melempar pancing dan menjadi bagian dari roh alam yang bernapas dalam keselarasan.

Itu inti menulis. Tapi ketika jadi teks, tulisan itu jadi urusan manajemen pemasaran dengan segala trik pencarian, pemahaman, dan penguasaan selera pasar. Itu sisi paling liar, paling duniawi dan gebalau dari seni tulis-menulis, yang selalu terlambat disadari karena tak bisa membuat jarak antara keduanya.

Akan tetapi, memasuki relung jiwa dalam hening untuk bisa menulis itu tak semudah yang dibayangkan karena awal Maret kemarin e-mail-ku diisi surat dari teman yang minta dicarikan penerbit untuk tulisannya. Ia seorang pengarang senior, yang ketika dibaca, teksnya hanya menghamburkan loncatan teknis yang goyah tanpa bisa menjotoskan kedalaman karena relung sunyi sebelum menulis itu tak ditemukan lagi tempatnya. Sebuah ketidakmatangan dari seseorang yang pernah mencapai kematangan, sebuah kelelahan bagi seseorang yang berhasil jaga stamina menulis dalam rentangan puluhan tahun. Apa itu tanda ketuaan? Sebuah kutuk bagi sastrawan yang tidak mati muda model Chairil Anwar seperti yang dengan indah diungkapkan Subagio Sastrowardojo dalam Dan Kematian Makin Akrab?

Apa keteledoran yang menyebabkannya raib? Perpisahan sepihak tanpa tenggang rasa yang menyebabkan Yasunari Kawabata, dengan lirih, mengakhiri hidup?

Hikmat Gumelar, saya SMS Juniarso Ridwan, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Diro Aritonang, dan entah siapa: Mengajak membuat sebuah buku yang mengungkapkan terima kasih pada sensei Saini KM (dan "PR") -- yang memberi rambu sehingga kesadaran murni berada dalam relung fenomenologis jiwa, di mana diri bertemu dengan diri yang tak pernah tampil. Memang.***

* Beni Setia, Pengarang

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 31 Mei 2008

"Zero" Teater Mandiri

-- Rachman Sabur*

UNTUK kesekian kalinya Putu Wijaya diundang ke mancanegara untuk menampilkan hasil proses kreatif teaternya. Teater Mandiri, teater modern Indonesia.

Selama ini Putu Wijaya tetap konsisten membawakan teks teaternya sendiri yang idenya bermuara dari latar belakang dan masalah sosial yang terjadi di masyarakat Indonesia. Dari sejak ia membuat teks teater konvensional dan sampai sekarang berkembang pada teks teater yang nonkonvensional, dan acap kali dimunculkan ragam idiom-idiom teater tradisi menjadi sesuatu kekuatan lain yang memberikan ruh pada Teater Mandiri Putu Wijaya.

Teater Putu adalah teater perubahan. Selalu gelisah memasuki kehidupan yang resah. Keresahan yang terciptakan dalam pertunjukan teaternya bukan tanpa sebab. Begitu banyak alasan kenapa Putu Wijaya masih tetap militan dan produktif bersama Teater Mandirinya, salah satunya adalah karena kesetiaannya sebagai seorang seniman panggung tak dapat terbantahkan siapa pun.

Kepeduliannya terhadap kemacetan dan kebuntuan masalah-masalah sosial-budaya yang membuat bahasa teaternya menjadi kontekstual-universal dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat mana pun. Ide-ide gagasan teaternya tercipta dari hal-hal sederhana namun hakiki. Keyakinan teaternya adalah proses dan proses serta latihan-latihan yang spartan menjadikan pertunjukannya mempunyai daya sihir dan satiris.

Konsep artistiknya berangkat dari konsep "Badingkut", murah secara material, mahal secara ide. Apa pun bisa jadi. Barang-barang bekas yang dianggap sampah bisa jadi emas bagi artistiknya. Itu karena sentuhan dan imajinasi visualnya begitu kaya dan sublim. Simbol-simbol dan lambang-lambang idiom tradisi mewarnai di setiap pertunjukannya. Almarhum pemusik Harry Roesli adalah inspirator musik untuk pertunjukan-pertunjukan teater Putu Wijaya. Keduanya saling bersenyawa, berkolaborasi melakukan penjelajahan proses kreatif, mengeksplorasi berbagai kemungkinan untuk saling memberikan kekuatan teatrikalitasnya. Putu Wijaya dan Harry Roesli adalah dua sisi mata uang. Mempunyai kecenderungan ekspresi yang nyaris sama. Kadang mereka menjadi liar, beringas, menggebu-gebu, herois, kadang juga antihero. Mereka selalu saling memberikan umpan untuk mengembangkan ide-ide kreatifnya dalam pertunjukan.

Dalam pertunjukan "Zero" kali ini, penataan musiknya dilanjutkan oleh pemusik Moro dari DKSB yang telah lama malang melintang bergabung bersama Harry Roesli. Sebagai seorang sutradara sekaligus aktor teater, Putu Wijaya sangat fasih menciptakan peristiwa teater yang seharusnya. Ide-ide gagasan teaternya memberikan inspirasi dan imajinasi yang cerdas bagi penontonnya. Selama 37 tahun bersama Teater Mandiri, Putu terus berupaya mencari dan menemukan bentuk teaternya yang meng-Indonesia. Menghidupi teater selama 37 tahun bukan waktu yang pendek bagi seorang Putu Wijaya. Selama itu pula ia terus menyosialisasikan dan mengaktualisasikan teaternya lewat pertunjukan Teater Mandiri ke berbagai pelosok daerah Indonesia, serta ke berbagai negara yang mengundangnya untuk menampilkan karyanya. Ini prestasi yang luar biasa bagi Putu Wijaya. Inilah proses perjalanan panjang Teater Mandiri yang terus melakukan pengembaraan teaternya.

Membayangkan dan menikmati pertunjukan teater Putu Wijaya bisa jadi tidak akan pernah selesai, meskipun pertunjukan itu telah selesai di panggung, imajinasi dan nurani kita sebagai penonton akan digedor-gedor sesudahnya. Itulah yang akan terjadi, penyadaran mental yang tersakiti akan terbawa dalam bayang-bayang kehidupan yang jungkir-balik, absurd, sia-sia.

Putu Wijaya seorang optimistis. Ia telah membuktikannya selama 37 tahun tanpa merasa lelah, tetap survive. Vitalitas dan energinya semakin membeludak, melebihi takarannya sebagai seorang aktor, sutradara, dan penulis naskah teater Indonesia yang tangguh. Bahasa tubuh, bahasa kata-kata, ide-ide gagasan artistiknya terus tumbuh, terus mengalir tak pernah kering. Bahkan, jadi "Oase Ide" bagi siapa pun yang terus mengembara dari panggung ke panggung, dari lakon ke lakon. Seperti halnya wayang-wayang bergerak, bukan semata kehendak dalang, tapi bayang-bayang dari wayang-wayang itu selalu datang menghadang untuk melanjutkan lakon selanjutnya tanpa Gunungan, tanpa Tutup Lawang Sigatoka.

Lakon "Zero" dimulai ketika perang yang dikutuk hanya membawa kesengsaraan bagi yang kalah maupun yang menang. Perang masih terus saja berlangsung dimana-mana dengan berbagai alasan. Manusia membenci perang dan memimpikan perdamaian. Namun, jalan yang ditempuh untuk mencapai perdamaian satu sama lain berbeda, bahkan bertentangan. Dengan dalih menciptakan perdamaian, manusia pun akhirnya berkelahi untuk memenangkan upaya perdamaian yang dianggapnya paling benar dan adil. "Zero" adalah sebuah esai visual yang mencoba mengajak setiap orang untuk kembali ke wilayah nol tanpa keinginan tertentu kecuali menghormati dan mencintai sesama dengan berpegangan dari hati ke hati untuk mengakhiri peperangan.

Pertunjukan "Zero" akan memberikan bahan renungan terhadap makna peperangan yang sesungguhnya. Sejak peradaban pertama, manusia tidak lepas dari adanya peperangan dan perebutan kekuasaan manusia dengan manusia lainnya. Peperangan di antara mereka, peperangan antarbangsa, antarsuku, antaretnik, antaragama, dan sesama agama. Betapa panjang perjalanan sejarah peperangan di muka bumi ini. Korban akan terus bertambah setiap waktu, setiap saat. Peperangan pun tidak akan pernah selesai selama manusia tidak bisa memerangi dirinya sendiri.

Pada 10 Juni 2008, Teater Mandiri akan berangkat ke Praha, Republik Cheska membawa pementasan "Zero" dalam rangka "50 Let Kultumi Dahoda Mezi Indonesia-Cekoslovenskem" (50 tahun kerja sama kebudayaan RI-Ceko). Pementasan yang diikuti oleh workshop untuk mengenalkan teater Indonesia di mancanegara akan diteruskan ke Bratislava. "Zero" yang diciptakan pada tahun 2003, telah dipentaskan juga di Tokyo, Taipei, Hongkong, Kairo, Singapura, dan beberapa kota di Indonesia. Sebelumnya akan dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta pada 7 Juni 2008, menyambut Hari Kesaktian Pancasila. "Zero" juga akan dipentaskan di STSI Bandung pada 1 Juni 2008 pukul 20.00 WIB.

Para pemain yang terlibat dalam pementasan "Zero" antara lainYanto Kribo, Alung Seroja, Ucok Hutagaol, Wendy Nasution, Fien Herman, Bei, Kardi, Agung Wibisana, Umbu LP, Tanggela, Putu Wijaya.

* Rachman Sabur, Sutradara Teater Payung Hitam

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 31 Mei 2008

Pustaka: K.F. Holle dan Buku Sunda

-- Atep Kurnia*

PENERBITAN buku cetak berbahasa Sunda tidak lepas dari peran orang Belanda. Salah seorang di antaranya adalah K.F. Holle (1829-1896). Ia bahkan dianggap sebagai orang Belanda pertama yang mengusahakan penerbitan buku-buku Sunda. Demikian yang saya baca dari Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, Kesastraan Sunda abad ke-19 (Mikihiro Moriyama, 2005). Tetapi orang Sunda lebih terbiasa menyebutnya sebagai Tuan Hola saja. Tuan Belanda ini lahir di Amsterdam pada 1829. Pada 1845 ia dibawa orang tuanya ke Hindia Belanda.

Holle termasuk seorang autodidak dan berpikir pragmatis. Dalam hal ini, ia menjadikan perkebunannya semacam perkebunan eksperimental. Ia meneliti berbagai segi pertanian seperti pemanfaatan lahan kering untuk menanam sayur-sayuran, serta cara pengembangbiakan ikan di kolam-kolam kecil.

Selain itu, ia menerapkan idealismenya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat miskin di sekitar perkebunannya. Untuk itu, dia mengajari cara untuk meningkatkan metode penanaman padi.

Tetapi setelah berkeliling untuk mengampanyekan maksudnya, ternyata sangat sulit dan memakan waktu. Dengan demikian, dia sadar bahwa cara yang paling efisien untuk menggapai maksudnya adalah dengan mengajari masyarakat agar bisa membaca.

Ternyata, ia bisa menyebarkan idenya melalui pamflet-pamflet dalam bahasa Sunda. Sebelumnya, sejak diangkat jadi juru tulis pemerintah pada 1846, ia tertarik untuk belajar bahasa Sunda serta meneliti unak-anik budaya Sunda. Dan dia sadar betul betapa pentingnya dapat berbicara dalam bahasa Sunda layaknya seorang Sunda.

Projek buku Sunda

Oleh karena itulah, ia berusaha membangkitkan kembali bahasa Sunda sebagai bahasa yang menjadi ciri kebudayaan Sunda. Ia pun mendorong penggunaan kembali bahasa Sunda sebagai bahasa tulis. Hasilnya dapat dilihat dari keterlibatannya dalam penerbitan buku-buku Sunda pada paruh kedua abad ke-19.

Mula-mula ia menerbitkan buku Tjarita Koera-Koera djeung Monjet (1851). Buku yang ditulis bersama saudaranya, Adriaan Holle ini membawa pengaruh pada pendidikan masyarakat Sunda.

Pada 1861 Pemerintah menugaskan K.F. Holle untuk menyusun buku-buku bacaan serta pelajaran bahasa Sunda. Untuk menggarap projek itu, pemerintah mengeluarkan biaya sebesar f. 1.200.

Untuk melaksanakan tugas ini, Holle dibantu oleh R.H. Moehamad Moesa beserta para penulis dari lingkungan Holle. Terutama yang tinggal di sekitar distrik Limbangan. Di antaranya Moesa sendiri berasal dari Limbangan, Adi Widjaja patih limbangan, dan Brata Widjaja mantan patih Galuh, Kabupaten Sukapura.

Hasil projek ini, seluruhnya berjumlah 13 judul buku. Tetapi sebagian besar buku-buku bacaan itu disusun oleh Moesa. Di antara buku-buku hasil pekerjaan itu, sebagaimana yang dapat dilihat dari buku-buku teks yang digunakan di sekolah desa di Bandung pada 1863, di antaranya: Katrangan tina Perkawis Mijara Laoek Tjai (Moehamad Oemar), Wawatjan Djaka Miskin (Wira Tanoe Baija), Wawatjan Woelang Poetra (Adi Widjaja), Wawatjan Woelang Krama (Moehamad Moesa), dan Wawatjan Radja Darma (Danoe Koesoema).

Usaha Holle tak terhenti. Buktinya, selama dasawarsa 1860-an Holle telah mengawasi tak kurang dari 23 judul buku berbahasa Sunda untuk sekolah yang diterbitkan oleh pemerintah.

Sampai 1880-an Holle masih berperan dalam produksi buku-buku bahasa Sunda yang ditulis oleh penulis Sunda. Pekerjaannya baru berakhir pada 1895. Pada tahun itulah ia terakhir mengedit buku Sunda, yaitu Mitra noe Tani (selanjutnya disingkat MnT).

"Mitra noe Tani"

Melalui buku seri inilah Holle memperbaiki sistem pertanian orang Sunda. MnT adalah buku yang terdiri dari tulisan-tulisan seputar pertanian yang ditulis dalam bahasa Sunda. Untuk keterangannya, saya timba dari Lampiran 1: Senarai Buku-buku Berbahasa Sunda Sebelum 1908 (Moriyama, 2005: 283).

Dari situ diperoleh keterangan: seri ini terbit antara tahun 1874-1899. Penerbitannya tak beraturan. Ada yang setahun dua kali, tetapi ada juga yang berjarak dua tahun sekali. Juga ada yang setahun sekali.

Seluruh seri Mnt diterbitkan oleh Landsdrukkerij, penerbit milik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Penerbit ini bertempat di Weltevreden, atau Menteng sekarang. Khusus buku-buku Sunda, penerbit ini telah mencetaknya sejak 1853. Dan biasa pula disebut "Kantor Tjitak Kandjeng Goepernemen".

Dari jilid pertama hingga seri ketujuh, MnT dicetak dengan memakai huruf cacarakan Jawa. Sementara huruf Latin mulai dipakai dari seri delapan sampai seri terakhir, jilid 14.

Adapun para penulisnya datang dari beberapa kalangan. Ada pejabat bangsa Belanda, yang tentu saja telah disundakan oleh penulis lokal. Begitu pun dengan para penulis pribumi, baik dari kalangan menak Jawa maupun Sunda. Untuk penyuntingannya, sejak seri pertama hingga jilid 12, MnT diedit oleh K.F. Holle. Karena Holle meninggal pada 1896. Selanjutnya (dua seri terakhir) MnT diedit oleh H. de Bie, guru pada Gymnasium Willem III.

Tetapi semuanya mesti berakhir pada 1896. Karena pada tahun itulah Holle meninggal. Tepatnya pada 3 Mei 1896. Ia pun kemudian dikuburkan di Tanah Abang, berdampingan dengan ibunya.

* Atep Kurnia, Penulis lepas, tinggal di Bandung.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 31 Mei 2008

Esai: Keruntuhan Peradaban Air

-- Jakob Sumardjo*

PERADABAN manusia dimulai dengan peradaban air. Sejarah umat manusia dimulai dengan peradaban peramu dan pemburu yang usianya ratusan ribu tahun. Kecenderungan peradaban ini adalah konsumsi. Manusia hidup dari memangsa apa yang disediakan alam raya. Akan tetapi, alam begitu perkasa dan kaya sehingga manusia yang jumlahnya belum begitu banyak dapat menyusu alam raya dengan merdeka.

Planet bumi masih hijau dan alam raya masih perkasa. Bumi belum ditaklukkan manusia. Namun, hidup manusia masih sibuk dengan mengumpulkan bahan makanan dari alam. Akibatnya, jalan peradaban berlangsung lamban. Sebagian besar hidup manusia di bumi ini dihabiskan dengan meramu dan berburu. Alam pikiran tidak berkembang. Sebaliknya, alam perasaan dan intuisi merambah ke spiritualitas, yang melahirkan mitos-mitos dalam religi purba.

Peradaban air baru muncul 7.000 atau 8.000 tahun yang lalu. Manusia mulai hidup menetap, tidak lagi nomad seperti peradaban sebelumnya. Peradaban air dimulai saat itu, yakni hidup produktif bersama keperkasaan alam. Mereka menetap di tepi-tepi sungai besar dan mengembangkan peradaban hidraulik atau sawah basah. Sejak saat itulah kebudayaan manusia mulai dikenal.

Kebudayaan manusia mulai berkembang pesat sejak peradaban air. Dalam waktu singkat, yakni sekitar 8 ribu tahun, pikiran manusia berkembang begitu pesat sehingga pendulum hubungan manusia dan alam terbalik. Dulu alam menguasai manusia dan kini manusia menguasai alam dengan pikirannya. Bumi terancam. Inilah yang kita risaukan sekarang.

Surga manusia itu berlangsung pada masa peradaban air. Pada masa itu terjalin hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara alam dan manusia. Manusia menjaga kelestarian alam dan alam memberikan kesuburan tanaman pada manusia. Bulan madu bumi dan manusia ini berlangsung cukup lama sampai munculnya revolusi industri pada abad ke-18. Revolusi industri yang diagung-agungkan manusia sebagai pencapaian puncak peradabannya, ternyata mengancam keberadaan planet bumi ini.

Dalam waktu 300 tahun peradaban industri, kekayaan bumi diisap habis-habisan sampai tetes-tetes terakhir air susunya. Bumi mulai sakit, dan sekarang terancam sekarat. Ibunda bumi mulai menderita kekeringan dan kehilangan kesuburannya. Semua itu terjadi akibat manusia, melalui alam pikirannya yang semakin cerdas, mengejar apa yang dinamai sebagai kebahagiaan duniawi. Manusia mengejar kebutuhan dan kemudahan tubuhnya.

Peradaban air telah diganti dengan peradaban industri. Alat-alat mesin yang memproduksi asap kimia menjadi simbol kebanggaan manusia. Di Indonesia pun manusia ikut berlomba menjadikan tanah air ini negara industri, sejajar dengan negara-negara industri yang telah lama membanggakan diri atas pendapatan per kapitanya. Tidak ada modus lain di dunia ini untuk tetap hidup dalam peradaban air yang sudah kuno dan ketinggalan zaman.

Cerita Superman pada suatu saat akan kita alami. Kita akan membuat teknologi yang dapat mengirimkan anak cucu kita mencari planet primitif di alam semesta ini. Pada suatu saat nanti tidak ada lagi tumbuh-tumbuhan, tidak ada lagi air di bumi, kecuali air kimiawi sehingga manusia harus menciptakan piring-piring terbang mencari tumbuhan dan air. Air yang dahulu gratis, pada saat itu bisa menjadi penyebab "perang bintang".

***

BETAPA mulianya air. Pentingnya air bagi hidup ini dapat digali dari peradaban air dalam sejarah umat manusia. Dalam primbon-primbon Indonesia, air merupakan salah satu unsur keberadaan ini, sejajar dengan tanah, angin, dan api. Kombinasi dari unsur-unsur itu adalah hidup, kelestarian, keselamatan, kesuburan. Manusia selalu merindukan tanah basah. Tanah air.

Dari mana asalnya air? Nenek moyang orang Indonesia mengenal betul asal air, yaitu dari gunung-gunung berhutan perawan yang mengalirkan sungai-sungainya ke laut. Itulah sebabnya hunian-hunian tua di Indonesia selalu berada di tepi sungai. Tempat ideal manusia adalah bertemunya dua sungai. Kraton-kraton besar selalu dibangun di antara dua atau empat atau delapan aliran sungai. Di situlah hidup dan kemakmuran dimungkinkan.

Dalam sejarah Mataram kuno dikenal adanya prasasti yang disebut Tuk Mas (Mata Air Emas) di lereng Merbabu-Merapi. Mata air adalah tambang emas. Mata air adalah kesuburan, kemakmuran, hidup, kekayaan yang tak terhingga nilainya. Di Sunda dikenal Sumur Bandung, atau tujuh mata air yang berjajar. Ada kepercayaan bahwa pengantin harus dimandikan dengan air yang berasal dari tujuh "sumur" tadi agar subur rahimnya seperti sawah-sawah yang menghasilkan bulir-bulir padi besar.

Hunian-hunian di Sunda selalu menyebut kata keramat yang bermakna cai atau air. Di Melayu nama-nama hunian manusia tak sedikit yang memakai nama "air" ini. Begitu pula di daerah-daerah lain di Indonesia. Air bukan hanya untuk hidup, tetapi air adalah kehidupan itu sendiri. Dalam masyarakat agraris, air adalah segalanya. Air memproduksi tanaman (padi) dan padi adalah hidup manusia. Mitos-mitos asal mula padi ada dimana-mana di Indonesia. Padi adalah emanasi dari tubuh Dewi Sri, Po Haci, bidadari langit, dengan demikian transenden nilainya. Air dan padi adalah spiritualitas, bukan sekadar produk pikiran manusia. Pikiran manusia tak mampu menghidupkan padi. Padi itu urusan dunia atas.

Kerajaan-kerajaan besar di Indonesia berdasarkan agraria ini. Siapa menguasai agraria berarti menguasai manusia. Dan agraris itu tergantung pada air, sungai, gunung-gunung, dan hutan. Itulah sebabnya batas Negara ditengarai oleh batas sungai-sungainya. Pembagian negara dipisahkan oleh sungai. Sungai dan air adalah batas kekuasaan raja-raja zaman peradaban air Indonesia .

Di kampung-kampung Sunda (dan daerah-daerah lain di Indonesia) orientasi kampung adalah gunung, sumber asal usul air. Perkampungan didirikan di tepi sungai (Cibatu, Cikalong, Cidurian) dengan kampung paling tua ke arah hulu sungai, kampung paling muda di arah hilir sungai. Kampung tua selalu dekat dengan hutan atau sengaja dihutankan. Di situlah dikuburkan para buyut kampung (kabuyutan). Buyut itu dekat sumber mata air yang berada di gunung. Manusia dan air adalah inti peradaban pertanian.

Dalam lembaga-lembaga sosial besar maupun kecil, kerajaan dan kampung orientasi pada air, sungai, gunung, hutan menjadi keharusan. Pertanian sawah (hidraulik maupun pertanian ladang orientasi hidupnya tetap sama. Mereka melestarikan gunung dan hutan demi air. Air bukan hanya minuman, tetapi juga makanan. Peradaban air pada dasarnya "makan air".

Peradaban air adalah "jalan tengah" antara peradaban peramu pemburu dan peradaban industri. Peradaban peramu, alam menguasai manusia. Peradaban industri manusia menguasai alam. Peradaban air, manusia hidup bersama alam dan dengan alam. Harmoni alam-manusia ini berlangsung cukup lama di Indonesia, sekitar 5 ribu tahun, yakni sejak manusia Indonesia menghuni kepulauan ini. Multatuli menamakannya sebagai zamrud khatulistiwa.

Kodrat Indonesia adalah negara tropis yang kaya raya dengan fauna dan flora. Hanya ada dua musim. Kaya dengan gunung-gunung dan hutannya. Dengan demikian, kaya dengan aliran-aliran sungai. Kearifan nenek moyang Indonesia untuk hidup dalam peradaban air adalah puncak pencapaiannya. Alam pikiran Indonesia dibentuk oleh peradaban air ini. Itulah kearifan lama Indonesia.

Sejak kolonisasi Belanda tahun 1800, sedikit demi sedikit peradaban air diarahkan pada peradaban industri modern. Industri pertanian dan industri tambang mulai menggeser peradaban air kita. Industri dan perdagangan mulai membunuh peradaban air.

***

RAFFLES melaporkan pada tahun 1813 bahwa pulau Jawa 7,8 wilayahnya masih merupakan hutan. Sekarang ini barangkali hutan tinggal 1/8 saja di pulau Jawa. Dalam jangka waktu 200 tahun peradaban air telah berganti menjadi peradaban industri. Hutan-hutan pabrik ada dimana-mana di pulau Jawa ini yang dahulu tata tentre kerta raharja ini. Kini, telah menjadi kacau balau melarat miskin dan memproduksi TKI yang luar biasa banyaknya.

Orientasi industri adalah kekayaan modal, budaya uang. Uang adalah air dalam peradaban agraris. Modal uang inilah yang telah membuat gungung-gunung kita mandul dan sungai-sungai mengering. Hutan-hutan ditebangi demi uang, modal dasar industri. Itulah sebabnya kita menyibukkan diri pinjam modal luar negeri dalam mengejar ketertinggalan kita sebagai negara industri. Merajalelanya korupsi menyebabkan kegagalan membangun negara industri. Sementara peradaban pertanian telah ditinggalkan. Dari mana kita membayar pinjaman? Dari mana kita mampu bertahan hidup? Sementara para petani telah lama kita bunuh.

Ini semua disebabkan alam pikiran kita masih berperadaban tani, sedang tujuan kita peradaban industri. Industri itu muncul dalam sejarah Eropa yang telah lama meninggalkan peradaban pertaniannya dalam abad pertengahan. Indonesia yang tani tiba-tiba harus menjadi industri, dan kita tidak siap dengan strategi perubahan ini. Model industri kita adalah Eropa-Amerika-Jepang. Sementara mentalitas kita masih air. Mengapa tidak kembali pada peradaban air?

Peradaban air akan membuat Indonesia kembali sebagai zamrud khatulistiwa. Gunung-gunung akan hijau kembali, hutan-hutan tumbuh lagi, sungai-sungai akan mengalir kembali. Produk kita bukan industri tetapi bahan mentah industri. Para petani kita hidupkan kembali dari kematian yang lama. Petani-petani modern yang multikultur, bukan monokultur padi saja.

Peradaban air adalah kodrat manusia khatulistiwa. Dengan sikap ini sekaligus kita menyumbang pada peradaban dunia yang telah diracuni oleh limbah industri. Menteri Pertanian dan Kehutanan adalah presiden kita yang sesungguhnya. Bukan presiden tani yang dikendalikan menteri-menteri industri pada Era Soeharto.

Para petani Indonesia akan berdasi dan mengontrol pertaniannya naik mobil dan helikopter. Istana-istana mewah bukan hanya dibangun di pusat-pusat kota kaum elite penguasa dan pengusaha, tetapi akan tersebar di daerah perdesaan. Orang-orang kota akan melamar kerja pada petani-petani elite desa. Arus urbanisasi dengan sendirinya berhenti. Pedagang-pedagang kaki lima mengalir ke desa-desa menjadi buruh tani yang berstatus pegawai pertanian. Semua pelabuhan Indonesia dipenuhi produk pertanian yang siap diekspor ke negara-negara industri.

***

BARANGKALI itu semua cuma impian di siang bolong. Sebab, dalam waktu yang tak begitu lama, hutan-hutan Indonesia akan gundul dan menjadi padang gersang. Sungai-sungai di pulau Jawa akan menjadi lahan perumahan. Perumahan murah akan dibangun 300 meter dari puncak-puncak gunung. Hutan bakau disulap menjadi perumahan mewah tepi pantai. Anak-anak dan cucu kita hanya mengenal makna air dalam kemasan botol. Mereka tidak kenal lagi makna hutan dan sungai yang dibacanya dalam dongeng kanak-kanak.

Peradaban air kita sedang sekarat, runtuh. ***

* Jakob Sumardjo, Budayawan

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 31 Mei 2008

Friday, May 30, 2008

Taufiq Ismail: Buku Kumpulan Karya

TAHUN 2008 ini genap 55 tahun sastrawan Taufiq Ismail berkarya. Rupanya tak hanya Taufiq yang berbahagia telah menempuh puluhan tahun sebagai penyair dan prosais. Di Sumatera Barat, puluhan kawan sastrawan menggelar perayaan sederhana bagi sang pujangga.

”Kawan-kawan saya bertanya, apa yang bisa mereka lakukan untuk memperingati 55 tahun ini? Saya bilang, jangan saya atau tahun itu yang dirayakan, tetapi bukukanlah semua karya saya sejak awal hingga terakhir,” tutur pria kelahiran Bukittinggi, 25 Juni 1935, ini.

Alhasil, jadilah empat buku berisi kumpulan karya Taufiq Ismail. Buku bertajuk Mengakar ke Tanah, Menggapai ke Langit yang diterbitkan Redaksi Horizon itu merupakan catatan sejarah puisi, prosa, serta prosa yang dijadikan syair lagu.

Di TVRI Sumatera Barat, 28 Mei 2008, kawan-kawan sastrawan juga menandai peluncuran buku itu dengan menggelar seminar dan membaca puisi.

Mengapa Taufiq memilih judul bukunya seperti itu?

”Saya mengibaratkan sastra saya sebagai sebuah pohon. Semoga dia menghunjam ke bawah dan menjulang ke langit. Lalu pohon itu tumbuh subur, bisa untuk tempat berteduh para musafir, juga memberikan buah bagi anak-anak,” kata Taufiq menutup pembicaraan. (ART)

Sumber: Kompas, Jumat, 30 Mei 2008

Thursday, May 29, 2008

BLT dan Kebudayaan Kemiskinan

-- Amich Alhumami*

TANGGAL 23 Mei, pemerintah mengumumkan secara resmi kenaikan harga BBM rata-rata 28,7 persen sebagai jalan keluar mengatasi dampak lonjakan harga minyak, yang berakibat subsidi membengkak dan defisit anggaran meningkat sehingga sangat membebani APBN. Di tengah kritik keras dan demonstrasi anti kenaikan harga BBM yang meluas hampir di semua kota besar, pemerintah bergeming dan kukuh mengambil keputusan ini.

Pemerintah memberi kompensasi berupa program bantuan langsung tunai (BLT) bagi rakyat miskin sebagai "obat penurun panas" (paracetamol) sesaat, agar mereka mampu beradaptasi dengan harga-harga barang yang melambung mengikuti kenaikan harga BBM. Banyak pihak menilai program BLT tak efektif untuk mengatasi problem kemiskinan, dan kenaikan harga BBM diyakini akan semakin meningkatkan jumlah penganggur dan angka kemiskinan.

Mengapa problem klasik selalu berulang, yakni setiap kali harga minyak mentah naik tak terkendali, maka menaikkan harga BBM dalam negeri menjadi solusi tunggal dan BLT menjadi instrumen untuk menekan laju peningkatan jumlah penduduk miskin? Mengapa kita tidak menyiapkan konsep utuh dan perencanaan program yang sistematis mengatasi problem kemiskinan?

Kemiskinan merupakan masalah sosial yang sangat kompleks, karena itu perlu tinjauan menyeluruh dari berbagai sudut pandang. Sebagian sarjana menjelaskan masalah kemiskinan melalui analisis politik dan pendekatan struktural. Sarjana yang lain meninjaunya dari perspektif kebudayaan, yang melahirkan pendekatan kultural. Penganut strukturalis bermazhab Marxian menggunakan analisis konflik kelas, yang terfokus pada: (i) politik pembangunan yang elitis, (ii) kebijakan sosial yang tidak adil, (iii) dominasi sumber daya finan- sial oleh kelompok tertentu, (iv) penguasaan aset ekonomi dan alat-alat produksi oleh golongan kecil masyarakat, dan (v) keterbatasan akses pada kegiatan ekonomi produktif. Sedangkan penganut paham kultural melihat isu krusial ini dengan melakukan analisis mengenai orientasi nilai budaya di kalangan orang miskin.

Analisis kultural bersifat inward looking dengan mengamati sikap, perilaku, dan cara pandang orang miskin dalam menjalani kehidupan. Kaum kulturalis berpandangan, orientasi nilai budaya orang miskin itu tidak mendukung upaya untuk melepas mata rantai kemiskinan. Suatu keluarga miskin cenderung mewariskan nilai budaya miskin dari generasi ke generasi, sehingga lingkaran kemiskinan tak bisa diputus. Interaksi sosial di lingkungan keluarga miskin menjadi wahana sosialisasi nilai bagi anak-anak secara berkesinambungan, yang menyebabkan the chain of poverty makin kuat sehingga tak dapat diurai.

Sikap Mental

Dalam perspektif kebudayaan, masalah kemiskinan bukan sekadar menyangkut kelangkaan sumber daya ekonomi, ketidakadilan distribusi aset produktif, atau dominasi sumber-sumber finansial oleh golongan tertentu. Dalam kajian antropologi pembangunan, ada sebuah ungkapan terkenal: "poverty is a state of willingness rather than scarcity." Di luar kendala struktural, masalah kemiskinan menyangkut sikap mental, pola perilaku, dan predisposisi yang berpangkal pada state of mind yang tak bersenyawa dengan spirit perubahan, kemajuan, dan peningkatan status serta kualitas kehidupan.

Buku klasik karangan Oscar Lewis, Five Families: Mexican Case Studies in the Culture of Poverty (1959), secara cemerlang menguraikan betapa orientasi nilai, pola hidup, dan cara berpikir orang miskin mencerminkan suatu kebudayaan kemiskinan. Tesis utamanya: orang miskin memiliki karakteristik dan nilai-nilai budaya yang berbeda dengan orang kebanyakan, yang kemudian membentuk sub-kultur tersendiri. Lewis menulis, "the culture of poverty indicates that poor people share deviant cultural characteristics; they have lifestyles that differ from the rest of society and these characteristics perpetuate their life of poverty." Jadi, kemiskinan bukan semata bersumber pada kebijakan negara yang didominasi golongan elite, yang melahirkan ketimpangan ekonomi. Atau regulasi pemerintah yang tak adil, sehingga membuahkan marginalisasi sosial.

Karakteristik kebudayaan kemiskinan antara lain (i) rendahnya semangat dan dorongan untuk meraih kemajuan, (ii) lemahnya daya juang (fighting spirit) untuk mengubah kehidupan, (iii) rendahnya motivasi bekerja keras, (iv) tingginya tingkat kepasrahan pada nasib-nrimo ing pandum, (v) respons yang pasif dalam menghadapi kesulitan ekonomi, (vi) lemahnya aspirasi untuk membangun kehidupan yang lebih baik, (vii) cenderung mencari kepuasan sesaat (immediate gratification) dan berorientasi masa sekarang (present-time orientation), dan (viii) tidak berminat pada pendidikan formal yang berdimensi masa depan.

Karakteristik kebudayaan kemiskinan ini bertolak belakang dengan ciri-ciri manusia modern menurut gambaran Alex Inkeles dan David Smith dalam Becoming Modern (1974), yang mengutamakan kerja keras, dorongan untuk maju, pencapaian prestasi, dan berorientasi masa depan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa faktor internal yakni mentalitas orang miskin turut memberi sumbangan pada problem kemiskinan, dan bukan semata faktor eksternal atau masalah struktural.

Maka, dalam konteks demikian penting menelaah secara kritis kebijakan kompensasi kenaikan harga BBM dalam bentuk program BLT. Andai saja para pencetus ide BLT bertanya kepada ahli-ahli antropologi, pasti mereka akan menolak mekanisme pemberian subsidi kepada orang miskin melalui cara seperti itu. Secara konseptual, BLT jelas tidak feasible untuk dilaksanakan karena mengandung banyak kelemahan fundamental. Paling kurang ada empat argumen mengapa kebijakan BLT memicu kritik keras. Pertama, hanya sekadar memenuhi kebutuhan hidup sesaat (transient living cost), karena dana tidak dipakai untuk kegiatan produktif sebagai revolving funds sehingga tak berkelanjutan. Kedua, hanya memperkuat present-mindedness dan obsessive-consumption yang justru menjadi penghalang utama dalam pengembangan kegiatan ekonomi. Ketiga, dapat menciptakan welfare dependency sehingga kurang mendidik bekerja keras atau menumbuhkan etos kerja agar bisa keluar dari belenggu kemiskinan. Keempat, tidak efektif sebagai instrumen penanggulangan kemiskinan, malah sebaliknya bisa melestarikan kebudayaan kemiskinan.

Karena Presiden Yudhoyono penganut fanatik politik pencitraan, mungkin BLT semula dimaksudkan untuk menampilkan citra benevolent state, atau tepatnya presiden yang pemurah hati. Namun, dalam jangka panjang kebijakan ini dapat melahirkan socio-cultural deprivation, yang justru melanggengkan kemiskinan. BLT juga melahirkan ekses negatif di luar kontrol pemerintah. Berdasarkan pengalaman tahun 2005/2006, penyaluran dana BLT menimbulkan sengketa di kalangan masyarakat, bukan saja menyangkut akurasi data rumah tangga miskin (RTM) yang berhak menerima dana, tetapi juga mekanisme penyalurannya yang bahkan sampai menimbulan korban jiwa. Sungguh menyedihkan, demi mendapatkan uang senilai Rp 300 ribu saja, sejumlah orang miskin justru kehilangan nyawa.

Sangat ironis, perebutan dana BLT telah memunculkan histeria massa, ketegangan sosial, konflik antara warga masyarakat dengan aparatur desa/kelurahan, cercaan dan kecaman kepada petugas pencacah BPS, amuk massa destruktif, dan reaksi eksesif berupa perusakan dan ancaman. Trauma atas kekisruhan penyaluran BLT dua tahun lalu, tak heran bila banyak pemerintah daerah bahkan kepala desa dan ketua RT/RW cenderung menolak BLT.

Kecuali alasan politis untuk meredam gejolak sosial dan siasat untuk meredakan kekecewaan dan kemarahan massa-rakyat, kebijakan BLT jelas kontraproduktif. Apa pun jenis charity yang dituangkan dalam suatu kebijakan yang bersifat karitatif, tak akan pernah menjawab masalah fundamental kemiskinan di Indonesia. Sebaliknya, yang terjadi justru pelestarian kebudayaan kemiskinan.

* Amich Alhumami, Peneliti Sosial, Department of Social Anthropology, University of Sussex, United Kingdom

Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 29 Mei 2008

Wednesday, May 28, 2008

Opini: RRI dan KA Tebar Proklamasi

-- Rosihan Anwar*

KERETA Api Argo Jati Ja-karta-Cirebon, Sabtu, 17 Mei 2008 pagi, membawa satu rombongan dengan tujuan khusus. Dalam rangka peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional digelar pertunjukan kesenian lokal dan diskusi napak tilas diplomasi Linggajati, di Kuningan, Jawa Barat. Di sana pada 11-12 November 1946 berlangsung perundingan internasional pertama antara PM Sutan Sjahrir, mewakili Republik Indonesia, dan mantan PM/Komisi Jenderal Prof. Schermehorn, mewakili Kerajaan Belanda. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta datang dari Yogya menunjukkan persatuan Indo- nesia.

Karena gagasan berasal dari Parni Hadi, Direktur Utama RRI, maka seluruh acara disiarkan langsung secara nasional oleh Program 3 RRI. Beberapa menteri sedianya ikut, Menlu, Menbudpar, dan Menteri Pemuda Olahraga, tapi berhalangan karena ada janji lain. Yang hadir dalam wagon istimewa ialah Menkominfo M Nuh. Sebagai narasumber ikut antara lain, Rosihan Anwar (pelaku sejarah), Djafar Assegaf (wartawan senior), Anhar Gong-gong (sejarawan), para wakil kementerian, anggota Komisi I DPR, dan pejabat dari Dephub.

Topik apakah yang dibincangkan dalam diskusi di kereta api? Sesuai dengan suasana peringatan Seabad Kebangkitan Nasional disepakati topik: "Peran RRI dan Kereta Api Pasca-Proklamasi Kemerdekaan."

Orang sekarang tidak tahu bagaimana keadaan di Tanah Air masa itu. Proklamasi kemerdekaan sudah terjadi, tapi tentara Jepang masih berkuasa penuh. Gunseikan berada di Istana, Kenpeitai mengawasi masyarakat, dan serdadu berpatroli di jalanan. Koran satu-satunya di Jakarta Asia Raja dilarang oleh sensor Jepang menyiarkan berita tentang proklamasi kemer- dekaan.

Radio Jakarta dijaga keras oleh Kenpeitai. Jusuf Ronodipuro (kelak Kepala RRI Jakarta) diberitahu oleh pemuda- pemuda Menteng 31 agar siap-siaga menyiarkan teks proklamasi. Jusuf berunding dengan Bachtar Lubis dari bagian berita (kelak Kepala Penerangan Angkatan Darat). Sorenya, wartawan Sjahrudin dari Domei Bagian Indonesia memanjat pagar tembok di belakang gedung, lalu menyerahkan kertas teks proklamasi kepada Jusuf yang dikirim Adam Malik, Ketua Domei Bagian Indonesia.

Pertanyaan diajukan, di ruangan manakah penyiaran dilakukan? Semua ruang dijaga oleh Jepang. Untung ruang siaran luar negeri tidak dipakai. Maka teks proklamasi dibacakan berulang kali oleh Jusuf Ronodipuro sedang terjemahannya dalam bahasa Inggris dibacakan oleh se- orang rekan.

Jepang heboh. Dua perwira Kenpeitai datang ke studio. Mereka mau menghabisi nyawa Jusuf dan Bachtar. Untung seorang supervisor Jepang senior dan intelektual berhasil meredakan hati perwira Kenpeitai. Alih-alih Jusuf dan Bachtar digebuk babak belur. Jusuf sejak itu berjalan agak pincang akibat dipermak oleh Jepang. Begitulah kisah heroik pemuda berusia 24-25 tahun itu pada zaman Revolusi.

Di Bandung, penyiar berita Sakti Alamsyah (kelak menjadi Pemimpin Umum Harian Pikiran Rakyat) juga berhasil menerobos rintangan Jepang lalu membacakan teks proklamasi depan corong radio.

Menurut sejarawan dr. Rushdi Hussein, di laboratorium Fisiologi Ika Daigaku (Sekolah Tinggi Kedokteran) atas prakarsa dr Abdulrachman Saleh (kelak Komodor AURI yang tewas di Yogya Juli 1947 karena pesawatnya ditembak Belanda) didirikan sebuah pemancar gelap yang menyiarkan pidato Bung Karno pada 25 Agustus 1945 dan pidato Bung Hatta, 29 Agustus. Penyiaran inilah yang ditetapkan sebagai cikal bakal RRI.

Kawan-kawan telegrafis Domei Bagian Indonesia dengan menggunakan zender kode Morse atas arahan Rachmat Nasution (ayahanda Adnan Buyung Nasution) dan Penghulu Loebis secara diam-diam mengirimkan teks proklamasi ke segenap penjuru dunia.

Radio Disegel

Pertanyaan menonjol adalah sampaikah berita proklamasi itu kepada rakyat banyak? Tidak ada kepastian tentang hal itu. Pada zaman Jepang semua pesawat radio disegel, sehingga rakyat ter- batas sekali memperoleh informasi.

Marshall McLuhan menulis buku Understanding Media (1964). Ia berkata: "kereta api tidak mengintroduksikan gerakan atau transportasi atau roda atau jalan ke dalam masyarakat, tapi mempercepat dan memperbesar skala fungsi-fungsi manusia sebelumnya, menciptakan total jenis-jenis baru kota dan jenis baru pekerjaan serta waktu terluang (hal. 20).

Pada 1945, pemuda Indonesia tidak mengetahui pendapat McLuhan the medium is the message. Akan tetapi, pemuda keranjingan dengan pesan (message) yang harus ditebarkan, yaitu Proklamasi 17 Agustus, dan mereka melihat kereta api sebagai alat tepat menjadi messenger, pembawa pesan.

Pemuda pejuang berhimpun dalam tiga kubu, yaitu Asrama Prapatan 10, Menteng 31 markas API (Angkatan Pemuda Indonesia), dan Asrama Cikini 7. Pemuda kesal melihat kabinet Soekarno menghabiskan waktu rapat di rumah Pegangsaan Timur 56. Tidak ada tindakan konkret.

Pemuda dari Menteng 31 di bawah pimpinan mahasiswa Djohar memulai aksi mengambil alih kereta api pada 3 September 1945. Kemudian menyusul perusahaan telepon, listrik, dan gedung pemerintah yang ditempeli dengan kertas berbunyi: "Milik Repoeblik Indonesia". Pada 3 September, Kantor Berita Antara didirikan kembali. Pada 11 September, Radio Jakarta jatuh ke tangan Indonesia.

Setelah kereta api dikuasai oleh pemuda maka mulailah aksi corat-coret graffiti di dinding wagon-wagon kereta api antara Jakarta dan Surabaya. Semboyan yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris berbunyi: Merdeka ataoe Mati, Satoe Tanah Air, satoe Bangsa, satoe Tekad tetap merdeka; Indonesia never again the life blood of any nation.

Setelah berjalan beberapa minggu tersebarlah kabar di kalangan rakyat banyak bahwa Indonesia sudah merdeka dan berdaulat.

Kereta api berperan sentral dalam Revolusi. Pada 17 Desember 1945, sebuah Kereta Api Luar Biasa bertolak dari Stasiun Manggarai menuju Jawa Tengah dan Jawa Timur, membawa rombongan pemerintah RI, yakni Presiden Soekarno, Wapres Hatta, dan PM Sjahrir, serta para koresponden internasional. Pemerintah mau sowan, silaturahmi dengan rakyat di Solo, Purwokerto, Yogya, Kediri, Malang, Pekalongan, Tegal, dan Cirebon. Pada saat itu Bung Karno dalam pidatonya mengumandangkan semboyan dalam bahasa Inggris: All is running well in the Republic. Kemudian, pada 4 Januari 1946 mengingat keadaan memburuk akibat teror serdadu Nica-Belanda, Presiden Soekarno dan Wapres Hatta naik kereta api untuk pindah ke Yogyakarta melanjutkan perjuangan.

Pernahkah terpikir oleh Anda bahwa RRI dan Kereta api telah memberikan sumbangan berharga dalam perang kemerdekaan 1945-1949? Renungkan itu.

* Rosihan Anwar, wartawan senior

Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 28 Mei 2008

Tuesday, May 27, 2008

Sejarah: Nagarakrtagama Aslinya Desawarnana

JAKARTA, KOMPAS - Filolog Prof Dr Stuart Robson dari Monash University mengungkapkan, Nagarakrtagama, bukan Negarakertagama, yang mendapat pengakuan sebagai Memory of the World dan sertifikatnya diterima Kepala Perpustakaan Nasional RI Dady P Rachmananta dari UNESCO, Senin (26/5), bukan judul/nama asli yang diberikan Mpu Prapanca. Nama asli yang diberikan Mpu Prapanca adalah Desawarnana.

”Mpu Prapanca memakai nama asli Desawarnana yang berarti deskripsi daerah-daerah karena isi teks bagian yang penting dari karya itu memuat tentang hal itu. Meski demikian, sejarawan di Indonesia dan di luar negeri telanjur mengenal karya sastra agung sebagai Negarakertagama,” kata Stuart Robson pada acara talk show di Perpustakaan Nasional, Senin.

Robson yang 40 tahun lebih meneliti teks-teks Jawa Kuno menjelaskan, Nagarakrtagama adalah karya luar biasa yang tidak ada bandingannya. Bahkan, boleh disebut unik dalam khazanah sastra Jawa Kuno, baik bahasa maupun isinya.

Bahasa Jawa Kuno yang ada pada Nagarakrtagama sulit dipahami oleh penutur bahasa Jawa sekarang karena ia bukan bahasa Kawi yang terdapat dalam karya klasik Jawa, seperti karangan Ranggawarsita pada abad ke-19. Bahasa Jawa Kuno yang dituturkan Mpu Prapanca lebih tua lagi.

Robson yang menguasai bahasa Jawa Kuno itu juga mengungkapkan, Nagarakrtagama yang dibagi atas 94 pupuh (canto), ditambah empat lagi yang tidak ada kaitannya, diselesaikan pada 30 September 1365.

Ternyata Nagarakrtagama bukan satu-satunya karangan Prapanca. ”Masih ada karya lain, yaitu Sakabda, Lambang, Parwasagara, Bhismasarana, dan Sugataparwa, dengan catatan bahwa Lambang dan Sakabda digarap kembali, ditambahi dan belum selesai,” paparnya. (NAL)

Sumber: Kompas, Selasa, 27 Mei 2008

Arung Sejarah Bahari: Pusat Rempah yang Kian Lekang oleh Zaman

-- Nawa Tunggal

Sejarah kerap mengungkung pemahaman hanya pada kenangan masa lalu tentang kejayaan atau tragedi atas peperangan, disertai tantangan hafalan merunut angka dari tahun ke tahun. Bagi Vindro Salamor (21), mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, tidak demikian halnya.

Sebanyak 94 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia mengikuti Arung Sejarah Bahari III, akhir April 2008, ke wilayah provinsi muda Maluku Utara. Para mahasiswa terlihat di atas kapal Halsel Expres dari Pulau Bacan menuju Pulau Tidore. (KOMPAS/NAWA TUNGGAL)

Saat mengikuti kegiatan Arung Sejarah Bahari (Ajari) III atas prakarsa sinergi program antara Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dengan Departemen Pendidikan Nasional, gagasan kesejarahan Vindro ingin menembus soal integrasi Maluku baru ke depan.

Ajari untuk ketiga kalinya itu digelar dengan tema ”Membangun Kembali Peradaban Bahari dengan Menjelajahi Pusat Perdagangan Rempah-rempah Nusantara” di Ternate, Bacan, Tidore, dan Jailolo yang masuk wilayah provinsi muda Maluku Utara.

Sebanyak 94 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia terpilih melalui mekanisme seleksi di tingkat perguruan tinggi masing-masing.

Salah satu materi seleksi berupa gagasan mahasiswa mengenai kesejarahan Maluku Utara yang dituangkan ke dalam suatu makalah. Seperti Vindro, menuangkan gagasannya ke dalam makalah berjudul Sasi sebagai Bentuk Konservasi Lokal dan Bentuk Integrasi Bangsa Menuju Maluku Baru.

Vindro kebetulan pula memenangi penilaian para peserta dan dewan juri sebagai Raja Bahari Ajari III. Ia berpasangan dengan mahasiswi Regina Rosa Beryllinda sebagai Ratu Bahari Ajari III dari Universitas Indonesia. Penilaian dewan juri salah satunya mempertimbangkan intelektualitas, baik dalam wawancara maupun gagasan yang ditulis ke dalam makalah.

Kearifan lokal

Gagasan Vindro berangkat dari tradisi atau kearifan lokal Maluku yang kini mulai surut, yaitu ”sasi”. Sasi itu sebuah pranata hukum sosial berisi larangan. Ada sasi darat, ada pula sasi laut. Larangan diwujudkan ke dalam tanda seperti anyaman daun kelapa, papan kayu, dan sebagainya.

Suatu misal, pemimpin adat meletakkan tanda larangan di suatu kawasan pantai yang diberi tanda-tanda batasnya (waktu tutup sasi). Sebelum sasi dinyatakan dibuka, siapa pun dilarang memetik ikan di wilayah itu, misalnya untuk pertimbangan supaya tidak mengganggu waktu berpijah induk-induk ikan.

Begitu pula, di darat ada waktu tutup sasi sebelum masa panen, dilarang memetik komoditas yang disasi. Menurut Vindro, wawasan mengenai ikan berpijah atau masa panen komoditas di darat merupakan kekayaan tersendiri.

Itu sebagai wawasan ekologikal yang sekarang jarang diperhatikan lagi. Bisa saja setiap orang memetik ikan tanpa memedulikan kelestariannya.

Vindro memetik makna sasi dari sejarah Maluku itu untuk meraih hikmah kedaulatan masyarakat lokal dan konservasi kekayaan alam lokal menuju Maluku baru.

Gagal diskusi

Ajari III diselenggarakan pada 20-25 April 2008. Dari hari ke hari, penjelajahan tempat yang dinamakan pusat rempah-rempah Nusantara cukup membingungkan karena yang dikunjungi berupa peninggalan jejak bangsa Spanyol, Portugis, dan Belanda di Ternate, Tidore, dan Bacan.

Juga jejak-jejak kerajaan berupa istana maupun makam raja-raja Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Tak satu pun kondisi rempah-rempah di pusatnya itu bisa tersaji secara nyata. Misalnya, rencana mengunjungi Cengkeh Afo, yaitu istilah untuk pohon cengkeh yang diyakini tertua dan terletak di lereng Gunung Gamalama, Ternate, dibatalkan.

Berdasarkan data yang ada, Cengkeh Afo kini diperkirakan berumur 398 tahun. Ketinggian pohonnya mencapai 36,6 meter dengan garis tengah batang terbesar mencapai 4,26 meter.

Alhasil, penjelajahan Ajari III tak lain mengakrabi benteng-benteng konflik Spanyol, Portugis, dan Belanda di Ternate, Tidore, atau Bacan. Cerita konflik itu mudah ditemui dari berbagai buku sejarah.

Sebelumnya, tim panitia yang diketuai Triana Wulandari dari Direktorat Geografi Sejarah Departemen kebudayaan dan Pariwisata sudah menyusun cara strategis untuk memperkaya pemahaman peserta mengenai keberadaan pusat rempah-rempah Nusantara tersebut. Caranya, mengantarkan peserta untuk diskusi dengan materi 10 makalah terpilih yang dibuat 10 peserta Ajari III.

Rencananya, diskusi digelar di sela-sela perjalanan, seperti ketika berada di atas kapal dari Ternate menuju Bacan yang memakan waktu enam jam. Tetapi, diskusi itu gagal. Sebanyak 15 peserta dari Ternate dan Tidore memprotes mekanisme pemilihan 10 makalah itu.

Sedikit kekacauan terjadi pada hari kedua di atas kapal Halsel Expres itu dalam perjalanan dari Ternate menuju Bacan. Sebanyak 15 mahasiswa Ternate-Tidore walk out alias keluar dari forum diskusi di atas kapal milik Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan itu.

Para mahasiswa Ternate dan Tidore itu sebelumnya menuntut 10 makalah terpilih dibatalkan. Begitu pula, nominasi untuk pemakalah terbaik turut dibatalkan. Para peserta sempat bersitegang.

Akhirnya, ketegangan luruh dan diselesaikan peserta sendiri dengan kesepakatan tidak ada lagi diskusi dengan materi 10 makalah terpilih.

Revitalisasi Ternate-Tidore

Sisi menarik lain dari Ajari III adalah diselenggarakannya beberapa diskusi yang mendorong revitalisasi Ternate-Tidore dari beberapa narasumber yang ahli di bidangnya.

Seperti arkeolog Bambang Budi Utomo dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menyebutkan, sejarah telah mencatat Maluku sebagai satu-satunya asal cengkeh di dunia. Namun, perdagangan cengkeh sudah menyebar ke berbagai belahan bumi, termasuk China dan Eropa, ribuan tahun silam.

Sumber tertulis Romawi pada tahun 75 Masehi dari Plinius Major, menurut Bambang, menyebutkan adanya garyophyllon (nama tumbuhan yang hanya dapat tumbuh di hutan sakti India). Namun, ilmuwan Rouffaer kemudian menyatakan dugaannya bahwa garyophyllon itu cengkeh. Asalnya, dari Maluku.

Sementara itu, sumber Dinasti Han di Tiongkok pada abad III sebelum Masehi menyebutkan, ada kewajiban bagi para petinggi kekaisaran Tiongkok untuk mengulum cengkeh ketika menghadap kaisar. Cengkeh memang dikenal bermanfaat sebagai pengharum mulut.

Dengan kesuburan tanahnya, Ternate dan Tidore di Maluku Utara sempat mendunia dengan hasil utama rempah-rempah, seperti cengkeh, pala, kemiri, dan lada. Tetapi, kenangan itu akan lekang oleh zaman dengan ditandai berkecamuknya kehidupan sosial-politik wilayah itu sekarang, seperti dari adanya konflik berlarut-larut pasca-Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Maluku Utara.

Sumber: Kompas, Selasa, 27 Mei 2008

Buku Digital Disebarkan: Sebanyak 37 Judul Sudah Di-"upload" ke Portal Depdiknas

Jakarta, Kompas - Jejaring Pendidikan Nasional menjadi andalan penyebaran buku teks pelajaran digital yang telah dibeli hak ciptanya oleh Departemen Pendidikan Nasional. Pembelian hak cipta buku teks itu guna mewujudkan buku pelajaran murah dan diharapkan mengurangi beban masyarakat.

Jejaring Pendidikan Nasional (Jardiknas) merupakan jaringan informasi digital yang dibangun Depdiknas. Jardiknas terdiri dari empat zona jaringan, yakni kantor dinas, perguruan tinggi, sekolah, serta guru dan siswa. Titik koneksi ada di 441 kantor pendidikan kota atau kabupaten, lebih dari 6.500 sekolah, 33 kantor dinas pendidikan provinsi, dan puluhan institusi lain.

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, Senin (26/5), mengatakan, di semua pusat kabupaten dan kota telah ada sambungan Jardiknas. ”Kepala dinas pendidikan mengetahui hal tersebut dan mempunyai akses ke Jardiknas. Paling tidak, dinas sudah dapat mencetak secara terbatas sebagai contoh untuk kemudian dicetak murah beramai-ramai,” ujarnya.

Dia menambahkan, saat ini telah terdapat banyak percetakan, termasuk di daerah. ”Sudah banyak percetakan yang menjadi pembajak buku. Daripada membajak buku dengan melakukan pembajakan yang melawan hukum, lebih baik ’membajak’ bukunya Mendiknas dan tidak melanggar hukum,” ujarnya.

Sebanyak 49 jilid buku sudah terbeli hak ciptanya, di mana 37 judul di antaranya sudah di-upload ke dalam portal www.depdiknas.go.id, sedangkan 12 judul masih dalam pengeditan. Direncanakan sampai dengan Agustus 2008 dapat terbeli hak cipta untuk 250 judul buku. Untuk pencetakan, ditentukan harga eceran tertinggi adalah sekitar sepertiga dari harga pasar buku.

Solusi sementara

Secara terpisah, dalam seminar perbukuan, pekan lalu, Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Setia Dharma Madjid mengatakan, kebijakan pemerintah menyediakan buku teks murah secara e-book didukung semua pihak, termasuk penerbit dan percetakan buku. Namun, kebijakan itu dinilai hanya solusi sementara yang tidak adil dan kondusif untuk menciptakan mekanisme penyediaan buku murah yang berkualitas sehingga perlu dikaji ulang.

Sepanjang harga kertas tidak dikendalikan dan tidak disubsidi pemerintah, sulit mewujudkan buku murah, termasuk buku yang digandakan dari e-book, yang ditetapkan pemerintah maksimal Rp 7.500 per buku.

Praktisi pendidikan Junadi Gafar mengatakan, e-book itu masih banyak kelemahan karena infrastruktur internet ke semua sekolah belum tersedia. Untuk mencetak hasil unduh e-book dalam bentuk buku juga malah lebih mahal. Untuk itu, perlu dibuat mekanisme penyediaan buku murah. (INE/ELN)

Sumber: Kompas, Selasa, 27 Mei 2008

Lagu Daerah Kurang Populer di Kalangan Anak

[JAKARTA] Popularitas lagu daerah di kalangan anak-anak semakin menurun seiring pesatnya pertumbuhan band-band anak muda bergenre pop.

Di kalangan anak-anak, lagu-lagu daerah semakin kalah publikasi dibandingkan lagu-lagu pop. Padahal, lagu-lagu daerah menyimpan kekayaan budaya bangsa yang sepatutnya dikenal generasi penerus bangsa.

"Anak-anak sudah tidak tahu lagu daerah, pas audisi bahkan lagu Garuda Pancasila ada yang salah nyanyi, syairnya jadi selama 'ayah masih dikandung badan'," ujar Pemimpin Gema Nada Pertiwi (GNP) Hendramin Susilo saat proses rekaman album daerah anak-anak di studio GNP, Senin (26/5).

Minimnya perbendaharaan lagu daerah, kata Hendramin, menyebabkan anak-anak sulit mengenal jenis lagu itu.

Menurutnya, sejumlah audisi menyanyi anak-anak hanya memperkenalkan lagu pop anak muda yang sedang berkembang. Kondisi itu, tambahnya, menyebabkan berkurangnya pengetahuan anak-anak tentang lagu daerah.

"Kondisi ini menyedihkan sekali, kita mengalami kemunduran," tandas Hendramin.

Senada dengan itu, penata musik Maman Piul yang juga ditemui di studio GNP mengungkapkan, kesempatan untuk menggarap lagu-lagu daerah semakin sempit.

Saat ini anak-anak lebih menyukai kelompok musik atau penyanyi pop yang sedang naik daun. Akibatnya, para produser rekaman umumnya enggan membiayai album bertema lagu-lagu daerah untuk anak-anak.

"Sebenarnya membuat lagu anak-anak itu mudah, tapi yang sekarang saya lihat dari segi komersial, dari segi pendistribusiannya, itu memang anak-anak kavelingnya sudah kurang," tutur Maman yang juga terlibat sebagai penata musik acara komedi situasi Republik Mimpi.

Maman mengungkapkan lagu anak-anak sebenarnya bisa pula dibuat sesuai aransemen yang digemari anak-anak saat ini. Beberapa artis cilik, ungkapnya, sudah melakukan pembaruan dalam bermusik.

Musik anak-anak, ujarnya, bisa dimainkan secara orkestra atau dengan perpaduan unsur lainnya, Menurutnya, kompromi itu adalah jalan tengah agar anak-anak mau mengapresiasi lagu-lagu daerah.

"Kalau lagu anak-anak di musik itu chordnya satu, dua, tiga, empat, sederhana sekali. Tapi begitu Sherina masuk, itu sudah mulai ada chord progresif, misalnya di C, tapi kalau di Sherina itu ada C mayor tujuh, C mayor enam," tambah Maman.

Maman mengatakan aransemen lagu daerah tetap berbeda dengan lagu pop. Sebuah lagu daerah harus tetap mengandung keaslian musik daerah yang bersangkutan.

"Bas dan gitar dimasukkan juga supaya nuansanya kami ambil. Jadi bukan permainannya, tapi soundnya disesuaikan dengan sound sekarang," lanjut Maman.

20 Lagu Daerah

Di tengah minimnya minat terhadap lagu-lagu daerah, perusahaan musik GNP akan merilis album anak-anak yang berisi 20 lagu daerah.

Album yang direncanakan keluar bulan Juni 2008 ini merupakan proyek pertama GNP untuk album daerah anak-anak. Sebelumnya, GNP telah menelurkan 13 album daerah untuk masyarakat umum.

Penyanyi cilik yang terlibat dalam album ini dipilih berdasarkan hasil seleksi GNP. Kali ini, ada enam penyanyi cilik yang terlibat dalam album ini. Mereka akan menyanyikan lagu-lagu daerah yang umum didengar masyarakat, seperti O Tano Batak, Apuse, Bungong Jeumpa, Ondel-ondel, dan O Ina Ni Keke.

Semua lagu akan digarap dengan aransemen khas setiap daerah. Beberapa lagu daerah akan diiringi dengan alat musik khas dari daerah yang bersangkutan. [NCW/U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 27 Mei 2008

Teater: Sandekala Mei 1998

"SANDEKALA memiliki beragam arti. Setidaknya itu yang saya ketahui. Semasa kecil, saya mengenalnya sebagai sosok raksasa akan datang mengambil anak nakal. Itu kata orang-orang di sekitar rumah saya."

Pandu dipijit ibunya setelah sakit akibat berunjukrasa dalam pementasan teater sandiwara Sunda "Sandekala" di Gedung Kesenian Rumentang Siang, Bandung, Jumat (23/5). (SP/Adi Marsiela)

Namun, buat Wawan Sofwan, seorang sutradara teater, sandekala bukan lagi berarti sosok raksasa. Sebuah buku untuk anak-anak mencantumkan sandekala sebagai gejala alam akibat perubahan waktu yang terjadi dari siang ke malam, ditandai oleh adanya lembayung. Cuaca pada saat itu sangat tidak baik untuk kesehatan.

Dalam bahasa Sasak Lombok, kata yang sama berarti waktu setelah salat asar menjelang magrib. Bagi penduduk etnis Sasak, sandekala diartikan sebagai titik rawan. Saat itu, semua orang, anak-anak dan dewasa harus menghentikan aktivitas sejenak untuk menyongsong waktu salat magrib dan mengaji. Malah, bayi tidak boleh dibawa ke luar rumah, agar tidak kerasukan makhluk gaib.

Kalau ditarik garis merahnya, semua berakhir pada masa jeda atau transisi, ketika siang baru saja beranjak, sementara hari belum menapaki malam.

Wawan membacanya sebagai sebuah semangat perlawanan, dengan empat tema besar, korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, persoalan lingkungan, dan kearifan lokal.

Wawan tidak sendiri menggarapnya. Dia bekerjasama dengan mainteater yang biasa menggarap teater kontemporer berbahasa Indonesia. Bahasa? Ya, Sandekala ditampilkan dalam dua bahasa, Sunda dan Indonesia.

Khusus di Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung, Sandekala menggunakan bahasa ibu dari penulisnya, Godi Suwarna, bahasa Sunda. Pementasan berlangsung dari Jumat (23/5) hingga Sabtu (24/5). Pementasan berbahasa Indonesia bakal berlangsung di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada tanggal 22 hingga 23 Juli 2008.

Wawan mengaku tidak sengaja membeli novel karya Godi berjudul Sandekala, yang mendapatkan penghargaan Sastra Rancage 2008. "Temanya sangat menarik dan sangat kontektual. Peristiwa Mei 1998. Bukankah tahun ini persis sepuluh tahun reformasi," ungkap dia.

Semuanya berawal dari kerakusan seorang camat yang memerintah dengan tangan besi di kawasan Kawali, Ciamis. Dia tidak segan-segan menyikat seluruh proyek yang ada di depannya, asalkan jelas pemasukan buat kantongnya sendiri. Malah, dia tidak menampik teguran dari Ki Kuncen soal penebangan di hutan keramat, Tabet.

Saking rakusnya, camat yang mengepalai beberapa tukang pukul ini juga meneror para tukang ojek. Setiap tukang ojek harus memberinya kutipan. Kalau tidak membayar bakal babak belur seperti Dadang.

Dewi, si anak camat tidak tahan dengan kelakuan bapaknya. Bermodalkan pengalaman unjukrasa ketika menjadi mahasiswa di kampusnya, dia bersama Pandu, kekasihnya yang berasal satu kampung melakukan perlawanan.

Mereka berdemonstrasi. Terlebih ketika camat tidak mau memindahkan pasar di alun-alun kota yang berdekatan dengan tempat ibadah. Masyarakat mulai gerah dan semakin berani. Akibatnya unjuk rasa semakin menjadi dan tidak terkontrol.

Kondisi ini digambarkan lewat potongan-potongan klip video dokumentasi unjukrasa di Jakarta, 10 tahun lalu. Desingan peluru, pemukulan oleh aparat, tangisan, dan korban kekerasan mendominasi.

Kekerasan demi kekerasan ini ternyata sudah bukan lagi dalam lingkup perintah camat, melainkan bupati. Para pengunjuk rasa yang bersembunyi di hutan keramat, dibinasakan semuanya.

Sunda Kuno

Menariknya, pementasan teater ini juga memasukkan unsur kearifan lokal dalam visualisasinya. Adapun yang diambil adalah aksara Sunda kuno dalam prasasti Astana Gede atau dikenal dengan sebutan prasasti Kawali.

Prasasti ini merupakan sakakala atau tugu peringatan untuk mengenang kejayaan Prabu Niskala Wastu Kancana, penguasa Sunda yang bertahta di Kawali, putra Prabu Linggabuana yang gugur dalam perang Bubat.

"Ini merupakan upaya kami untuk menghidupkan kembali budaya lokal yang selama ini dipinggirkan," kata Wawan dalam pengantar sandiwaranya.

Pementasan teater Sandekala ini bekerja sama dengan Perkumpulan Seni Indonesia (PSI), ELSAM, INFID, Perkumpulan Praxis, Voice Of Human Right, Transparancy International Indonesia, Indonesian Corruption Watch, dan Wahana Lingkungan Hidup.

Sandekala bisa jadi punya arti baru lagi. Setidaknya dari pementasan itu, bisa menjadi motivasi untuk perjuangan gerakan antikorupsi. [SP/Adi Marsiela]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 27 Mei 2008

Bahasa Indonesia Berpeluang Jadi Bahasa Dunia

BANJARMASIN (Borneo): Seorang peneliti bahasa Indonesia Abdul
Gaffar Ruskan menyatakan bahasa Indonesia berpeluang menjadi bahasa dunia karena sudah banyak dipergunakan beberaga negara.

"Bahasa Indonesia Melayu, kini bukan saja sudah dipergunakan di Indonesia dan Malaysia, tetapi juga di negara Singapura, Brunei Darussalam, Thailand selatan, Filipina Selatan, Tomor Timur, Papua Nugini dan sebagian Australia," kata peneliti Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional ini, di Banjarmasin, kemarin.

Kalau melihat jumlah penduduk di negara yang sudah menggunakan bahasa Indonesia Melayu tersebut maka persentasi pemakaian bahasa tersebut begitu besar, apalagi sekarang perkembangan penduduk dan pemakaiannya kian meluas, bisa jadi nantinya bahasa Indonesia Melayu menjadi bahasa alternatif dunia.

Belum lagi terdapat banyak lembaga pusat studi Indonesia di berbagai negara yang lebih menekankan pada pembelajaran bahasa Indonesia.

"Saya yakin bahasa Indonesia akan lebih berkembang di belahan dunia,"
katanya disela-sela memberikan materi pada acara penyuluhan Bahasa
Indonesia bagi kalangan wartawan dan redaktur media cetak dan media
elektronika se Kota Banjarmasin.

Pusat studi Indonesia ini yang menekankan pembelajaran bahasa Indonesia kini berada di China, Belanda, Paris Prancis, Jerman Barat, serta Australia.

Bahkan di Australia, bahasa Indonesia sudah dipelajari di hampir
seluruh sekolah, dan menjadi pelajaran pilihan bagi murid-murid di negeri Kanguru ini.

Bagi Australia, Indonesia adalah negara yang paling yang penting dan
letaknya berdekatan Australia.

Penyuluhan bahasa Indonesia hasil kerja sama Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Persatuan Wartawan indonesia (PWI) Kalsel dengan
Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas)
dan dibuka Kepala Badan Kesbanglinmas Fakhrudin yang menyebutkan pemakaian bahasa Indonesia merupakan bentuk kecintaan terhadap bangsa.

"Penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar adalah satu upaya memelihara harga diri bangsa," katanya.

Ia berharap bahasa Indonesia suatu saat akan menjadi bahasa dunia.
Penyuluhan bahasa itu sendiri berlangsung hingga tanggal 29 Mei 2008
dengan materi teori menulis berita, kalimat dan paragraf, teori menulis
feature, serta teori menulis artikel.

Sumber: Borneonews, Selasa, 27 Mei 2008

Monday, May 26, 2008

100 Tahun Kebangkitan Nasional: Menemukan Kembali Boedi Oetomo

-- Daniel Dhakidae*

APA pun bisa diberikan kepada, dan dikatakan tentang, nasionalisme kecuali suatu tanggal lahir. Nasionalisme tidak pernah lahir, tetapi ”menjadi”. Nasionalisme adalah proses panjang hasil dialektika antara ruang, waktu, dan kelompok sosial dan politik yang mengolahnya. Kalaupun ada urusannya dengan ”kelahiran”, nasionalisme selalu berada dalam ”proses lahir”, semper in statu nascendi.

Untuk siapa didirikan?

Nasionalisme adalah gejala modern. Karena itu, hampir tidak terbayangkan Majapahit, dengan seluruh kedigdayaan jaladi mantry, angkatan lautnya, yang ”me-wiçirna sahana-kan”, memusnahkan para pemberontak mampu melahirkan nasionalisme. Infrastruktur tidak memungkinkan itu. Salah satu hal yang paling utama dalam kesadaran nasional adalah bahasa. Bahasa Jawa tidak pernah bisa dikembangkan sebagai bahasa kesadaran tentang ”hidup bersama” (la conscience de vivre ensemble, Ernest Renan).

Namun, yang paling utama adalah tidak adanya warga dan konsep kewargaan di sana. Yang ada adalah gerombolan manusia abdi yang diperintah oleh ”putra sang Surya atau putra para Dewata dari kayangan”.

Ditempatkan dalam pengertian di atas berdirinya Boedi Oetomo (BO) menjadi sangat menarik. Ketika menyambut ulang tahun ke-10, 1918, Noto Soeroto menggubah sebuah ode, madah puja-pujian, untuk BO dengan judul ”Het schone Streven”, perjuangan mulia.

Dalam seluruh ode yang selalu disinggung adalah suatu gerakan dan organisasi yang menjadi cahaya yang menyinari ”moeder Java”, dan ”het volk van Java”, untuk ”ibu Jawa dan bangsa Jawa”, dan bukan yang lain. Seluruh sinar itu menandakan kebangunan, ontwaking, dan dalam pengertian itu sekaligus pembangunan, ontwikkeling, bangsa Jawa.

Dalam konteks 1908-1918

Dengan semua keindahan ode tersebut, semuanya tidak melicinkan jalan untuk menafsirkannya. Untuk menilai BO, hampir semua pengamat dan peneliti senantiasa terjebak pada beberapa rintangan di bawah ini. Pertama, melihat BO semata-mata dari kacamata tahun 2008. Kedua, terpaku pada ritus ”hari kebangsaan”. Ketiga, karena terpaku pada ”perayaan”, semua menyisihkan ”pemberdayaan” dari apa yang mereka sendiri sebut sebagai ”het schone streven”, ”perdjoeangan moelia dari boedi moelia”.

Untuk itu, tidak ada jalan lain dari menempatkannya kembali pada konteks Hindia. Politik etis sudah diumumkan, 1900, dan Perang Aceh sudah boleh dibilang selesai pada tahun 1904. Ketika semua wilayah sudah masuk ke dalam Hindia Belanda, satu-satunya yang belum masuk secara administratif adalah semua wilayah Nusa Tenggara Timur. Alasannya bukan karena wilayah ini ganas melawan Belanda, tetapi selalu dianggap ”pos beban” dalam istilah keuangan kolonial.

Karena itu, sejak tahun 1902 Belanda mau menyapu bersih semua wilayah itu sehingga terjadi perang-perang lokal. Pemberontakan meletus di Sumbawa, Sumba, Roti, Sabu, dan Flores. Namun, baru pada tahun 1918 semua wilayah itu takluk, persis pada ulang tahun ke-10 BO meski pax neerlandica baru berkuasa penuh pada tahun 1925.

Dengan begitu, kita lihat bahwa klaim ”kesadaran kebangsaan” sebagaimana kita sekarang pahami adalah ahistoris karena sebagaimana sudah ditunjukkan di atas gerakan ”Boedi Moelia” adalah gerakan etnonasionalisme Jawa.

Namun, sejarah menunjukkan bahwa BO pun berkembang, bukan dalam arti meluaskan pandangannya ke luar Jawa, tetapi BO merangsang dan memberikan contoh bahwa hal yang sama bisa dibuat di tempat lain dan terutama menjangkitkan etnonasionalisme.

Dengan begitu, yang disebut sebagai ”kesadaran kebangsaan” adalah gabungan dari kesadaran kebangsaan lokal, etnonasionalisme, yang kelak memunculkan ”Jong Sumatra”, ”Jong Soematranen Bond”, ”Jong Ambon”, ”Jong Timor”, ”Jong Java”, dan ”Jong Celebes” sambil mengusungnya dengan nama suku bangsa masing-masing. Nama Indonesia baru ”ditemukan” bertahun-tahun kemudian, yang lantas kelak ditahbiskan sumpah pemuda menjadi abadi.

Menemukan kembali

Ketika partai-partai lain bermunculan, BO pada dasarnya sudah pudar bukan karena hancur, tetapi karena perjuangan kepartaian lain lebih menarik, seperti Indische Partij, Serikat Islam, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Nasional Indonesia. Dengan demikian, kemunduran BO lebih karena semakin tidak relevan dengan konteks politik yang ada. Akhirnya BO ditelan sejarah ketika terjadi fusi partai pada tahun 1935, menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra).

Pertanyaan kini, apakah ahistorisme BO sebagai penyadar kebangsaan Indonesia ikut tertelan zaman. Bagaimana menemukan kembali BO sebagaimana para pendiri republik ini menemukannya tahun 1948, ketika untuk pertama kalinya ”hari kebangsaan” dirayakan? Untuk itu, perhatian harus dialihkan ke luar dari perayaan. Kalau perhatian semata-mata ditujukan kepada ”perayaan”, perayaan itu adalah perayaan hampa. Namun, bukan itu soalnya. Perhatian tidak bisa semata-mata diberikan kepada BO historis, tetapi kepada BO simbolik, dan dari sana mencari makna baru, yaitu BO yang bukan sekadar ”dering-dering merdu” versi Noto Soeroto, tetapi BO yang membuka horizon masa depan.

Jauh lebih penting dalam arti pemaknaan yang diberikan kepadanya berlatarkan tantangan modern yang dikemukakannya. Pertama, mengapa etnonasionalisme awal abad ke-20 justru memberikan ilham bagi suatu kesatuan yang lebih besar? Kedua, mengapa etnonasionalisme abad ke-21 justru memecah-belah? Ketiga, sangat menarik bahwa BO menentang pembelandaan pendidikan. Hal yang sama bisa diajukan kepada Indonesia abad ke-21 ini, yaitu adanya gejala penginggrisan bahasa Indonesia, yang liar tanpa aturan, dan terutama tanpa akal yang membuat bahasa ini menjadi bahasa tanpa karakter.

Dengan begitu, kita mencoba menangkap tantangan sesungguhnya BO, yaitu ”kemajuan, solidaritas, dan martabat”.

* Daniel Dhakidae, Peneliti Senior, Jakarta

Sumber: Kompas, Senin, 26 Mei 2008