Saturday, April 03, 2010

Tertawa di Televisi

-- Iwan Gunadi

BILA pelawak melucu, lalu pemirsa televisi tertawa, apa komentar Anda? Ah, itu biasa. Tapi, bila pelawak melucu, lalu pelawak itu pula yang tertawa, apa komentar Anda? Ini baru luar biasa. Tapi, ini tentu tidak lucu.

Jangankan pelawak, yang bukan pelawak pun bila diajak melawak, sebagai suatu pertunjukan kesenian untuk orang banyak, ia tetap tidak layak tertawa. Apalagi pelawak, makin tidak layak. Janggal dan norak!

Namun, kenyataan menunjukkan bahwa fenomena tersebut acap terjadi pada pelbagai mata acara lawak yang belakangan banyak ditayangkan televisi kita. Ia tidak hanya terjadi pada kelompok lawak yang baru muncul, tapi menghinggapi pula kelompok lawak yang sudah berpengalaman dan mengaku profesional. Ini tidak halnya terjadi pada bentuk lawakan yang tidak mungkin diulang. Misalnya, pertunjukan lawak yang disiarkan secara langsung (live) atau rekaman pertunjukan lawak yang tadinya tidak ditujukan kepada pemirsa televisi. Ia juga menghinggapi pertunjukan lawak yang memungkinkan diulang, yang memang dipersiapkan untuk ditayangkan secara tidak langsung di televisi. Tapi, ini semua hanya menghinggapi mata acara lawak yang diproduksi bangsa sendiri dan melibatkan para pelawak dewek.

Cara mereka tertawa mudah diidentifikasi. Seorang pelawak atau seorang yang diajak melawak akan tertawa bila ia melakukan kesalahan ucap atau kesalahan tindak. Bahasa kerennya: salah dialog atau salah akting. Tapi, ia juga dapat tertawa bila geli menyaksikan teman melawaknya melakukan kesalahan. Atau, ia tertawa karena menyaksikan kesalahan teknis. Misalnya, yang sering terjadi, kumis palsu yang tidak terlalu kuat melekat.

Mereka juga akan tertawa bila ada teman lawak mereka tidak sadar kamera. Pihak yang tidak sadar kamera ini melawak tanpa memperhitungkan posisi kamera, sehingga tidak jarang menutupi pihak lain dari arah kamera. Ia, biasanya, bintang tamu yang bukan pelawak dan bukan pula aktor atau aktris yang berkualitas baik.

Namun kadang-kadang, pelawak sendiri yang mengalaminya. Bila itu semua terjadi, pelawak yang sadar kamera akan mengingatkan dengan seenaknya. Bila ketidaksadaran itu kemudian disadari sendiri, ia pun akan mengingatkan dirinya dengan seenaknya pula�karena bertajuk "lawak", mengingatkan diri sendiri ini sering dipandang lumrah. Yang disebut "dengan seenaknya" di sini, biasanya, secara verbal. Cara mereka tertawa pun bermacam-macam. Ada yang ter�tawa seenaknya dengan suara keras. Ada yang tertawa pelan. Ini yang tergolong sering terjadi. Ada yang tertawa tertahan-tahan. Ada yang tertawa sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. Ada yang tertawa seraya memalingkan muka supaya tidak tertangkap kamera. Ada pula yang tertawa sambil bergerak menghindari arah kamera.

Yang tadi disebut "akting" tidak perlu dipahami sebagaimana biasanya. Ia tidak lain dari bergerak ke sana kemari tanpa maksud yang jelas. Bahkan, tidak jarang, tanpa maksud sedikit pun. Ya, asal bergerak. Hampir tanpa perhitungan.

Ia pun tidak lain dari pengembangan peran secara sembarang. Bangunan peran dapat berubah setiap saat ke segala arah dan dalam beragam bentuk. Hampir tidak ada perkembangan peran yang sinambung, intens, dan dapat dipertanggungjawabkan secara logis. Hal ini sering terjadi karena improvisasi yang tidak terkontrol dan terarah atau karena perwatakan yang dibangun penulis skenario�bila ada�memang lemah.

Sebagai suatu pertunjukan, pelbagai mata acara yang dimaksudkan untuk mengundang tawa itu, sebetulnya sudah tidak laik dihadiahi tawa yang sehat, murni, dan sejati. Mereka diproduksi secara kurang sungguh-sungguh. Mereka memiliki kesempatan mengulang shooting sampai tidak lagi terjadi kesalahan, tapi mereka tidak memanfaatkannya. Mereka punya peluang menyunting gambar, tapi mereka tidak menggunakannya secara maksimal. Sudut pengambilan gambar pun terasa statis, sehingga memaksa para pemain untuk selalu sadar kamera--selanjutnya, memaksa pemain memecah konsentrasi antara peran dan kamera. Akibatnya, apa yang mereka hasilkan sangat jarang optimal.

Seolah-olah mereka begitu yakin bahwa ketidakoptimalan itu akan terus dimafhumi pemirsa mengingat kekurangoptimalan sering diidentikkan dengan lawak. Kekurangan, kesalahan, dan ketidaknormalan identik dengan lawak. Tapi, apa para pelawak mau disebut sebagai aktor yang kurang, salah, dan tidak normal? Atau, bahkan orang yang kurang, salah, dan tidak normal? Tentu, tidak.

Bila jawabannya demikian, menghentikan, atau sekurangnya mereduksi, ketidakprofesionalan adalah langkah simpatik. Ketidakprofesionalan bukanlah imbalan pantas untuk penghargaan yang telah mereka terima, baik berupa materi maupun popularitas. Sudah saatnya mereka tidak hanya berusaha menjadi pintar secara kognitif, tapi juga secara psikomotor dalam bentuk kemampuan akting. Sudah saatnya pihak stasiun televisi menyikapi mata acara lawak tidak dengan kaca mata pelawak atau kaca mata penggemar lawak. Sudah saatnya pula para pemirsa televisi menyaksikan mata acara lawak bukan hanya untuk asal tertawa.

Apakah Anda akan tertawa bila menyaksikan pelawak tertawa karena tidak tahan atas kelucuan yang dibuat dirinya sendiri? Percayalah, saya tetap tidak akan mendikte Anda.

* Iwan Gunadi, Penggemar Acara Lawak

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 3 April 2010

No comments: