Monday, September 30, 2013

Selamat Jalan, Mas Tandi, Maafkan Kami....

-- Ahda Imran


“Saya ingin menulis sesuatu untuk mengingatkan sesuatu”

BEGITU dialog tokoh penulis cerpen bernama Tandi dalam cerpennya “Paitua Pejabat Jawa-kah?”, yang termuat di kumpulan “Sperma Airmata” (SkyiArt:2012). Seperti yang mudah dijumpai di banyak tulisannya, terutama cerpen dan novel,  ia selalu memberi identitias tokoh utamanya sebagai dirinya, Tandi Skober. Siasat bercerita ini menarik bukan semata demi menipiskan  jarak realitas fiksi dan fakta, namun melalui tokohnya itu Tandi Skober leluasa menghadirkan berbagai pandangannya. Termasuk apa makna menulis baginya sehingga kerja menulis terasa diimaninya sebagai suatu kewajiban hidup; ...untuk mengingatkan sesuatu.

Karena itu Tandi Skober terus menulis, bahkan di hari-hari terakhir hidupnya. Penulis produktif, bersahaja, dan amat akrab dengan para seniman dan penulis muda ini, wafat di RS. Al-Islam Bandung 29 September pkl.19.30 WIB., karena serangan jantung. Bila merujuk pada biodata yang tertera dalam novelnya “Pelacur, Politik, dan he he he”,  Tandi Skober wafat di penghujung bulan kelahirannya, sepekan setelah tanggal kelahirannya, 22 September.


Bagi para penulis, sastrawan, dan redaktur di sejumlah media di Bandung, sosok Tandi Skober begitu mudah dikenal. Postur tubuhnya yang tinggi, gemuk, selalu memakai penutup kepala, terompah, dan pakaian yang bersahaja. Atau ini; suaranya yang berat dan pembawaannya yang hangat dengan setiap orang. Tak terkecuali di tengah anak-anak muda, ia selalu mudah berbaur dan tak berjarak. Berbincang ramai dan serius ihwal sejarah, politik, filsafat, agama, Tuhan, sampai persoalan tulis-menulis. 

Atau selorohnya yang khas perihal strategi mengirim tulisan ke media agar dimuat. Bagaimana membuat pengantar ke redaktur, hingga trik nyelenehnya, seperti, waktu paling baik mengirim tulisan yang mesti disesuaikan dengan jam kedatangan redaktur di kantor.  “Jadi, waktu redaktur itu buka email, tulisan kita itu ada di paling atas. Nah, pasti itu dulu yang dia buka!” katanya, dan itu selalu membuat gerr.

Keakraban semacam itu dilakukannya tanpa khawatir wibawanya sebagai orang tua akan rusak di mata para penulis muda, malah terkesan ia tak pernah memikirkannya. Sebaliknya, di mata para penulis muda yang akrab menyapanya “Pak Tandi”, ia adalah kerinduan pada sosok orang tua sekaligus teman yang bijak. Sosok yang tidak sok jaim, gila hormat, selalu membanggakan masa lalunya, atau yang ingin para penulis muda itu melulu mengidolakannya. Karena itulah, Pak Tandi selalu bertempat istimewa di mata para penulis muda. Teman yang baik, guru, dan sosok seorang ayah.

Produktivitas, Indramayu

Tak hanya dibanding para penulis seusianya, produktivitas Tandi Skober menulis selalu membuat cemburu para penulis muda. Dalam setiap bulan, selalu saja ada satu dua tulisannya, muncul di surat kabar. Baik yang terbit di Bandung, Jakarta, atau Lampung. Tulisan yang terakhir dimuat di harian ini, “Para Pencari Hantu”, (9/9). Terakhir, bahkan di hari kepergiannya, Tandi Skober masih mendapati cerpennya “Jangan Biarkan Bulan Tenggelam” yang dimuat di  suratkabar Lampung Post.

Lalu seperti biasa, siang di hari itu,  ia memposting foto koran yang memuat cerpen tersebut di akun facebooknya, tentu dibumbuhi tulisannya yang jenaka,“Arsip cerpen "Jangan Biarkan Bulan Tenggelam", karya cerpenis keren asli Indramayu bernama Tandi Skober.”

Tandi Skober memang selalu bangga dengan Indramayu, tanah kelahirannya. Untuk itu ia mencantumkan nama kecamatan yang menjadi muasalnya di Kab. Indramayu di belakang namanya, juga nama anak-anak dan cucunya, “Skober”. Kebanggaannya pada Indramayu tampak pula di banyak tulisannya. Selain menyoroti isu-isu yang aktual, ia selalu mentautkan perspektif dan  gagasannya pada sejarah, budaya, atau kearifan tradisi yang ada di  Indramayu. Semangat ini amat terasa novelnya yang terakhir Manuwara Ibu Budaya Jawa-Sunda.

Pula dalam banyak diskusi dan obrolan. Bagi Tandi Skober seolah tak ada soal apa pun yang tak bertaut dengan sejarah Indramayu. Mulai dari sejarah masuknya Islam ke Jawa, nasionalisme, sampai Doraemon. Semuanya dituturkannya dengan ringan sambil  berseloroh. Jika sudah begitu, soalnya bukan lagi perdebatan benar atau tidaknya. Namun, lebih terasa sebagai bentuk kecintaan Tandi Skober pada budaya lokalnya, Indramayu.

Menulis dan Menulis

Meski ia seorang PNS hingga pensiun, Tandi Skober seakan lahir untuk menjadi seorang penulis. Dan itu berawal di Medan semasa ia berdinas di kota itu, ketika tulisannya yang pertama, cerpen “Rahasia Sebuah Cermin”, dimuat di harian Sinar Pembangunan Medan. Sejak itu gairah kepenulisan Tandi Skober terus berkembang. Cerpen, cerbung, artikel, bahkan merambah ke skenario film yang dimainkan di sejumlah stasiun TV; TVRI Medan dan Pusat, RCTI, dan SCTV.

Sedangkan tulisan menyebar ke berbagai media massa di berbagai kota, seperti, Media Indonesia, Prioritas, Pikiran Rakyat, Kartini, Nova, Republika, Cendrawasih Pos, Suara Merdeka, Waspada Meda, Analisa, Mimbar Umum, Jayakarta, Tribun Jabar, Sindo, Lampung Post,  tak terkecuali majalah remaja Story. Sejumlah bukunya pun telah terbit; Pelacur, Politik, dan he he he (novel), Namaku Nairem (novel), Sperma Airmata (kumpulan cerpen), Cinta Bertasbih Berthoven (kumpulan cerpen), Manuwara Ibu Budaya Jawa-Sunda (novel), dan Ketika Cikeas Kentut (kumpulan esai).

Seperti ditulisnya lewat ucapan seorang tokoh dalam cerpennya di atas, semua itu ialah jejak dari keinginan Tandi Skober untuk mengingatkan sesuatu. “Sesuatu” yang selalu terabaikan dalam ruang pemikiran khalayak. Atau, “sesuatu” yang dulu pernah dikatakannya, “Apa pun tulisan kalian, paling sedikit sisipkan 2,5 persen dari jumlah huruf yang tertulis berisikan ke-Tauhid-an Ilahiah.” 

Selamat jalan, Mas Tandi, Maafkan kami. Kami sebentar menyusul, masih berbenah. Al-fatihah.... n

Ahda Imran, Penyair dan Esais

Sumber: Pikiran Rakyat, Senin, 30 September 2013

Sunday, September 29, 2013

Berpuisi secara Filosofis atau Berfilsafat secara Puitis

-- Misbahus Surur

FILSAFAT sering menyusup ke dalam puisi. Karena ungkapan-ungkapan dalam puisi kerap mulanya dilatari oleh pikiran dan kegamangan yang jamak direnungkan-jalani dalam aktivitas (ber)filsafat.

Bisa jadi pula kegundahan manusia, terasa menjenuhkan atau tak nyaman, bila harus ditulis dalam bentuk traktat. Setali tiga uang, keintenan puisi dalam menatah kata-kata; menyibak, memilih, mempertimbangkan, mengendapkan, dan memadatkan secara neurotik hingga dianggap subtil, sebelum kemudian mendedahkannya ke pembaca, kerap dibangun melalui anasir-anasir serta karakteristik yang khas filsafat.

Belum lagi, selain juga hasrat menggambarkan (dunia) realitas, bahasa dalam puisi adalah manifestasi ungkapan perasaan dan pikiran manusia yang selain spontan, mulanya adalah reflektif. Karena itu, penyair dengan media bahasa itu kerap tak hanya fokus pada cara menuturkan: untuk melawan struktur dan mekanisme bahasa pada satu sisi, dan memenuhi unsur (juga syarat) puisi, pada sisi lain.

Tetapi juga tercurah pada urusan serumit dan sebanal (?) ”meditasi simbolik”: menggoretnya secara tepat dan terpilih (akurasi dan harapan). Meski bilik ini pula yang kerap menyusahkan, serta tak jarang menyeret penulis dalam kerja yang terlalu berkenes dengan kata-kata.
Rudolf Carnap dalam The Rejection of Metaphysics, pernah membedakan dua fungsi bahasa: fungsi ekspresif dan fungsi kognitif atau representatif. Fungsi pertama sering merupakan pernyataan-pernyataan mengenai perasaan, ucapan-ucapan linguistik yang disadari atau tidak, telak menggambarkan keadaan jiwa/mood, sesuatu yang akrab dengan puisi (sastra). Di ranah ini, bahasa memang kerap bernalar metaforik dengan daya imajinatifnya yang besar.

Sedang fungsi bahasa yang kedua, adalah yang identik dengan filsafat. Dari sudut pandang empiris (filsafat) misalnya, segala pernyataan mestilah harus dapat diverifikasi kebenarannya lewat pengalaman; dalam arti kebenaran dari pernyataan itu mesti dapat diuji dengan pengalaman. Di sini, ungkapan kata itu biasa dinamai proposisi (statement). Dengan syarat membawa ungkapan yang mesti logis. Jika tak terpenuhi, sama halnya melanggar bukti empiris atau aturan-aturan ketat dalam logika sintaksis. Jadilah bahasa dalam filsafat dibuat seolah menjadi semata bernalar empirik dengan daya mereduksi yang terasa semakin akut.

Namun, adakalanya ”kebenaran” dalam puisi justru diperoleh dari pengalaman dan sensasi indrawi, sebagaimana dilakukan filsafat. Tapi tujuan puisi bukan ketepatan atau kebenaran ojektif, melainkan subjektivitas, pluralitas rasa (menemukan cara yang dapat diterima oleh semua), serta ketakterdugaan. Berbeda dengan empirisme dan rasionalisme (filsafat) yang melakukannya lewat pengamatan (rumusan) dan logika (organisasi pikiran) untuk tujuan yang semata logis. Puncak dari rasionalisme kelak adalah idealis dengan sistem menalarnya yang semakin ketat, meninggalkan laku positivis. Puisi (sastra) kerap melakukan sejumlah abstraksi–tepatnya mendayakan inspirasi–melalui intuisi. Sesuatu yang sangat tak bi(a)sa dilakukan filsafat, karena filsafat melakukannya lewat logika atau rasio.

Sebagaimana ketika ada pernyataan-pernyataan metafisika sebagai bagian dari ekspresi bahasa, kerap tak mampu diverifikasi filsafat: di mana kebenarannya juga tak begitu saja dapat diuji dengan nyali pengalaman atau kekuatan struktural bahasa. Meski daerah ini sesekali masih disentuh metafisika (filsafat).

Namun, intuisi malah kerap dihidupi puisi, sering menjadi bagian dari pengetahuan langsung yang –meski mulanya hasil dari persepsi indrawi atau juga pemikiran sadar (rasio)–dapat menjembatani dunia imajinasi untuk menemukan, kemudian membiakkan pengetahuan-pengetahuan baru dengan daya bayang dan jelajahnya yang nyaris tak terbatas.

Lalu sejauh mana hubungan, setidaknya kaitan, antara intuisi (pengetahuan umum) dan imajinasi (puisi, sastra), untuk membedakannya dengan rasio dan juga indra empirik. Sartre pernah berkata, imaji sangat ditentukan oleh intensinya. Karenanya, kita akan menguji seberapa jauh imaji menyerap realita untuk–setidaknya dihipotesiskan alias dijadikan pengetahuan sementara. Pada waktu intensi itu mula-mula diambil, sesaat setelah intensi itu baru muncul dari laku yang spontan, kata Sartre, intensi tersebut sudah mengimplikasikan sebuah pengetahun tertentu.

Lebih jauh, di dalam kesadaran imajinatif, katakanlah dalam hal ciri pengetahuan dan intensi, kata Sartre, dapat dibedakan dengan abstraksi. Bahkan, katanya, pengetahuan merupakan struktur aktif sebuah imaji. Jadi, pengetahuan bukan sesuatu yang ditambahkan pada imaji yang sudah terbentuk, untuk mengklarifikasi imaji. Meski juga sebuah imajinasi tak dapat eksis tanpa pengetahuan yang membentuknya.

Barangkali saja sebuah imaji memang semacam daya atau modus susastra individual: pemberian suatu sensasi–bukan hanya representasi–kepada apa yang dipikirkan pada sebuah benda, entitas atau objek yang dipandang.
Daya imajinasi–dengan mengambil Al-Farabi dalam Mabâdi Arâ Ahl al-Madînah al-Fâdlilah (Khudori Soleh, 2010)–sesungguhnya adalah perantara bagi akal dan juga objek-objek rasional yang bersifat potensial untuk dibuat menjadi akal/intelek serta objek yang aktual dalam daya pikir kita. Daya pikir kita sendiri mulanya memperoleh pengetahuan, secara tak langsung, dari ”intelek aktif”, yang dipengantari atau dirangsang sebelumnya oleh imajinasi. Di sini, daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah), masih kata Al-Farabi, menerima aktualisasinya dari intelek aktif yang kemudian mentransmisikannya kepada daya pikir, baik dalam bentuk praktis maupun teoretis.

Ini mirip analogi matahari yang memberi penyinaran pada mata yang menyebabkan mata menjadi penglihatan yang aktual, dari keadaan sebelumnya yang bersifat potensial sehingga objek-objek yang berpotensi untuk dilihat mata pun menjadi tampak.

Matahari adalah gambaran dari intelek aktif, sedang mata gambaran bagi intelek potensial. Melalui intelek aktif inilah sesungguhnya imajinasi dengan salah satu domainnya, yakni puisi, justru kerap membangunkan kembali potensi pemikiran-pemikiran filosofis yang seolah telah buntu dan beku itu, untuk satu langkah (di) awal, menjadi berdenyut kembali.

Lalu bagaimana filsafat dan sastra memperlakukan bahasa? Mulanya filsafat, menawarkan atau mendekati bahasa lebih ke langage daripada ke langue-nya–untuk meminjam de Saussure–karena unsur logika (langage) dan aspek struktur serta sistemiknya. Adapun sastra membuatnya jadi relatif (langue), bahkan melampauinya (parole) dengan imajinasi dan unsur poetika. Justru relativitas itu membuat sastra lebih terbuka lagi persuasif untuk tujuan melunakkan bahasa dan eksperimentasi. Sebab, seperti kata Octavio Paz, takdir penyair mestinya adalah untuk menjebol kata-kata dari kungkungan bahasa keseharian dan membawanya menuju kelahiran puisi. Dengan menciptakan semacam dialog atau medan komunikasi baru, yang berpeluang melawan bahasa keseharian.

Di posisi inilah, puisi, meminjam kata-kata Paz, melompat dari yang dikenali menuju yang belum dikenali. Sementara kolonialisme gramatika dan penjajahan bahasa sehari-hari seperti yang kita saksikan banyak dipraktikkan dalam filsafat, membuat ungkapan puitik (disinyalir) tak lagi diakrabi atau mati suri.

Puisi memilih dan mengambil bentuknya sendiri yang spesifik, seolah menjauh dari semua bentuk-bentuk bahasa yang akrab dengan konsensus serta yang (pernah) kita temui dalam percakapan sehari-hari. Belum lagi, puisi akan selalu berubah ke dalam pertimbangan-pertimbangan dan tuntutan selera (taste) dan estetika zamannya. Maka, bisa jadi juga puisi yang baik adalah–bukan yang takluk pada pertimbangan, penilaian, dan tuntutan zaman–melainkan yang mampu bertahan dari tuntutan dan watak zaman yang terus berubah dan berhasrat menggeser selera bentuk dan isinya itu.

Puisi seperti itu pun kita tak tahu bisa dikategorikan seperti apa. Barangkali memang tak pernah bisa diringkus oleh rantai "pembakuan”. Mungkin karena itu jugalah kenapa Paz berkata: ”....puisi selalu sedikit, kendati banyak...” Suatu hal yang sinkron dengan ikhtiar atau pendapat Pere Gimferrer juga dalam konteks perpuisian modern (dalam Oktavio Paz, The Other Voice: 114): ”ketetapan hatinya untuk terus menjadi sebuah seni bagi minoritas.”

Kini sastra barangkali bukan lagi sebuah arcane knowledge “pengetahuan yang tak banyak orang tahu”, atau pengetahuan yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu atau bersifat elitis, dan cenderung terisolasi. Tapi telah menjadi produksi sekaligus konsumsi publik, bahkan secara masal. Adapun filsafat di abad modern ini dianggap purna. Kalau mau hidup kajian ini perlu masuk ke dalam tubuh kajian lain. Dalam arti, pada dirinya sendiri filsafat telah tak bernyali.

Kehidupan baru filsafat ada pada interdisipliner, kata Verhaar: sebuah jalan yang juga pernah diistilahkannya sebagai ”deprofesionalisasi” filsafat. Di lain pihak, tugas-tugas yang dulu banyak ditanggung atau diemban filsafat, kini juga sering dikerjakan–salah satunya–oleh sastra. Pun sejumlah filsuf akademik, di antaranya seperti Foucault, Derrida, Barthes, Richard Rorty dan masih banyak lagi, sejak lama juga melakukan deprofesionalisasi filsafat (St. Sunardi, 2012). Dari situlah Verhaar yakin bahwa filsafat sudah tua dan uzur. Yang tertinggal hanya fungsinya yang telah diambil, di antaranya, oleh sastra (dengan salah satu variannya, puisi). Namun filsafat berakhir bukan berarti ia lenyap, akan tetapi karena kegiatannya seolah mengalir kembali ke muasalnya. Karena dulunya filsafat hidup dalam berbagai bidang disiplin ilmu dan pengetahuan itu. Barangkali sebab itulah kegiatan berfilsafat hari ini tak lagi harus dilakukan seorang filsuf, tapi juga oleh sastrawan, penyair, dan sejenis mereka yang lain, hanya agar jantung filsafat terus berdetak.

Misbahus Surur, menulis esai dan sesekali puisi, staf pengajar di Fakultas Humaniora UIN Maliki, Malang

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 September 2013

[Buku] Sang Utusan dan Keteladanan

Data buku:
Muslim Pertama: Melihat
Muhammad Lebih Dekat

Lesley Hazleton
Penerjemah: Adi Toha
Pustaka Alvabet
2013
384 halaman
KITA tak pernah selesai mengagumi Muhammad, “muslim pertama”, utusan pembawa terang bagi dunia. Buku-buku biografi Muhammad terus ditulis, dari zaman ke zaman, mengajak umat meneladani dan mengerti pelbagai hal dalam kehidupan Muhammad. Para penulis biografi Muhammad tak kehabisan perspektif, berkehendak mengisahkan secara utuh meski sulit terpenuhi.
Kita telah mendapati keberlimpahan buku biografi Muhammad dalam edisi bahasa Indonesia, dari Martin Lings sampai Karen Amstrong. Buku-buku itu membuktikan keinginan umat untuk mengetahui sisi-sisi kehidupan Muhammad tak pernah selesai, berkelanjutan dan tak habis menimbulkan kekaguman.

Kita sebagai muslim memerlukan mengetahui biografi Muhammad berpijak ke penguatan iman. Dalil ini berbeda dengan opini Barat selama sekian abad. Publik di Amerika dan Eropa masih memiliki stigmatisasi atas Muhammad, memberi tuduhan-tuguhan keji dan merendahkan. Stigmatisasi itu ditandingi oleh para pengamat Islam dan penulis biografi Muhammad asal Eropa. Kita dapati Karen Amstrong melalui buku berjudul Muhammad: A Biography of the Prophet berikhtiar menjernihkan pandangan publik Barat. Keinginan memberi penjelasan utuh dan bening tentang ketokohan Muhammad pun dikerjakan oleh Lesley Hazleton dengan penerbitan buku Muslim Pertama: Melihat Muhammad Lebih Dekat. Buku ini mendapati komentar-komentar simpatik di pelbagai media di Amerika Serikat dan Eropa.

Narasi-narasi dari Lesley Hazleton, jurnalis asal Timur Tengah, terasa memikat dan runtut. Kita bisa simak melalui penjelasan tentang Muhammad saat di Gua Hira. Peristiwa permenungan atau pengasingan Muhammad di Gua Hira dianggap awal dari ejawantah takdir. Muhammad mengalami peristiwa menakjubkan, kedatangan Jibril dengan membawa firman-firman Allah. Umat Islam mengenal peristiwa itu dengan ungkapan lailatulkadar, malam memukau ketimbang seribu bulan. Peristiwa itu terus memengaruhi kehidupan umat sampai masa sekarang, membuktikan sejarah tak sirna dalam menghubungkan iman dengan pengalaman Muhammad, empat belas abad silam.

Pembaca bakal merasakan empati-empati saat membaca peristiwa-peristiwa Muhammad, dari kesedihan sampai kebahagiaan. Kehidupan di masa bocah bergelimang penderitaan dan cobaan, membentuk Muhammad sebagai pribadi tangguh dan ulet. Pembentukan identitas berlatar Arab menimbulkan perdebatan, mengondisikan Muhammad untuk memilih jalan benar dan jalan lurus meski bertentangan dengan tradisi. Muhammad tampil sebagai tokoh teladan, ditempa oleh represi, penghinaan, pengucilan dari pelbagai pihak. Pelbagai tanggapan atas misi Muhammad tak menghasilkan putus asa. Muhammad justru mewartakan kebenaran-kebenaran dengan ikhlas, ketabahan, keteguhan. Monotheisme diserukan untuk mengubah peradaban di dunia, berkonsekuensi penentangan sengit berdalih iman, politik, ekonomi, sosial, kultural.

Momentum pernikahan Muhammad dengan Khadijah menebar pengaruh besar dalam agenda-agenda transformatif di Arab. Reputasi Muhammad mendapat pengakuan, teruji oleh sangkalan atau pujian. Peristiwa di Gua Hira berlangsung saat Muhammad telah mencecap kepelikan hidup bersama Khadijah. Muhammad bersegera mendakwahkan Islam, menghampiri publik dengan firman-firman Tuhan. Orang-orang memberi tuduhan beragam. Muhammad dianggap pujangga, penyihir, penganut ajaran sesat. Muhammad mafhum segala konsekuensi, berdakwah terus tanpa gentar. Lesley Hazleton menuliskan peristiwa itu secara puitik: “Apa yang sudah diembuskan kepadanya di atas pegunungan kini diembuskan keluar, untuk mendapatkan tempatnya di dunia.” Suara di Gua Hira menjelma kata-kata untuk didengar umat manusia. Islam pun perlahan mengubah sejarah dunia, memberi terang tak pernah redup.

Muhammad berperan sebagai utusan. Lesley Hazleton membahasakan bahwa Muhammad sebagai sang utusan atau sang nabi adalah manusia dengan tuntunan-tuntunan dari Allah dalam pelbagai aspek kehidupan. Peran selaku utusan memang sulit mengelak dari cobaan-cobaan. Misi mengajak orang-orang memeluk Islam, mengakui keesaan Allah tak berlangsung mulus. Perlawanan dari penduduk Mekah dan perang-perang membuktikan bahwa iman adalah urusan fundamental. Biografi Muhammad pun mulai berkaitan dengan agama, politik, sosial, ekonomi, pendidikan. Sejarah agama adalah antologi dari pelbagai situasi dan tokoh. Muhammad menjalani masa-masa sulit untuk mendapati hikmah, menebar pesan-pesan perdamaian dan toleransi meski sering disalahartikan. Sosok Muhammad semakin menjadi pusat dari proses transformasi di Arab, berlanjut memengaruhi sejarah agama dan peradaban di pelbagai negeri.

Kebermaknaan buku ini semakin terasa saat kita membaca selama Ramadan. Biografi Muhammad adalah pengingat iman dan kesadaran sejarah untuk menilik fragmen-fragmen kehidupan sang nabi di masa silam, direfleksikan di masa sekarang tanpa kejemuan. Ikhtiar revolusioner Muhammad telah mengubah kehidupan umat manusia, mengusung perubahan-perubahan ke terang peradaban. Islam telah tersebar, merambah ke pelbagai negeri, selama puluhan abad. Muhammad terus menjadi keteladanan, menggerakkan iman meresap ke umat manusia. Abad XXI, pesan dan misi itu terus tersampaikan. Buku ini menjadi bagian dari penghormatan atas Muhammad dan rujukan mengontekstualisasikan sejarah ke situasi mutakhir.

Lesley Hazletyon menjelaskan bahwa setiap saat dalam kehidupan Muhammad dipenuhi makna, menggerakkan umat untuk menjadikan Muhammad sebagai referensi dalam memenuhi ajaran-ajaran dalam Islam. Kebermaknaan Muhammad, perkataan dan tindakan, tak bakal sirna. Kita selalu takjub tak berkesudahan, meneladani Muhammad dalam pelbagai aspek kehidupan. Begitu.

Bandung Mawardi, pengelola Jagat Abjad Solo

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 September 2013

[Jendela Buku] Memapah Cinta Yang Bertepi

CERAH Ceria sebuah nama unik yang sesuai dengan karakter pemiliknya dalam buku Sun(ny) karangan Achi TM. Cerah ialah gadis periang yang hanya punya satu impian,yakni melihat biru. Cerah adalahgadis yang memiliki kekurangan,yakni buta parsial warna biru. Ia selalu melihat warna biru sebagai warna hijau gradasi. Kekurangannya itu kerap menimbulkan kesulitan baginya, seperti saat melamar pekerjaan. Namun sesuai namanya, ia tetap ceria.

Di buku setebal 474 halaman dan diterbitkan Penerbit Andi ini, pembaca menemukan beragam konfl ik yang dihadapi gadis itu. Namun, dengan segala problemanya, gadis itu akan selalu tertawa. Dengan kekurangan yang ia punya, Cerah tak pernah mendung.

Seperti cerita cinta lainnya, novel Sun(ny) ialah serial kedua dari trilogi C l o u d ( y )karya penulis muda Achi TM. Benang merah dari trilogi ini ialah tentang seorang perempuan yang tidak sengaja bertemu lelaki di sebuah tempat, dan secara tak kebetulan, Cerah kerap jatuh hati kepada lelaki yang sudah memiliki pasangan.

Cerita yang sebetulnya sederhana itu diramu dan disajikan Achi secara menarik lewat plot-plot cerita yang tidak statis. Lelaki itu adalah Biru Matahari, sosok yang dikenal Cerah tanpa sengaja ketika merantau ke Jakarta untuk belajar menulis kepada penulis favoritnya.

Biru jugalah yang membantu gadis itu melihat warna 'biru' dengan cara sederhana. Namun, Biru sudah memiliki Krisan. Biru untuk Krisan, begitu juga sebaliknya. Tak terpisahkan.

Remuk redamlah hati Cerah. Namun, keramahan hati Krisan mampu melunturkan hari Cerah dan menenggelamkan perasaannya. Bahkan Krisan menjadikan Cerah asisten sekaligus sahabat baiknya.

Kisah cinta memang selalu memiliki dua sisi, bisa berakhir cerah dan bahagia atau justru terpuruk hingga lebam membiru penuh luka. Untuk pembaca yang kerap lebam membiru karena cinta, sosok Cerah bisa jadi inspirasi. Ia tetap riang dan optimis, apa pun kondisinya ketika memapah cinta.

Secercah harapan akan cinta Cerah kepada Biru sempat menyeruak kala Krisan pergi untuk selamanya. Biru pun terpuruk. Namun, Cerah hadir menyinari kegalauan dan keterpurukan Biru, bak matahari yang menyinari bumi tanpa pamrih. Seperti itulah cinta Cerah kepada Biru.

Penuh penantian

Sekilas, pembaca akan menyimpulkan bahwa Biru akan menemukan sosok pengganti Krisan pada diri Cerah. Namun, Achi tidak membuat sesederhana itu. Ternyata, sosok Krisan ˜kembali" dalam wujud yang berbeda, yakni Kristi. Penantian Cerah pun seakan tiada bertepi. Lalu bagaimana akhir cerita Cerah setelah sekian lama memapah cintanya? Tidak terlalu sulit untuk menebaknya.

Secara umum, buku ini sangat khas perempuan, dimulai dari alur cerita hingga konfliknya yang bisa dibilang minim. Buku ini cocok bagi perempuan muda yang hendak mencari inspirasi kala dirudung
kegelisahan.

Reni Eriana, Managing Editor Story Teenlit Magazine, menulis pendapatnya di buku ini. "Tokoh-tokoh di dalamnya begitu hidup
dan mewakili pembaca. Karena cinta bisa rumit di dalamnya ketika
ada banyak konfl ik dan intrik. Meskipun cinta tetap saja indah", tulisnya.

Achi TM adalah seorang perempuan muda yang sejak di bangku
sekolah dasar bercita-cita menjadi penulis. Di awal kariernya, cerpencerpen remajanya banyak dimuat di Kawanku, Gadis, Keren Beken,
Go-Girl, Etnix Magazine, Story Magazine, dan OLGA, koran lokal Banten,
serta majalah Sekar.

Cerpennya juga pernah tergabung dalam antologi cerpen Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) berjudul Kupu-Kupu dan Tambuli (2006) serta antologi cerpen Kolase-Pernik Kehidupan (Rumah Pena, 2010), dan Kolase Dari Balik Jendela. Selain menulis cerpen, Achi TM juga sudah menghasilkan sejumlah novel, seperti Himitsu (QultumMedia, 2007), Quly-Girl (Media Pressindo, 2007), Bisikan Sahabat (Cupid, 2008), Penaku Sebintang (Ganexa Exact, 2007), Wo Ai Ni-Jangan Ekspor Cintaku (Bukune, 2009) dan Chaos Chambell (Gradien Mediatama, 2010). Ia juga aktif menulis skenario sinetron dan FTV di stasiun swasta.

Latar belakangnya sebagai penulis skenario membuat banyak tulisannya sekilas mirip cerita si net ron.

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 29 September 2013

[Jendela Buku] Titik Balik Kehidupan Bima Arya

MUNGKIN tidak semua orang mengenal Bima Arya. Namun bisa dipastikan, semua orang belajar dengan banyak cara, termasuk dari pengalaman hidup orang lain. Titik Balik Bima Arya bisa menjadi salah satu buku yang memungkinkan kita belajar dari pengalaman hidup orang lain. Belajar menjadi lebih peka terhadap perubahan-perubahan hidup yang menjadi titik balik perubahan.

Mengapa judulnya Titik Balik? Penulisnya, Fenty Effendy, mengatakan setiap orang pasti akan dihadapkan kepada pilihan-pilihan hidup. Itu berlaku pada Bima Arya, anak gaul yang merayakan ulang tahun ke-17 dengan jas dan dasi kupu-kupu, yang dari SMA sudah menyetir mobil sendiri, kuliah dengan rambut gondrong dan memakai anting, serta termasuk beruntung mencicipi liburan ke luar negeri.

Dalam buku yang diterbitkan Gramedia berjudul Titik Balik Bima Arya itu, sejumlah tokoh hadir memberi testimoni tentang Bima Arya sebagai tokoh muda Indonesia yang inspiratif, cerdas, dan bersih.

Mendengar kisah Bima Arya, Fenty yang sudah melahirkan beberapa buku bernuansa biografi langsung melihat titik balik yang mengubah jalan hidup dan pemikiran Bima Arya.

Titik balik pertama terjadi ketika usia Bima Arya mendekati ulang tahun yang ke-25. Ayahnya, Brigjen Toni Su­giarto, meninggal karena kanker. Uang terkuras untuk biaya berobat dan kuliah S-2 Arya Bima di Melbourne terancam gagal. Ketika itu ayahnya berpesan, “Apa pun yang terjadi, kamu harus jadi doktor di umur 30.” Nah...!

Titik balik kedua dimulai ketika Bima ikut mendirikan PAN di Bandung pada 1999. Saat ditawari kursi sekretaris, dia menolak. Karena tidak sepakat dengan kebijakan Amien Rais, ia memilih nonaktif dan fokus mengajar.

Titik balik ketiga terjadi setelah ia meraih gelar doktor dari Australia National University dan populer sebagai pengamat politik. Pada saat itu muncul pertanyaan, “Popularitas itu untuk apa?”

Kontemplasinya menghasilkan jawaban seperti ini, “Ada hal-hal yang tidak bisa kita dapatkan ketika kita menikmati karier dan popularitas sebagai pengamat, yaitu kawah candradimuka sebagai seorang pemimpin. Saya ingin merasakan bagaimana susahnya menyelesaikan persoalan. Saya ingin merasakan nikmatnya difitnah oleh orang, terhadap apa yang tidak pernah kita lakukan. Saya ingin merasakan dihujat, dikritik, dan diserang oleh banyak orang, terhadap hal-hal yang barangkali kita lakukan atau tidak kita lakukan.” (hlm 222-223).

Titik balik keempat terjadi ketika muncul berbagai persoalan di partai. Arya sempat berpikir ingin keluar, tidak mau lagi menggeluti dunia politik. Semangatnya kembali terdongkrak ketika ia teringat doa yang dibisikkan ayahnya, A Father’s Prayer, dari Jenderal Douglas McArthur-–pemimpin pasukan AS yang disegani di masa Perang Dunia II.

Begini kira-kira terjemahan bebasnya. “Tuhanku, aku mohon agar putraku jangan dibimbing di jalan yang mudah dan lunak, tetapi di bawah tekanan dan desakan, kesulitan dan tantangan. Didiklah putraku supaya teguh berdiri di atas badai serta berbelas kasih­an terhadap mereka yang gagal.

Bentuklah putraku supaya menjadi manusia yang berhati jernih, yang cita-citanya tinggi. Putra yang sanggup memimpin dirinya sendiri sebelum berhasrat memimpin orang lain.”

Buku itu melibatkan beberapa narasumber mulai para sahabat sampai para tokoh seperti pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais, Anies Baswedan, Dikdik Maulana, Hatta Rajasa, Najwa Shihab, Pandji Pragiwaksono, Prof V Bob Soegoeng Hadiwinata, Udjo Project Pop, Velix V Wanggai, dan Wanda Hamidah.

Fenty Effendi menjelaskan menuliskan sosok seorang tokoh dengan gaya bertutur ‘saya’ merupakan tantangan tersendiri.

“Kepercayaan diri bisa membuat seorang seseorang berlebihan dalam menceritakan sesuatu. Sebaliknya, kesungkanan sang tokoh menonjolkan diri akan mengaburkan pencapaian-pencapaiannya.”

Maka, Bima Arya pun akhirnya menyimpulkan, tidak ada orang yang besar tanpa cobaan, tanpa rintangan, tanpa masalah. "Anak muda, temukan 'titik balik' kalian." Itulah pesan Bima Arya dalam bukunya. (Lin/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 29 September 2013

[Jeda] Cagar Budaya

Jenis-Jenis Cagar Budaya :

Benda

Berupa benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

Struktur

Berupa susunan terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.

Bangunan

Berupa susunan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.

Situs

Berupa susunan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.

Kawasan

Berupa satuan ruang geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

Persyaratan memiliki dan/atau menguasai benda, bangunan, struktur, dan/atau situs cagar budaya:

. Tetap memperhatikan fungsi sosial sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang.

. Telah memenuhi kebutuhan negara.

. Diperoleh melalui pewarisan.

. Berupa hibah, tukar-menukar, hadiah, pembelian, dan/atau putusan atau penetapan pengadilan, kecuali yang dikuasai negara.

. Tidak menyerahkannya kepada orang lain berdasarkan wasiat, hibah, atau hadiah setelah pemiliknya meninggal, kepemilikannya diambil alih oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 14:

(1) Warga negara asing dan/atau badan hukum asing tidak dapat memiliki dan/atau menguasai cagar budaya, kecuali warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang tinggal dan menetap di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(2) Warga negara asing dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang membawa cagar budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, ke luar wilayah Indonesia.

Sumber: Undang-undang No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya

Pencurian Benda Cagar Budaya di Indonesia

Oktober 1999

Kepala arca makara yang disimpan di Museum Airlangga, Kediri, Jawa Timur, dicuri.

Desember 1999

Arca Dorga yang berada di kompleks Candi Bogok, Desa Pondokagung, Kecamatan Kasembon, Kabupaten Malang, hilang.

Desember 1999

Sebanyak 13 dari 14 arca di kompleks pemandian Ken Dedes di Desa Watugede, Kabupaten Malang, raib.

April 2000

Porselen antik peninggalan Dinasti Ming dan Chong yang tenggelam di perairan Maluku berupa guci dan piring digasak dari tempat penyimpanannya di gudang Pemda Kabupaten Halmahera Tengah.

Januari 2001

. Relief candi di kompleks Candi Wayang, di Gunung Arjuna, Kabupaten Pasuruan, hilang.

. Terjadi percobaan pencurian arca Dwaraphala Candi Jajaghu (Jago), Kabupaten Malang.

November 2007

Lima arca koleksi Museum Radyapustaka Surakarta, Jawa Tengah, dicuri dan dipalsukan dengan arca yang baru untuk mengelabui.

Agustus 2010

Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, kehilangan benda bersejarah berupa 75 koleksi emas abad VIII dan X seperti kalung, liontin, arca, dan topeng emas.

Juni 2011

Mata tombak kuno lapis emas yang tersimpan di Museum Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, dilaporkan hilang.

Agustus 2011

Enam wayang purwa putren koleksi Museum Radya Pustaka, Surakarta, Jawa Tengah, dicuri dan dipalsukan.

11 September 2013

Empat artefak emas peninggalan Kerajaan Mataram Kuno abad X-XI yang disimpan di Museum Nasional, Jakarta, dicuri.

Sumber: Tim MI

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 29 September 2013

[Jeda] Aturan yang tidak Jelas

INDONESIA memiliki Undang-Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Namun, di mata budayawan Arswendo Atmowiloto peraturan itu kurang rinci. Pasalnya, klasifikasi barang yang dilindungi negara menjadi tidak rinci. Misalnya, barang yang berusia lebih dari 50 tahun dinilai memiliki nilai sejarah yang tinggi sehingga pembeli dan penjualnya harus mendapatkan izin, tapi pelaksanaannya menjadi sulit karena aturannya kurang spesifik.

"Pada kenyataannya peraturannya terlalu meluas, kurang spesifik. Sehingga operasional menjadi kurang dan dalam pelaksanaan menjadi sulit diawasi," ungkap Arswendo kepada Media Indonesia di Jakarta, kemarin.

Alhasil, benda-benda bersejarah dan dilindungi negara kerap jatuh ke tangan kolektor nakal melalui jalur ilegal. Tak hanya itu, pemerintah dan masyarakat dinilai belum memiliki kesadaran akan benda warisan.

Contohnya, masyarakat yang mempereteli keraton-keraton, arca-arca candi di Indonesia dan menjualnya keluar negeri. Adapun upaya mengembalikan benda bersejarah kembali ke Tanah Air belum optimal termasuk pelindungannya di dalam negeri.

"Pemerintah melindungi yang ada di dalam (Indonesia) aja susah, apalagi mau mengembalikan barang heritage Indonesia yang ada di luar. Lindungi dulu yang di dalam, lewat penjagaannya, perawat, dan kuratornya," katanya.

Lebih lanjut, Arswendo menilai para kolektor lebih menghargai benda bersejarah dan memberi harga yang tinggi akan benda-benda antik dan bersejarah.

Selain mahakarya

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan berdasarkan UU NO 11 Tahun 2010, masyarakat bias memiliki benda bersejarah, kecuali masterpiece yang harus dilindungi negara. Selain itu, benda itu hanya boleh dimiliki selama masih di Indonesia.

Pasalnya, dalam UU tersebut ada larangan dibawa ke luar negeri, kecuali mendapatkan izin pemerintah untuk pameran dan penelitian dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, masyarakat Indonesia diperbolehkan mengoleksi benda bersejarah dari luar negeri secara legal, misalnya melalui balai lelang resmi. Karena itu, setiap barang yang melalui lelang telah memiliki surat tesmu dan tidak dilindungi negara.

Prinsipnya setiap orang dilarang mencari cagar budaya di Indonesia, kecuali pemerintah. Masyarakat yang tidak sengaja menemukan benda bersejarah diharuskan melapor ke polisi atau kantor dinas terkait.

Biasanya, penemu benda bersejarah akan menerima imbalan atas temuannya. Para kolektor yang ingin membuat museum di Indonesia akan dibebaskan, selama memiliki sumber daya manusia, dana, lokasi, dan bangunan. Bentuk badan usahanya pun berupa yayasan yang memiliki dana tetap untuk melindungi pemeliharaan dan keberadaan benda-benda itu di masa yang akan datang.

Peraturan pemerintah tentang permuseuman seharusnya sudah disahkan selambat-lambatnya setahun setelah UU Cagar Budaya. Sayangnya hingga kini masih tak kunjung disahkan. Hal inilah yang membuat keseriusan pemerintah untuk melindungi cagar budaya dipertanyakan. (Sky/M-5)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 29 September 2013

[Jeda] Kembali Ke Tanah Air

-- Siska Nurfiah

DARI luar pendapa khas Jawa itu tampak biasa saja. Sebuah meja kayu low boy buatan Inggris abad ke-18 menyambut kedatangan kami ke pendapa itu. Namun, jangan salah, bangunan itu merupakan museum yang menyimpan ribuan benda bersejarah.

Museum di Tengah Kebun, begitu Sjahrial Djalil, sang pemilik menyebutnya. Museum yang didirikan pada 2009 itu terletak di lahan seluas 4.200 meter persegi di Kemang Timur Raya, Jakarta Selatan, dengan 3.500 meter perseginya adalah kebun.

Selama 42 tahun, pria berusia 76 tahun itu mengumpukan 2.481 benda bersejarah. Bahkan bila dihitung dapat melebihi 4.000 jenis dari 63 negara dan 21 provinsi.

"Ia 26 kali mengelilingi bumi, untuk mengejar beragam barang bersejarah tersebut. Mulai benda zaman Triassik, Jurasic, hingga peradaban abad 20-an," ungkap Mirza Djalil, 51, keponakan Sjahrial yang mengantar Media Indonesia berkeliling.

Mengembalikan ke Tanah Air

Sekitar 80% koleksinya dari luar negeri. Namun, banyak juga barang warisan Indonesia yang bernilai tinggi di luar negeri. Misalnya, arca Bodhisatwa Wajrapani, dari Magelang dari abad ke-10 yang ada di Sidney Australia. Untuk memulangkannya, pria berdarah Bukit Tinggi, Sumatra, kelahiran Pekalongan, itu menukarnya dengan apartemen miliknya di Sidney. Termasuk pecahan arca asal Klaten yang ada di Belanda, ia pulangkan dengan merogoh kocek cukup besar.

"Ia begitu sedih karena tidak pernah menemui orang Indonesia di balai lelang Christie, tempat benda bersejarah ini banyak berasal. Karena salah satu misi bapak (Sjahrial) dalam hidupnya adalah ingin mengembalikan barang-barang heritage Indonesia kembali pulang ke Tanah Air," ungkap Mirza.

Penyuka benda sejarah itu, kata Mirza, banyak berburu barang melalui lelang Christie di berbagai negara. Lelang dipilihnya karena memiliki keaslian sertifikat dan setiap barang didampingi dua tim dari sejarah dan artefak untuk memverifikasi, serta memiliki catatan pemilik sebelumnya.

Dalam lelang, Sjahrial bersaing dengan pengusaha dari Abu Dhabi dan museum-museum di luar negeri. Beberapa koleksinya pun memiliki kembaran di beberapa museum besar di dunia, seperti Amerika Serikat dan Inggris.

Tak pelak, beberapa ahli waris menginginkan kembali barang mereka. Misalnya, keturunan Kaisar Wilhelm I (Jerman), yang menginginkan lukisan nenek moyangnya untuk dikembalikan. Hanya, Sjahrial menolaknya.

Namun tak jarang, Sjahrial tidak sengaja menemukan benda bersejarah saat ia berdinas ke berbagai daerah dan negara. Misalnya, arca Wisnu abad ke-10 yang ia temukan setengah terkubur di Jawa Tengah. Akan tetapi, semua benda itu ia konsultasikan keasliannya ke ahli sejarah dan artefak Indonesia dari Museum Nasional.

Yang menarik dari museum ini ialah tata letak barang bersejarah. Kebanyakan diletakkan seperti perabotan rumah. Bahkan pengunjung bebas memasuki ruang tidurnya yang penuh benda bersejarah, salah satunya lukisan Picasso. Namun, ada ruangan khusus untuk menyimpan benda berharga.

Untuk mengamankannya, museum itu memiliki lebih dari 10 kamera CCTV, dan jumlah pengunjung hanya dibatasi 7-12 orang saja, pada Rabu-Kamis dan Sabtu-Minggu.

"Makanya, sangat disayangkan pula saat saya mendengar ada barang bersejarah yang hilang di museum. Karena benda ini begitu bernilai, bukan nominalnya, tapi nilai historis yang begitu berharga," imbuhnya.

Koleksi daerah

Berbeda dengan Museum di Tengah Kebun, Museum Siwalima di Ambon, Maluku, mengutamakan koleksi khas Ambon. Misalnya, sejumlah patung dan aksesoris dari kayu yang berusia ratusan tahun. Bahkan di salah satu sisi museum terdapat koleksi mas kawin dari salah satu kepala suku di Ambon, berupa gading gajah dan gelang.

Jantje Leasa, selaku koordinator konservasi museum, mengaku terdapat 5.000 koleksi museum itu didatangkan dari suku-suku yang ada di kota musik itu. "Kita meminta kepada setiap suku untuk menyerahkan beberapa item bersejarah mereka untuk koleksi," ujar Jantje.

Museum Siwalima terletak di Taman Makmur, Desa Amahusu, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, Propinsi Maluku. Terdapat dua bangunan di kawasan itu, bangunan satu disebut museum kelautan Siwalima, yakni tempat menyimpan sejarah kelautan masyarakat Ambon, benda-benda, dan binatang laut. Koleksi terbesar di sana ialah tiga kerangka ikan paus dengan panjang 9 meter, 17 meter, dan 19 meter.

Akan halnya di bangunan dua disebut museum budaya Siwalima. Bangunan dua tingkat itu berisi replika bangunan asli Maluku, pakaian adat, perlengkapan upacara, dan lainnya.

Jantje mengklaim mereka sudah mengoleksi semua warisan yang ada di Ambon, kecuali beberapa yang berada di luar negeri. "Kebanyakan dibawa keluar negeri, apalagi di Belanda. Di sana koleksinya lengkap dan lebih baik kondisinya dibandingkan di sini," ujarnya.

Selain itu, Jantje menyayangkan sampai saat ini pemerintah tidak memiliki aturan untuk menarik benda bersejarah yang dimiliki perorangan. "Sampai saat ini cuma ada aturan melarang barang dibawa ke luar negeri. Belum ada aturan menarik barang bersejarah dari orang per orang," tutupanya. (M-5)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 29 September 2013

[Jeda] Para Kolektor Sejarah

SERAGAM dinas angkatan darat Jerman (Nazy), ponco pasukan SS Jerman, helm, rompi, dan perangkat Perang Dunia II lainnya dipajang oleh Permadi Arya, 37,dan Andi Widjaja, 43, di teras rumah Permadi di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (26/9) siang. Di antara koleksinya itu ada dua set seragam Jerman asli yang dikenakan tentara 70 tahun silam.

Permadi mengaku membeli koleksinya dari kolektor benda bersejarah di forum daring khusus kolektor seragam army. “Beli dari kolektor karena kemungkinan ditipu lebih kecil daripada beli dari diler barang antik yang kadang ‘nakal’,” ujar karyawan perusahaan fi nansial itu.

Berbeda dengan Permadi yang menyukai seragam Jerman,Andi memiliki koleksi 150 set seragam pasukan Perang Dunia II Amerika Serikat di Bandung dan 300 item di rumahnya di Slipi. Meski barang yang dibeli tidak memiliki sertifikat dan verifi kasi tertentu, kedua pecinta sejarah itu tahu cara membedakannya. Terdapat buku khusus untuk membedakan seragam tentara klasik, misalnya berdasarkan jenis dan usia kain.

Ada beberapa kategori seragam. Sebut saja seragam untouch, yang tak boleh diapa-apakan dan dibiarkan asli,terkadang ada bercak darah dan kotor. Ada pula new old stock di gudang. Biasanya mereka tak berani untuk sering memakainya karena takut akan merusak seragam.

Tak hanya seragam, ia juga mengoleksi medali, piagam,foto, kotak P3K, gunting, bahkan surat yang dikirimkan istri mereka (prajurit) saat perang. Semua koleksi mereka taruh di ruangan dan lemari khusus, tertata rapi layaknya museum mini di rumah masing-masing. (Sky/M)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 29 September 2013

Penggalan Catatan Awal (bagian 2): Karya-karya UU Hamidy: Menyimpai Nilai-nilai ke-Islam-an (Teks) Bahasa, Sastra, dan Budaya

-- Tuan Guru Haji Syafruddin Saleh Sai Gergaji

Simpaian Nilai-nilai Ke-Islam-an Karangan UU Hamidy

Keyakinan terhadap kebenaran Diin al-Islaam yang terpateri di sanubari tiap pribadi, akan terepleksi bijak pada tindak hidup dan kehidupan keseharian. Implementasi da-ri keyakinan yang melekap mantap pada batin tiap pribadi itu akan terlihat pula mencuat kuat pada perbuatan kerja dan karya sosial, politik, dan budayanya.

Jika suatu keyakinan terhadap sesuatu (ajaran, isme, faham, sistem nilai, ideologi = Diin) telah terbentuk dan merasuk merata pada masyarakat, dia akan menjadi ciri jati budaya bahkan peradabannya. Tingkah polah, dan olah karya, serta gerak hidup (buda-yanya) sentiasa dijiwai pula oleh keyakinan yang bersemi kuat di batinnya itu. Pancar-an sinar kebenaran Diin al-Islam sejak diproklamirkan bersebati dengan Melayu, meng-alir dan padu pula pada zahir karya resam, adat, bahasa, sastra, dan budayanya. (Ani-mistis yang menitis sebelumnya pelan-pelakan ditapis, bahkan dikikis, meski belum da-pat dikuis habis. Begitu pula nafas ke-Hindu-an tidak lagi dihidu dan disudu lagi - walau hingga sekarang masih ada juga sisa baunya). 

U(mar) U(sman) Hamidy telah mampu dengan mumpuni menghimpun, menyusun, dan menuliskan berbagai karangan tentang empedu Diin al-Islam yang padu pada buda-ya Melayu itu. Hingga Shafar 1433 H (Januari 2012) telah lebih lima puluh bukunya yang diterbitkan, meski di antaranya ada pada kumpulan bersama pengarang lain dan karangan bersama. Buku-buku karangannya yang meliputi pendidikan, bahasa, sastra, seni, sosial budaya, dan sosial politik tak luput merajut dari pancaran kebenaran Islam. Sulit kita menemukan karangannya yang tak diramu dengan nafas nuansa ke-Islam-an.

Keinginan menjadikan tulisannya sebagai upaya dakwah, supaya memasyarakat dikirimkan ke berbagai suratkabar agar dapat dibaca oleh khalayak luas. Suratkabar ingin pula dijadikannya sebagai media dakwah. Maka, pada diskusi tentang ‘Problema-tika Mass Media Islam’ yang ditaja Ikatan Masjid Indonesia (IKMI) Koordinator Wila-yah (Korwil) Riau pada 17 Muharom 1407 H (21 September 1986), makalahnya yang berjudul ‘’Beberapa Masalah Media Islam’’, dia mempertanyakan tiga hal; 1) mengapa masyarakat Indonesia (yang sebagian besar ummat Islam) kurang tertarik membaca me-dia Islam, 2) apa sebabnya media Islam kurang menarik bagi ummat Islam, 3) persoalan apa yang ada pada ummat Islam sehingga mereka kurang tertarik membaca media Is-lam. Meski telah berlalu 27 tahun, pertanyaannya masih relevan. Relevansi pertanyaan itu karenba hingga sekarang mass media Islam tak kunjung dapat maju, bahkan yang sudah ada dan pernah sempat jaya tak pula lagi terbit, misalnya SKH Terbit (Jakarta), majalah Panji Masyarakat, ‘’Nasihat Perkawinan, dan Harmonis’’ yang ketiga-tiganya terbit di Jakarta. Jika pun mass media Islam itu terbit, jumlah oplahnya tak dapat menyaingi terbitan umum. Namun beberapa novel bernuansa Islam ada yang best seller books.

Keyakinan yang terpateri mapan di hatinya benar-benar dihayatinya dengan ketaat-an yang kuat kepada Allah Rabb al-’Izzati. Buku yang judulnya tak menyiratkan Islam, Bahasa Melayu dan Kreatifitas Sastra di Daerah Riau (1994) gambar sampul kulitnya ‘Muhammad Bertangkup’ lambangKerajaan Siak. Firman Allah pada Q.S. 68, al-Qolam: 1-7 difahaminya dengan penghayatan dan pengamalan yang dalam dan total kental.

Nun,
Demi qolam (pena penaka) dan apa-apa yang di tuliskan mereka
Dengan karunia dari Rabb,
Anda bukanlah orang ( berkata-kata secara kalap,  dek) gila
Dan, sesunguhnya Anda pasti
memperoleh ganjaran besar terus berterusan
Dan sesungguhnyalah sungguh
Anda sungguh berakhlaq agung teguh
Dan, (kelak Anda) Anda kelak
akan melihat sebagaimana pula mereka menampak
Siapakah nian di antara Anda (yang) gila (bertindak)
Sungguh Rabb Anda sungguh
Dialah yang mengetahui dengan sesungguhnya
Yang tersesat dari jalan lebuhNya
Dan Dialah pula yang mengetahui (pasti)
Siapa saja yang menatang hidayah haqiqi

UU Hamidy dengan piawai telah menyimpai bias tempias nilai-nilai ke-Islam-an (teks) bahasa, sastra, dan budaya (Melayu) pada senarai rangkaian tulisan dan  puluh-an buku karya karangannya yang telah diterbitkan bebagai penerbit. Cecah basah kalam dan dawat ma’rifat para pengarang Melayu, dan resam adat budaya Melayu dengan cermat dan petah telah berhasil pula dengan sangkil dinukilkan UU Hamidy pada berbagai karangannya. Penerokaannya dari (teks) bahasa-sastra-budaya itu ada yang diben-dangkannya tersirat, terselip-selit inplisit sebagai percikan dari renjisan nilai-nilai ke Islam-an. Ada kalanya pula nilai-nilai ke-Islam-an itu dibentangkannya dengan jelas dan gamblang (eksplisit). Secara keseluruhan dapatlah ditegaskan, bahwa semua karya karangan UU Hamidy tak lepas dari nafas ke-Islam-an. Sebagai catatan awal, tulisan ini hanya setakat mencatatnya sekuat dapat hanya sebagai ulasan sekilas saja. (Mudah-mudahan dikaruniakan Allah kekuatan dengan qudrah dan irodahNya untuk mengung-kapkan lebih lengkap lagi dari berpuluh-puluh buku karangannya kelak).

Tampaknya UU Hamidy memang rela berenang dan  bergelimang dengan beraneka kajian yang diterokanya. Tapi dia tak mau hanyut dibawa arus kencang pemikiran yang pincang. Lebih-lebih lagi dia tak hendak tenggelam direntak ‘hantu laut’ pemikiran. Dia tulus bertungkus lumus terus  menerus mengguratkan rumusan hasil kaji-annya berupa tulisan lepas dan berbentuk buku. Dia tak pernah gamang menuangkan cahaya terang kebenaran Diin al-Islam. Keislamannya diperlihatkannya pula dengan menyertakan titimangsa penerbitanannya dengan bulan dan tahun hijroh. Beberapa bukunya juga me-ngutipkan bebebagai ayat al-Qur’an, dan penggalan kisah-kisah hikmah.

Pernyataan yang amat baik dari UU Hamidy, tentang penegasannya bahwa pertum-buhan dan perkembangan Bahasa Melayu yang kemudian satu di antara cabangnya dise-but Bahasa Indonesia  (selain Bahasa Melayu Malaysia, Bahasa Melayu Singapura, Bahasa Melayu Brunei, dan Bahasa Melayu Pattani serta yang lainnya, hssg). Dinyatakan-nya pula, bahwa bahasa yang meningkat peran dan kedudukannya menjadi lingua franka dan  bahasa bangsa: akan mampu menimbulkan semangat persaudaraan budaya di lingkungan pengguna bahasa (Dari Bahasa Melayu Sampai Bahasa Indonesia, Unilak Press, Pekanbaru, l1416/ 1995: viii - ix). Hal ini secara tersirat menyatakan bagaimana Allah Yang Mahabijaksana telah menjadikan bahasa berbagai puak suku bangsa yang puncanya menjadikan Bahasa Arab (yang dinobatkan sebagai bahasa al-Qur’an dan bahasa yang diucapkan ketika ibadah sholat) sebagai pengikat ‘semangat persaudaraan’ ummat. (Simak dan baca:Q.S. 49, al-Hujurot: 9, dan 13). Inilah bahasa yang membina semangat persaudaraan budaya dan ‘aqidah (ukhuwwah) seummat yang memintas dan mengatasi bahasa persaudaraan budaya sepuak sesuku saja. Pada buku jolongnya yang bertajuk Bahasa Melayu Riau (1973) - belum secara intrinsik menukik menilik dan memperlihatkan realitas nafas Islam dengan jelas dan tegas. Kadarnya baru hanya seke-dar menakar kecintaan kepada budaya  puaknya yang telah berjaya menjadikan bahasa Melayu sebagai lingua franka, yang kemudian telah berjasa pula menyumbangkan Ba-hasa Melayu menjadi dasar bahasa negara yang disebut dan dinamakan sebagai  Bahasa Indonesia. (Negara boleh saja bernama Indonesia, tapi sepantas dan setepatnya bahasa ini mesti dinyatakan dan disebut sebagai ‘Bahasa Melayu Indonesia’. Bandingkan dengan Amerika dan Australia yang menyebut bahasa mereka bahasa Inggris, tidak de-ngan nama negaranya. Negara lain yang berba-hasa Arab tidak pula menyebut bahasa persatuan mereka dengan nama negaranya!).

Tulisan UU Hamidy tentang ‘Peranan Cerita Rakyat dalam Masyarakat Aceh’ menyingkapkan torehan sikap ke-Islam-an dari cerita rakyat (puak Melyu) Aceh yang disebut hikayat atau pada ucapan tempatan disebut haba jameun (kabar zaman, hssg). Karangan ini bersama enam karangan (hasil dari Program Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Januari- Desember 1974 di Banda Aceh, sekarang Nangroe Aceh Darussalam)  disertai pendahuluan dan tulisan Alfian sebagai editor termuat pada Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh (Alfian, ed., Jakarta: LP3ES, 1977, khususnya hal. 23-50). Dari penerlitiannya terhadap tiga hikayat - cerita rakyat Aceh - utama dan beberapa hi-kayat lainnya yang menjadi bahan kajian penelitian itu UU Hamidy menyimpulkan, bahwa paling tidak ada enam nilai yang diusung dan terkandung pada hikayat (hal. 44-45) yaitu: moral dan agama, adat, cara (pola, hssg) berfikir, seni dan hiburan, sejarah, dan pengendalian sosial sebagai konsekuensi logis oleh pengaruh nilai-nilai tersebut, terutama pada bidang moral (akhlaq, hssg), adat (resam budaya, hssg) dan agama (Diin al-Islaam, hssg). Jangkauan luas nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi sendi kehi-dupan sosial budaya yang terpintal secara personal-komunal-universal.

Amat cermat pula bagaimana UU Hamidy mengungkap dua sayap makna kata dukun pada budaya dan sikap pandang Melayu. Buku Dukun Melayu Rantau Kuantan Riau (1999) menyatakan bahwa, pedukunan pada prinsip slektif orang Melayu hanya suatu cara menafsirkan alam yang telah Islam menjadi kumulatif totalitas sikap pertalian hubungan alam dan  Allah Pencipta Alam (hal.112). Lebih tegas lagi dijelaskannya de-ngan gambaran skematis (hal 113). Pedukunan menjadi semacam ragam tarikat (cara, hssg) merealisasikan nilai-nilai ajaran Islam. Ada upaya Islamisasi cara pedukunan yang animistis dan hinduistis. Makanya, jika seseorang tidak dapat menduduki jabatan di lembaga pemerintahan, pada zaman dahulu di Rantau Kuantan, memilih posisi menjadi ulama’ atau menjadi dukun (hal. 114). Pada masanya ulama dan dukun sama-sama memiliki peranan besar pada kehidupan masyarakat yang diperlukan para penguasa pa-da sistem adat dahulu (hal. 116). Pada kitab sebelum ini (Estetika Melayu di Tengah Hamparan Estetika Islam, 1991, 35) dinyatakannya mantera Melayu yang pada tradisi terdahulu diubah dengan doa dan tawar sehingga dunia pedukunan Melayu menjadi semakin condong kepada (cerbong, hssg) nafas dan semangat Islam. Jika pada praktik-nya kemudian  menitik kesyirikan, itu terjadi  disebabkan takaran ilmu pengetahuan dan keimanannya. Bukankah hinggga setakat ini hal itu masih dapat bersua juga, yang upa-ya meluruskannya harus pula terus menerus diupayakan sekuat daya dan usaha -  terutama oleh ulama, tuan guru, dan lebai (ustaz: muballigh dan da’i) yang tulus.

Tangkas pula UU Hamidy mengupas dan mengulas nafas nilai-nilai ke-Islam-an novel Bulang Cahaya (Pekanbaru: Yayasan Sagang, 2007), dan kumpulan sajak Tempu-ling (Pekanbaru: Yayasan Sagang. 2002) dua karya Rida K Liamsi, yang dikatakannya dibahas dalam rangka membaca kebesaran Allah SWT (hal. 15). Novel Bulang Caha-ya yang menjadi novel istimewa di belantara budaya Melayu di Riau, mengesankankan bagaimana adat bersendi syara’ yang belum kokoh dengan mudah menimbulkan kerusuhan atau persengketaan. Ketika nilai Islam mulai bersemi, baik Melayu maupun Bugis berpantang ingkar janji. Pertarungan dengan Belanda hanyalah menang atau (mati, hssg) syahid (husn -al-khotimah, hssg) dengan indah (hal. 21).

Saat mendacing kumpulan sajak Tempuling, UU Hamidy memahami amsal tempuling sebagai semangat hati yang arif, tekad pada sukma yang tawaddu’, sikap pada lengan (keuletan kekuatan, hssg) dan pikiran yang jernih Dia harus tahu bila menikam dan kapan pula menyentak, serta tidak  kehilangan semangat ketika tikaman tempulingnya tidak mengena.

Bukunya Demokrasi Direbut Pemimpin Belalang (1433H/ 2012) walau judulnya tak menampakkan ke-Islam-an, muatan isinya kaya dengan nilai-nilai ke-Islam-an. Pada ‘Pembukaan’ Rangkuman dari 43 tulisan yang pernah dimujat pada SKH Riau Pos Pekanbaru, Serambi dan Harian Aceh (Banda Aceh) disajikan dengan niat beribadah kepada Allah SWT, yang ditulis oleh ‘hamba yang hina dan dhoif. Bagian II buku ini bahkan ber sub titel ‘Orang Melayu dan Islam’ yang diantaranya memuat tulisan berjudul ‘’Mitos dan Syari’ah Islam’’ kajian Sejarah Melayu Tun Sri Lanang, dan ‘’Adat Bersendi Syara’’’ ditambah 13 tulisan lainnya.   

Diakui oleh UU Hamidy dari seluruh kajiannya yang telah diterbit lebih dari 50 buku, tiga di antaranya merupakan sari kajian, yaitu Kebudayaan Sebagai Amanah Tuhan (1989), Estetika Melayu di Tengah Hamparan Estetika Islam (199l), dan Nilai Suatu Kajian Awwal (1993). Kalaulah boleh ditambahkan, juga Rahasia Penciptaan (2005). Keempa-empat buku ini dapat dilihat sebagai makrifatullah tekad yang menjadi sikap pandang dan prinsip hidupnya yang tak hendak kerjanya terkatup dan tersungkup dari barokah Allah. Diyakininya tanpa taufiq, rohmat, dan hidayah Allah SWT, dia tak berdaya berbuat apa-apa. ‘’UU Hamidy hanya siapa’’ yang ditulisnya tanpa tanda baca tanya (yang selalu menyertai bukunya yang diterbitkan), tegas menyatakan: kita tak perlu lagi bertanya siapa kita, karena kita hanyalah hamba yang wajib hanya meng-hamba kepada Pencipta dan Penganugerah hidup dan kehidupan hingga maut menjemput: hingga nyawa tiba masanya, hingga ajal menjegal, hingga waktu sampai waktunya.

Tulisnya: manusia yang mampu menghayati pesan kebenaran Ilahi akan mempergunakan potensi budayanya sebagai cara mengabdi kepada Tuhan (Allah, hssg)... se-hingga tampak tindakan budaya itu sebagai kebaikan atau ‘amal sholih. Perjalanan hidup manusia dengan krativitas budayanya tanpa mengindahkan wahyu, hanya akan menye-babkan manusia semakin terikat (kuat dan erat, hssg) kepada benda-benda (sehingga menjerembabkan harapannya menjadi lindap, hssg). Wahyu (Allah-lah, hssg) yang da-pat (meretas sikap materialitas, hssg), membebaskan diri manusia dari belenggu kebendaan (Kebudayaan Sebagai Amanah Tuhan, 1989: 12, 28).

Dituliskan dengan tegas oleh UU Hamidy pada buku Estetika Melayu di Tengah Hamparan Estetika Islam, 1991: seni maupun ilmu dalam Islam telah berawal (dan di-kawal, hssg) sepenuhnya pada penyerahan diri kepada Allah (hal.35). Tiap keyakinan atau pandangan hidup niscaya membekas dalam tiap karya budaya (hal. 85). Muatan estetika orang Melayu meliput tujuh unsur, yaitu 1) pesan, pedoman, dan teladan tentang jalan yang benar; 2) sindiran halus pergaulan sosial; 3) jalan nasib hamba pada suka dan dukanya; 4) cinta sebagai sentuhan batin; 5) alam sebagai lambang dan kiasan hidup; 6) perulangan pola dan bingkai (hal. 54). Pada kitab ini disertakan pula oleh UU Hamidy tiga lampiran. Lampiran l berupa 17 kutipan beberapa kesenian Melayu di Riau yang ada kilau ke-Islam-annya dan proses peralihannnya menuju Islam. Lampiran 2 berisi 17 kutipan pilihan beberapa puisi dan kisah ke-Islam-an. Lampiran 3 mengutip 13 perumpaan dari ayat-ayat al-Qur’an.

Tentang Nilai, 1413H/1993M, disebutkan UU Hamidy paling kurang ada sepuluh macam yang menarik diperhatikan. Kesepuluh-puluhnya itu l) nilai sebagai arti sesuatu; 2) nilai sebagai makna sesuatu; 3) nilai sebagai peranan sesuatu; 4) nilai sebagai guna sesuatu; 5) nilai sebagai kamampuan atau kepandaian; 6) nilai sebagai sudut pandang; 7) nilai sebagai mutu atau kualitas; 8) nilai sebagai bobot sesuatu; 9) nilai sebagai harga sesuatu, dan 10) nilai sebagai hakikat sesuatu (hal. 2-12). Kemudian disajikannya pula lima belas perbandingan antara sistem nilai budaya dengan sistem nilai Islam (hal 97-98). Ditambahkannya pula sebagai contoh ilustrasi nilai dari cerita, budaya, dan pandangan ulama, serta ayat al Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW.

Rahasia Penciptaan, 1425H/2005M, menghimpun karangannya yang pernah di-muat Riau Pos yang dituliskannya dari hasil upayanya menghayati dan memahami al-Qur’an dan hadis Rosulullah SAW. Bagian akhir buku ini (hal.55-89)  menyertakan pan-caran hikmah ajaran Islam yang di antaranya kisah, puisi Rabi’ah al-Adawiyah, doa puitis Imam Khomeini (meskipun dia syi’ah, hssg), dan pantun tarikat Rantau Kuantan.

Upaya bersungguh-sungguh dari lelaki kelahiran Rimbo Guloan, Kuantan Singingi, 17 November 1943 ini, yang dengan teguh hingga usia menjelang tujuh puluh tahun, patut salut disyukuri. Sarjana Alumnus Fakultas Sastra dan Seni IKIP Malang (1970) dan MA Fakultas Sastra dan Sains Sosial Universiti Malaya, yang berpuluh tahun pula menjadi pensyarah (dosen) di berbagai Perguruan Tinggi di Riau - selain di FKIP UNRI - tempat tugasnya sebagai pegawai negeri, benar-benar teruji dan terpuji. Dia telah berupaya dengan sikap sigap menyingkap nilai-nilai ke-Islam-an yang melekap mantap pada (teks) bahasa, sastra dan seni, serta sosial budaya khususnya Melayu (Riau) de-ngan berdelau. Dia membuktikan bagaimana persebatian Islam itu pada ke-Melayu-an.

Penghargaan (sebagaimana diperintahkan oleh  Allah dan yang telah disunnahkan Rosulullah SAW), oleh pemerintah atau pihak-pihak lain. Dari kegigihannya, wajar saja dia dipilih memperoleh dua kali Anugerah Sagang pada kategori yang berbeda, Buku pilihan terbaik Sagang 1998 (anugerah kali ke-3) bukunya Cakap Rampai-rampai Budaya Melayu di Riau. Dan Seniman/Budayawan Pilihan Sagang 2007 (anugerah kali ke-12). Dia layak sebanding duduk bersanding dengan Tenas Effendy (yang telah pula memperoleh Anugerah Sagang, dan doktor kehormatan -HC- dari Malaysia), walau di antara orang berdua ini pada upaya yang sama dengan nuansa yang berbeda. n

Rumah Kediaman, Gang Haji, 9 Zulqa’dah 1434 (15 September 2013)


Tuan Guru Haji Syafruddin Saleh Sai Gergaji, kelahiran Indragiri 1959. Dai dan sastrawan yang menulis sejak 1970-an. Hingga kini tetap menulis meski jarang terpublikasi.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 September 2013

[Alinea] Fakta dan Fiksi

-- Dessy Wahyuni

KAUM realisme sosialis meyakini bahwa sastra mencerminkan kehidupan atau proses sosial. Pada hakikatnya sastrawan tidak bisa terlepas atau melepaskan diri dari kenyataan sosial. Pengarang tidak sekadar menampilkan kembali fakta yang terjadi dalam kehidupan, tetapi telah membalurinya dengan imajinasi dan wawasannya. Oleh karena itu, meskipun tidak akan sama persis dengan kehidupan nyata, karya sastra sering dianggap dan dijadikan fakta sejarah sehingga lahirlah istilah sastra sejarah.

Sastra sejarah merupakan karya sastra yang di dalamnya terkandung nilai-nilai sejarah atau fakta-fakta sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dengan mengandalkan kreativitasnya, seorang pengarang menginterpretasikan peristiwa sejarah pada waktu dan tempat tertentu ke dalam karyanya (sastra sejarah). Dalam sastra sejarah, dengan demikian, fakta sejarah telah diolah (dengan imajinasi dan kreativitas pengarang) dan dituangkan kembali melalui tokoh, seting, dan/atau peristiwa yang dibangun. Mungkin, itulah sebabnya muncul pendapat bahwa sastra sejarah hanyalah suatu upaya untuk merekonstruksi peristiwa sejarah yang pernah terjadi, bukanlah sebuah buku referensi sejarah yang ditulis dengan metode sejarah (Junaidi, “Novel Sejarah: Antara Fiksi dan Fakta” dalam Sastra yang Gundah, 2009).

Sekalipun bersifat fiktif dan imajinatif, sebagai karya yang mengangkat peristiwa sejarah menjadi obyeknya, sekurang-kurangnya sastra sejarah memiliki dua manfaat: (1) dari segi pembaca, sastra sejarah dapat digunakan untuk menerjemahkan peristiwa sejarah sesuai dengan maksud dan kadar kemampuan pengarang melalui bahasa imajinernya; dan (2) dari segi pengarang, sastra sejarah dapat menjadi sarana penyampai pikiran, perasaan, dan tanggapannya terhadap peristiwa (fakta) sejarah. Dalam hal yang terkhir ini, sastra sejarah dapat menjadi “dunia” penciptaan kembali sebuah peristiwa (fakta) sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.

Atas dasar itu, kriteria (harapan) atas sastra sejarah pun ditetapkan oleh para ahli. George Lukacs, misalnya, menulis, novel sejarah harus mampu menghidupkan masa lampau, yang membuat pembacanya mengalami kejadian-kejadian, merasakan suasana sesuai zaman, berhadapan dengan tokoh-tokoh yang dihidupkan, mengenali perasaan-perasaan mereka, semangat mereka, pikiran-pikiran mereka, dan motif-motif perbuatan mereka. Novel sejarah tidak cukup hanya memberikan pengetahuan tetapi pengalaman konkret subyektif dalam bentuk gambaran-gambaran (dalam Suharno, “Membudayakan Novel Sejarah”, 2009).
Sementara itu, filosofi penting dalam ilmu sejarah pun mengatakan bahwa masa lampau merupakan pelajaran bagi masa kini dan masa yang akan datang. Apabila berupa kebaikan, masa lampau itu dapat dijadikan contoh untuk masa depan. Sebaliknya, apabila berupa kesalahan, masa lampau itu bisa dijadikan pelajaran agar tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia yang telah melahirkan (karya) sastra sejarah adalah  “kerusuhan” Mei 1998. Peristiwa sejarah yang sempat mencoreng nama baik Indonesia dan telah membangkitkan kemarahan dunia itu, oleh sejumlah pengarang, diabadikan dalam sastra sejarah, baik berupa puisi, cerpen, maupun novel. Denny J.A., misalnya, mengabadikannya dalam Atas Nama Cinta (kumpulan puisi, 2012). Salah satu puisinya, “Sapu Tangan Fang Yin”, bercerita tentang kasus perkosaan seorang gadis keturunan Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998. Dengan mengambil Jakarta sebagai latar tempat peristiwa, pengarang menggambarkan situasi yang miris: rumah-rumah dibakar, toko-toko dijarah, kerumunan massa membuas, serta perkosaan dan penganiayaan merajalela. Saat itu, Indonesia benar-benar menjadi sasaran kemarahan dunia karena peristiwa memalukan dengan adanya kejadian pemerkosaan dan tindakan rasialisme yang mengikuti peristiwa gugurnya pahlawan reformasi.

Begitu pula yang dilakukan Hary B. Kori’un. Melalui cerpennya, “Luka Beku” (dalam Tunggu Aku di Sungai Duku, 2012: 91—100), Hary memaparkan historisitas kerusuhan Mei 1998. Melalui pendekatan historis, dalam cerpen itu terlihat arti dan makna kesejarahan yang diungkapkan pengarang melalui cerita yang disuguhkannya. Peristiwa kerusuhan yang terjadi serentak di beberapa kota di Indonesia cenderung hanya menimpa warga Indonesia keturunan Tionghoa. Ihwal terjadinya pelecehan seksual dan perkosaan massal menjadi sorotan tersendiri, baik di dalam negri, terlebih lagi di luar negri, sama halnya dengan penjarahan dan pembakaran, serta tindak kekerasan seksual yang banyak menimpa warga keturunan Tionghoa, khususnya yang berusia muda.

Sementara itu, Ratna Indraswari Ibrahim dan Leila S. Chudori mengemas peristiwa Mei 1998 itu dalam bentuk novel: 1998 (2012) dan Pulang (2012). Bedanya, Ratna (melalui 1998) memilih kisah percintaan dengan latar khusus kerusuhan Mei 1998, sedangkan Leila (melalui Pulang) berkisah tentang sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta, dan pengkhianatan dengan latar tiga peristiwa sejarah sekaligus: 30 September 1965 (Indonesia), Mei 1968 (Perancis), dan Mei 1998 (Indonesia).

Keempat (karya) sastra sejarah itu, bila diamati secara mendalam dan sungguh-sungguh, dapat dirasakan adanya perbedaan antara karya sastra yang bersifat fiksi dan sejarah yang bersifat fakta. Karya fiksi lebih mementingkan unsur imajinasi yang bersifat subjektif, sedangkan sejarah lebih mementingkan fakta yang bersifat objektif. Namun, dengan kreativitasnya, keempatnya (pengarang) mampu menyatukan dua hal yang berbeda itu ke dalam karya rekaannya.

Begitulah, pada kenyataannya karya sastra mampu menghadirkan “fakta lain” yang dapat menjadikan fakta sejarah lebih hidup dan kuat. Berkat kekuatan imajinasi pengarang, fakta sejarah yang dikandungnya tidak harus membuat “dunia fiksi” menjadi beku dan kaku, tak berpenghuni, sebab karya sastra tetaplah fiksi, dunia imajinasi. n

Dessy Wahyuni, Pegawai Balai Bahasa Provinsi Riau

Sumber: Riau Pos, Minggu, 29 September 2013

[Sosok] Pamelyn Chee: Bahasa Indonesia, Bahasa Paling Merdu

-- Wuri Kartiasih

Terkesan dengan makanan Indonesia yang lezat dan bahasa Indonesia yang indah. Chee punya kiat jitu bermain dengan aktor dan aktris yang belum pernah beradu akting bersama.

Pamelyn Chee
SERANGOON Road, film bergenre drama aksi tentang keadaaan di Singapura pada masa 1960-an yang penuh konflik mulai ditayangkan di jaringan televisi berbayar HBO setiap hari Minggu pukul 20.00 WIB ini. Film ini bercerita tentang Singapura yang berada di persimpangan masa di mana pemerintahan kolonial Inggris segera berakhir dan kemerdekaan Singapura sudah di depan mata. Pengambilan gambar dilakukan di 103 lokasi, termasuk di Batam, Indonesia.

Salah satu pemain yang ikut syuting di Batam dan terkesan dengan keindahan Indonesia adalah Pamelyn Chee yang berperan sebagai Su Ling. “Saya syuting selama lima bulan di Batam. Batam memiliki makanan yang sangat lezat. Saya juga menyadari Bahasa Indonesia adalah bahasa paling merdu yang pernah ada. Kalian terdengar seperti bernyanyi sepanjang waktu, benar-benar bahasa yang indah. Sekarang saya belajar Bahasa Indonesia,‘ katanya. By the way, Serangoon Road juga dibintangi oleh aktor Indonesia, Ario Bayu yang memerankan Inspektur Amran, perwira polisi Melayu pertama di kepolisian Singapura.

Sebagai warga Singapura, sebenarnya seberapa signifikan peran jalan Serangoon (Serangoon Road)? “Serangoon Road sangat kaya sejarah dan memiliki banyak makna yang berbeda-beda bagi setiap orang,‘ ujarnya.

Ia pun mengungkapkan pengalaman menariknya ketika bermain di film ini. “Hal terbaik menjadi bagian Serangoon Road adalah fakta bahwa kami syuting di Indonesia. Kalian memiliki pengrajin terbaik di seluruh dunia! Semua yang ada di lokasi syuting hasil buatan tangan. Di negara lain Anda tidak akan bisa menemukan hasil keterampilan tangan seperti itu,‘ lanjutnya lagi.

Ketika bermain film ini, Chee serta sesama aktris dan aktor lainnya belum pernah bermain film bersama. Lalu apa saja yang dilakukan oleh Chee? “Yang paling penting adalah break the ice (ungkapan untuk mencoba berteman dengan gaya tidak formal). Joan Chen (pemeran karakter Patricia Cheng) memiliki selera humor yang tinggi, dan kami selalu bercanda di lokasi syuting. Dony Hany (pemeran karakter utama Sam Callaghan) juga demikian. Dalam serial ini saya memiliki hubungan asmara dengan Michael Dorman (pemeran karakter Conrad Harrison),‘ ujar Chee menceritakan apa yang terjadi di lokasi syuting.

“Saya dan Michael biasanya menyiapkan lagu cinta untuk satu sama lain. Tiap-tiap adegan menggambarkan tahap hubungan kami yang berbeda. Jadi sebelum syuting, saya selalu memberi sebuah lagu pada Michael untuk mengungkapkan, ‘Inilah perasaan karakter Su Ling sekarang‘ ‘ dan begitu seterusnya, saling memberi lagu. Saya pikir apa yang kami lakukan menambah kekayaan dari karakter kami berdua. Benar-benar fresh dan sangat romantis,‘ ujarnya menambahkan.

Ada beberapa elemen 1960-an dalam Serangoon Road yang menurutnya menarik bagi warga Singapura modern, di antaranya bagian besar dari budaya jalanan Singapura yang telah hilang. “Kita tahu Singapura telah “membersihkan diri‘ pada 80-an. Semua menjadi sangat bersih dan segalanya tentang higienitas. Saya rasa adegan jalanan dengan orang-orang makan kacang atau pisang lalu membuang kulitnya begitu saja, Anda tahu lah, kesembarangan itu menjadikannya sangat menarik,‘ ujarnya lagi.

“Juga, era itu dihiasi banyak lampu neon, orang-orang selalu bergaul di jalanan, dan selalu saja ada yang terjadi. Saya rasa, dengan Singapura berubah menjadi kota, kami kehilangan banyak rasa lokal. Menurut saya ini sangat disayangkan karena saya menyadarinya sebagai hal paling menarik dari Singapura pada 1960-an,‘ katanya menambahkan.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 29 September 2013








Saturday, September 28, 2013

Sastra Klasik Zaman Kini

-- Evi Melyati

KARYA sastra dalam pergaulan masyarakat modern dewasa ini bisa disebut karya yang tertata apik dalam bahasa yang indah. Tak heran jika sastra jawa klasik tak hanya mengutamakan isi, tetapi keindahan bahasa juga menjadi perhatian sang pujangga. Karya sastra Jawa yang terlahir melalui pengolahan rasa dan laku tapa, disebut sebagai sastra adiluhung atau sastra yang memiliki tingkat apresiasi tinggi.

    Sastra klasik ini tak pernah lapuk dimakan usia, sarat sejumlah nilai simbolis, dan dikenang sepanjang masa lantaran sifat dulce et utile-nya (menyenangkan dan bermanfaat) bagi peradaban umat manusia (Rene Wellek (1955). Alam sadar manusia yang selalu haus siraman imaji, menjadi ruang ideal muara sastra adiluhung. Sejatinya, produk sastra secara umum (puisi, syair, serat, novel, kitab dsb) tercipta bukan dari ruang hampa. Juga bukan produk instan, masif dan duplikatif. Penetrasi sosial budaya turut membangun karya sastra, Toh pada muaranya realitas sosial juga kembali dipengaruhi sastra tersebut. Alih-alih, meski sebagian besar karakternya mengambil bahasa, karya sastra tetap merupakan analisis estetis dan sintesis sebuah realitas tertentu (Gunoto Saparie, 2007).

    Serat dan suluk misalnya, merupakan penetrasi budaya yang berujud akulturasi Islam dan Jawa. Jalinan dipererat dengan narasi ilmiah nilai Islam dalam bentuk kepustakaan. Ini tampak pada Serat Wulangreh, Cibolek, Wedhatama, dan Centhini, serta Suluk cipta waskitha dan Haspiya.

    Sastra jawa klasik hadir melampaui sejarah (trans-historis), ruang dan waktu. Demikian pula obyeknya adalah realitas kehidupan, meskipun dalam menangkap realitas tersebut sang pujangga tidak mengambilnya secara acak. Ia memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan tertentu. Serat Wedhatama karya Mangkunegoro IV misalnya, bertujuan mengajak umat manusia pada kemuliaan budi, dan larangan memperturutkan budi jahat. Mangkunegara menangkap realitas sosial dan pandangan jawa bahwa gejala-gejala lahiriyah, memiliki kekuatan kosmis nominus yang merupakan realitas sebenarnya. Dan realitas itu adalah batin manusia yang berakar dalam dunia nominus itu.

    Berangkat dari konsep tersebut, wedhatama tidak hanya murni karya sastra. Tetapi, juga mengajarkan laku spiritual khususnya terkait proses kebaktian kepada sang pencipta, atau dikenal dengan sembah raga, cipta, rasa dan karsa. Tak salah jika Simuh (1995) menggolongkan wedhatama sebagai sastra profetik (kenabian) lantaran tujuan utamanya pada penghayatan sufistik tinggi. Lain lagi jika realitas sastra jawa klasik itu sebuah peristiwa sejarah, maka sang pujangga mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang. Kecuali itu, sastra adiluhung dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa sejarah. Sebagaimana karya sejarah, sastra adiluhung merupakan penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang. Ini dapat dilihat dalam serat Babad baik babad tanah jawa, babad Diponegoro, babad tanah sabrang dan sebagainya.

    Sastra jawa klasik adalah dunia yang bersifat dinamis, relatif, dan bukan eksklusif. Sastra jawa klasik tetap enak dicermati, terutama di era modernisdasi saat ini akan tampak nilai-nilai sastranya yang terkait dengan kepribadian manusia. Karena ketinggian tingkat apresisasinya, sastra jawa klasik sangat bermutu lantaran mampu menghaluskan rohaniah; mempertajam visi, misi dan ruang imajinasi, membuat manusia santun jiwanya, bertambah pengetahuannya, berkepribadian mulia, dan luas jiwanya. Misalnya dalam Serat Wulang Reh Karya Pakubuwono IV tersirat ajaran menjadi orang terhormat. Menurut wulang Reh, menjadi orang terhormat tidak mudah karena mesti jauh dari sifat adigang, adigung dan adiguna, atau membanggakan kelebihan yang dimilikinya. Wulang reh juga momot aturan tingkah laku yang utama.

    Apresiasi pada sastra jawa aklasik, memang meniscayakan wawasan yang luas, ketajaman pikiran dan kehalusan perasaan. Karena ia dikemas dalam bentuk-bentuk simbol yang multi tafsir. Misalnya ajaran manunggaling Kawula dan gusti, disimbolkan dalam lakon bima Suci. Tokoh Bima dalam serat ini digambarkan sebagai kesatria perkasa dengan kekuatan yang digdaya, dan seorang brahwana yang memiliki kearifan batin (waskita). Bima sejatinya merupakan simbol tokoh mistik jawa (Haryanto, 1990), yang bertemu dengan Tuhannya (Dewa ruci). Proses masuknya Bima ke tubuh Dewa Ruci diartikan sebagai manunggalnya hamba dengan tuhannya.

    Menurut T. S. Eliot, mengukur kesastraan sebuah karya sastra adalah dengan kriteria estetik, sedangkan mengukur kebesaran karya sastra adalah dengan kriteria di luar estetik (Lubis, 1997: 15). Salah satu kriteria estetik yang bisa dipakai adalah kriteria norma sastra. Rene Wellek menyatakan bahwa norma sastra adalah tata nilai impilisit yang mesti ditarik dari karya sastra dan menunjukkan karya sastra sebagai keseluruhan. Norma karya sastra itu terdiri dari beberapa lapis; lapis suara (berupa kata), lapis arti (berupa kalimat), dan lapis obyek (berupa dunia sastrawan).

    Serat Wedhatama karya Sri Mangkunegara IV misalnya; lapis suara berbentuk tembang gambuh. Lapis arti berisi pendidikan budi pekerti antara manusia dengan sesama, lingkungan/ makhluk hidup dan dengan tujannya. Sementara untuk menjamin martabatnya, seseorang mesti menguasai 3 syarat wirya (keberanian) yaitu: berani berkurban arta (harta), raga (badan jasmani) dan rasa (jiwa). Sosok individu hasil tempaan tiga wirya ini, adalah individu yang Tri winasis artinya cendekia yang cerdas, tangguh dan arif memaknai kehidupan. Lapisan metafisika berupa ajaran penyembahan kepada sang pencipta yang dikenal dengan

    Selain itu, sastra jawa klasik menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka sastra jawa klasik berusaha menggambarkan dunia dan kehidupan manusia melalui kriteria utama yaitu "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak digambarkan.
   
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 28 September 2013

Friday, September 27, 2013

Penyair Gebrak KPK dengan Puisi Menolak Korupsi

Oleh Marlin Dinamikanto

Penyair Senior Taufik Ismail didampingi Komisioner KPK saat menelaah terbitnya buku Puisi Menolak Korupsi di Auditorium Gedung KPK, Jl Rasuna Said, Jakarta, Jumat (27/9) Penyair Senior Taufik Ismail didampingi Komisioner KPK saat menelaah terbitnya buku Puisi Menolak Korupsi di Auditorium Gedung KPK, Jl Rasuna Said, Jakarta, Jumat (27/9) Foto : Sayang.com/Okky

Jakarta, Sayangi.com - "Surprise," ucap singkat Koordinator Gerakan Puisi Menolak Korupsi (PMK) Sosiawan Leak, usai diskusi dan peluncuran buku "Puisi Menolak Korupsi" edisi 2a dan 2b, di Auditorium Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Jum'at (27/9).

Pernyataan Koordinator Gerakan PMK itu dibenarkan penyair lainnya. "Sambutan KPK luar biasa," ulas Wage Teguh Wijono, penyair Purwokerto yang menghidupi keluarganya dengan menjadi tukang sol sepatu keliling.

Memang, empat komisioner KPK, masing-masing Abraham Samad, Busyro Muqoddas dan Zulkarnaen sore itu tampak duduk di panggung depan. Sedangkan Bambang Widjojanto, komisioner KPK lainnya, tampak duduk-duduk di belakang bersama penyair Jose Rizal Manua dan para musisi dari Komunitas Sastra Kalimalang.

Acara yang juga menghadirkan penyair senior Taufiq Ismail dan Eka Budianta selaku penelaah itu dipandu langsung oleh Juru Bicara KPK Johan Budi, berlangsung dalam suasana yang kocak dan segar.

"Saya akan membacakan puisi dari Bambang, tapi ini Bambang yang lain, bukan Bambang Widjojanto, kalau Bambang Widjojanto urusannya sprindik," celetuk Busyro saat didaulat membaca puisi.

Acara peluncuran buku ini, ucap Ketua KPK Abraham Samad, sekaligus menandai hadirya klub baca KPK. "Jangan remehkan kekuatan kata-kata. Bung Karno memerdekakan Indonesia juga menggunakan kekuatan kata-kata, begitu juga Napoleon Bonaparte saat menakhlukkan Eropa," timpal Juru Bicara KPK Johan Budi.

Taufiq Ismail mengaku belum sempat membaca semuanya. Namun dia terkesan dengan karya Suyitno Ethex, penyair asal Mojokerto yang mengaku bingung setiap ditanya oleh anaknya, apa itu korupsi. "Kalau Suyitno Ethex bingung ditanyai anak, kalau saya bingung ditanyai cucu," ucap Penyair Angkatan '66 itu.

Eka Budiatna pun mengaku merasa surprise, karya yang sebelumnya dikira hanya sumpah serapah ternyata, meskipun diakuinya ada yang belum pantas disebut puisi, banyak juga yang imajinatif. Namun secara umum, penyair yang terbilang senior ini menyambut baik lahirnya Gerakan Puisi Melawan Korupsi.

Antologi PMK yang diterbitkan Forum Sastra Surakarta memang sudah terbit dua edisi. Edisi 1 terbit bulan Mei. Dan Edisi 2, karena melibatkan 197 penyair, jelas Sosiawan Leak, maka PMK edisi II dibagi dalam edisi 2a dan edisi 2b. "Terbitnya bareng, bulan September ini mas," tandas Sosiawan.

Dalam kata pengantar buku PMK edisi 2a dan 2b, Komisioner KPK Bambang Widjojanto menyambut baik terbitnya buku ini. "Para penyair dengan kekuatan pena, kata dan kalimatisasinya dapat melakukan sentuhan, hentakan dan "tikaman" atas kesadaran personal dan sosial masyarakat agar kekuasaan tidak ngapusi, korupsi dan mengurusi dirinya sendiri saja," tandas Bambang. (MARD)

Sumber: Sayangi.com, Jumat, 27 September 2013 
http://www.sayangi.com/hukum1/read/6820/penyair-gebrak-kpk-dengan-puisi-menolak-korupsi








Penyair Indonesia 'Gebrak' KPK dengan Sajak

-- Ayu Cipta

TEMPO.CO, Jakarta - Penyair dari berbagai daerah akan datang ke gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini, Jumat, 27 September 2013. Mereka akan menyalurkan aspirasinya melalui gerakan Puisi Menolak Korupsi (PMK). Menurut Koordinator Gerakan PMK, Sosiawan Leak, para penyair ini akan membacakan puisi-puisi berbau mantera penolakan korupsi. "Kami juga akan berdiskusi mengenai buku kumpulan puisi dengan judul Puisi Menolak Korupsi Jilid II," kata Sosiawan, penyair dan deklamator, kepada Tempo, Jumat, 27 September 2013.

Menurut Sosiawan Leak, antologi puisi PMK Jilid II ini merupakan kesinambungan antologi Jilid I yang memuat puisi karya 85 penyair Indonesia. Dalam antologi jilid pertama seolah meraba penyair siapa saja yang setuju dengan gerakan menolak korupsi. Sambutan penyair ternyata hangat. "Ada 197 penyair terlibat dalam sumbangsih puisi jilid II a dan b," kata Leak.

Gayung bersambut dari KPK. Komisioner KPK Bambang Widjojanto berkenan memberikan kata pengantar dalam antologi Puisi Menolak Korupsi jilid II ini.

Dalam pengantarnya, Bambang mengapresiasi sekaligus mengucapkan selamat dan memberikan proviciat kepada para inisiator, seluruh penulis, koordinator, tim penyunting, dan juga penerbit buku: Forum Sastra Surakarta.

Bambang mengusulkan kepada pembaca, penulis, dan penikmat keindahan puisi untuk membaca buku puisi ini. "Kami mencoba membaca beberapa puisi secara lepas dan tuntas dan hasilnya sungguh menggairahkan. Setidaknya kepenatan seolah terusir karena selama ini terbiasa membaca bahasa hukum yang ajeg, kering dan linier. Kesemuanya tidak menimbulkan sensasi serta desiran keindahan," tulis Bambang dalam kata pengantar buku ini.

Menurut Bambang, antologi Puisi Menolak Korupsi adalah bentuk keterlibatan masyarakat di dalam pemberantasan korupsi yang ada landasan hukumnya dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Bukan tidak mungkin sebuah gerakan sosial pemberantasan korupsi yang bersifat struktural dilakukan dan terjadi melalui ketajaman pena dan kekuatan kata-kata yang menginsiprasi kesadaran sosial masyarakat," ujar Bambang.

Sumber: Tempo.co, Jumat, 27 September


Sunday, September 22, 2013

[Refleksi] Puisi

-- Djadjat Sudradjat


HARI ini puisi masih terus ditulis. Hari ini puisi masih diterbitkan dan (mungkin) dibaca. Hari ini puisi masih dibicarakan meski kerap oleh kalangan sendiri. Hari ini masih ada yang bangga dan ingin menjadi penyair. Dan itu melegakan.

Pembahasan buku puisi  Iwan Kurniawan, Rontaan Masehi, di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta (20-9), salah satu bukti puisi masih ada "tempat". Saya tak hendak bicara soal pencapaian estetika dan pembaruan sastra. Yang terpenting ia menulis puisi, sebuah upaya "pembebasan" diri sendiri. Dan, puisi ditulis (terserah) untuk rupa-rupa tendensi.

Kita ingat di suatu massa ketika puisi "menjalankan tugas penting" tentang ikrar persatuan, diskursus filsafat, dan polemik arah kebudayaan. Dua hari menjelang Sumpah Pemuda, Muhammad Yamin menulis sajak sembilan bait, Indonesia Toempah Darahkoe,  tentu dengan spirit persatuan yang menggebu: "Tumpah darah Nusa-India/ Dalam hatiku selalu mulia/ dijunjung tinggi atas kepala/ Semenjak diri lahir ke bumi/ Sampai bercerai badan dan nyawa, /Karena kita sedarah-sebangsa/ Bertanah air di Indonesia."   

Sutan Takdir Alisyahbana (STA) di satu pihak dan Sanusi Pane dan beberapa nama  di pihak lain, dalam polemik kebudayaan, juga memakai puisi sebagai alat. Rupanya STA tak merasa cukup dengan beberapa tulisannya–juga Sanusi—termasuk tulisan awal yang memancing polemik itu, Menoedjoe Masjarakat dan Keboedajaan Baroe: Indonesia Prae—Indonesia, Pujangga Baroe, 2 Agustus 1935).

STA menulis: "Kenangan lama rasa beku,/gunung pelindung rasa pengalang./ Berontak hati hendak bebas,/ menyerang apa segala menghalang, /karena kami telah meninggalkan engkau,/ tasik yang tenang, tiada teriak,/ diteduhi gunung yang rimbun/ dari angin dan topan." (Menuju ke Laut).
Sanusi Pane menjawab: Aku mencari,/Di kebun India, Aku pesiar/ Di kebun Yunani, Aku berjalan/ Di Tanah Roma,/ Aku mengembara/ Di benua barat.// Segala buku/ Perpustakaan dunia/ Sudah kubaca, /Segala  filsafat/ Sudah kuperiksa// Akhirnya 'kusampai/ Ke dalam taman/ Hati sendiri// Di sana Bahagia/ Sudah lama/Menanti daku. (Mencari)

Juga "patriotisme"  Chairil Anwar di masa revolusi kemerdekaan dengan beberapa sajaknya  Dipenegoro,  Keluarga Gerilya, Perjanjian dengan Bung Karno, dan sajak-sajak serupa yang ditulis penyair lain. Ia sah belaka sebagai puisi yang punya "tugas". Tak soal puisi menjadi alat, tak soal puisi terlibat. Terlebih di zaman ini, era kebebasan segala urusan, termasuk juga sastra. Ia tak tergantung kritikus. Tak terbelenggu isme-isme, ideologi, guna (sastra untuk sastra atawa untuk masyarakat). Juga tak terperangkap dalam kotak angkatan dan periodesasi. Sastrawan hari ini adalah manusia tanpa angkatan.

Puisi (juga sastra) hari ini  mewakili sang pengarangnya sendiri. Menjadi juru bicaranya sendiri. Ia bebas membawa "pesan kenabian", suara kaum urakan, para demonstran, kaum penghibur, atau sekadar rekaman debur ombak di terpa terang rembulan. Yang terpenting dalam puisi, ia berjejak suara "kejujuran" penulisnya.
Biarlah puisi hadir dengan kebebasannya. Sebagai arus utama atawa sekadar penyeimbang kebenaran-kebenaran yang  punya banyak kotak. Biarlah....Yang naratif atau yang liris,  yang berkhotbah atau yang bergumam, tentang kekuasaan atau bunga mawar. Sebab, satu-satunya tugas puisi yang terpenting, ia tetap hadir. Dibaca atau tidak, dimengerti  atau disalahpahami..... n

Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 September 2013

Ikhtiar Menakali Tuhan

-- Riza Multazam Luthfy

Puisi bukan sekadar alat perecok urusan politik, sosial, ataupun moral. Lebih dari itu, puisi dijelmakan sarana menjajaki keakuan sekaligus menggapai keakraban dengan Tuhan.

MENGGAUNGKAN ekspresi spiritualitas penyair sebagai homo religious. Itulah di antara misi yang coba digencarkan Muhammad Asqalani Eneste (MAE) dalam buku kumpulan puisi terbarunya bertajuk Abusia (Mei, 2013). Maklum, bagi MAE puisi bukan sekadar alat perecok urusan politik, sosial, ataupun moral. Lebih dari itu, puisi dijelmakan sarana menjajaki keakuan sekaligus menggapai keakraban dengan Tuhan.

Dengan coraknya sendiri, MAE ingin menggambarkan hubungan antara dirinya dan Tuhan bukan sekadar bersifat kontraktual dan berbentuk pola: hamba-pencipta (‘abd-‘abid), melainkan juga seperti sepasang teman yang identik dengan keakraban. Apalagi, didukung dengan diksi yang sangat gamblang, hubungan tersebut bisa dengan mudah diendus oleh pembaca. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kadar dan waktu tertentu, kedekatan yang terjalin antara manusia dan Tuhan tidak perlu lagi disembunyikan. Bahkan, usaha untuk menggembor-gemborkannya merupakan suatu keharusan dan keniscayaan. Kedekatan yang dinyatakan penyair di antaranya bisa disimak dalam puisi berikut!

lude 1
pada lubang gelap desember, aku
diperkosa hujan
tubuhku melahirkan janin Januari, yang
tak berbadan
aku memeluk tubuh Tuhan, memanjat
tiang gantungan


Saking dekatnya aku penyair dengan Tuhan, upaya pelarian dari kutukan (tubuh melahirkan Januari tak berbadan) dilakukan dengan cara memeluk tubuh Tuhan. MAE menawarkan frase yang nyentrik sekaligus menggelitik dalam konteks peribadatan. Hal ini mengisyaratkan bahwa dengan cara merapatkan diri dengan Tuhan, ia bisa mendapatkan perlindungan.

“Memeluk” pastilah mengalami penyortiran panjang. Kata ini dipilih bukan sekadar karena terlintas sesaat dalam minda ataupun tersesat dalam mimpi penyair. Memeluk adalah upaya merekatkan diri dengan tujuan utama menghadirkan kehangatan. Bila dikaitkan dengan baris sebelumnya: pada lubang gelap Desember, aku diperkosa hujan, maka tampaklah dalih penyair.

Hujan yang menggumulinya dengan rasa dingin mencekam, akhirnya dihilangkan dengan cara menyelundupkan kehangatan. Rasionalisasi yang barangkali ringan diterima logika, sebab tubuh Tuhan merupakan tempat bersandar paling nyaman. Bahkan, Tuhan sendiri adalah sang pemberi kehangatan.

Adapun frase memanjat tiang gantungan adalah sikap pasrah penyair terhadap segala perlakuan Tuhan. Pada saat itu, keakuan sang penyair dileburkan sepenuhnya dalam diri Tuhan. Dengan cara berserah diri, penyair mengharapkan Tuhan berkenan mencurahkan kasih sayang. Jadi, esensi dari frase memanjat tiang gantungan, yaitu upaya berburu perhatian dalam sikap kerendahdirian.

Dalam khazanah kesusastraan Indonesia, keakraban aku penyair dengan Tuhan sering ditemukan dalam beberapa karya penyair ternama. Sebut saja puisi Joko Pinurbo (Jokpin) berjudul Doa Seorang Pesolek.
Tuhan yang cantik,
temani aku yang sedang menyepi
di rimba kosmetik


Bila disandingkan, puisi MAE dan Jokpin sama-sama berusaha mengakrabi Tuhan dengan cara masing-masing. Perbedaannya, dalam puisi Doa Seorang Pesolek, jarak antara manusia dan Tuhan masih begitu kentara, sedangkan puisi lude 1 menggambarkan bahwa antara keduanya seperti tidak berjarak. Hal ini mengisyaratkan keakraban aku penyair dalam dua puisi tersebut memang bertingkat.

Bermodal kepercayaan diri penuh, MAE seakan berkoar bahwa rasa takut dalam jiwa seorang hamba seyogianya senantiasa dipupuk dan dipelihara. Barang tentu bukan dengan menjauh-hindarkan diri dari pencipta, sebagaimana ketika berjumpa dengan hantu atau malapetaka. Akan tetapi, sebaliknya.

Rasa takut yang dimaksud wajib ditunjukkan dengan cara mendekat-lekatkan diri kepada Tuhan, tanpa disertai curiga serta buruk prasangka. Bagaimanapun juga, seorang hamba harus berkeyakinan segala ketentuan Tuhan digariskan dalam kondisi terbaik sehingga tidak pantas kiranya ia menyudutkan Tuhan ketika menemui perkara yang dalam timbangan logika cenderung kontradiktif-kontraproduktif. Kewajiban manusia hanyalah mengamini keputusan Tuhan, dengan keyakinan utuh bahwa di dalamnya terkandung hikmah serta kebaikan.

Proses pendekatan di atas apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh, pada akhirnya dapat mengantar kedudukan manusia melesat lebih tinggi. Jika dilakukan secara intens, tak ayal ia pun akan mengalami ekstase dalam pengembaraan spiritual karena berhasil “merasuki” Tuhan.

Tuhan, baginya, lebih lekat dan tancap dari dirinya sendiri, sebagaimana layaknya Tuhan yang lebih dekat dari urat nadi. Akhirnya, hubungan antara Tuhan dan manusia bukanlah bercorak: penguasa—yang dikuasai (dengan indikasi keterpaksaan), melainkan kekasih—yang dikasihi (dengan ciri utama: kemesraan).

Kemesraan antara Tuhan dan aku penyair antara lain bisa dirunut dalam puisi istikharah DNA (halaman 8).
setelah mengecup kening-Mu
rindu mengaku tak mampu bersiteru
dengan candu

MAE sengaja menggunakan frase mengecup kening-Mu sebagai gambaran keintiman dengan Tuhan. Dalam konteks ini, kata-kata didaulat sebagai sarana pengurai rindu. Kata-kata berpretensi mengungkapkan sakau kepada Tuhan. Hal yang kerap dilakukan oleh kaum Sufi dalam menunjukkan rasa cinta (mahabah) kepada Sang Pencipta (al-Khaliq), semisal Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi-nya.

Barang tentu tidak semua pembaca bisa menikmati gaya dan metafora yang disajikan MAE. Bagi mereka yang skeptis atau bahkan konservatif, puisi-puisi MAE bernada arogan dan enggan memedulikan kesopanan. Dalam puisi-puisi MAE tersimpan kesombongan membabi buta yang layak sirna.

Bagaimana tidak? Berbekal bahasa yang transparan, MAE gemar membuat pembaca geram sambil menudingkan telunjuk. Guna membuktikannya, periksalah puisi Yang Tak Lagi Senggama (halaman 63).
kelaminku jatuh ke dalam kolam
gairah dan naluriku memuncrat
tangan tuhan mencincang selangkangan
kelelakianku terbuang ke lubang larangan


Bila ditelisik dengan cermat, puisi di atas menghidangkan beberapa baris kalimat yang kurang ajar, sebab kata Tuhan dipautkan dengan hal-hal tabu dan vulgar. Bagi para pengusung etika, jelas-jelas hal ini merupakan pelanggaran norma. Apalagi, menilik konteks pembicaraan, seakan-akan aku penyair tidak terima dengan perlakuan Tuhan yang telah mencincang selangkangan.

Itulah mengapa, terdapat indikasi kuat bahwa buah tangan MAE cenderung dikategorikan sebagai karya urakan ketimbang manis dan penurut. Tak mengapa. Kategorisasi, bagi MAE, tidak akan dipersoalkan atau bahkan dibela mati-matian. Sebagai penyair yang berproses, ia hanya berambisi mengekspresikan kegelisahan yang telah dan sedang digumuli.

Dari puisi di atas, di satu sisi, tampak kebengalan serta keliaran penyair dalam berimajinasi. MAE memperlakukan puisi guna menampakkan diri sebagai hamba yang genit dan nakal. Di sisi lain, pengalaman spiritualitas penyair dibocorkan dengan tetap mengawat erat tradisi lirisisme.

Dalam buku anggitan MAE ini, bertebaran puisi-puisi yang memprovokasi untuk mengukur sejauh mana hubungan pembaca—sebagai hamba—dengan Sang Pencipta. Sebuah ikhtiar dalam rangka reinterpretasi diri dalam bingkai mikrokosmos dan makrokosmos. Walaupun demikian, masih ditemukan juga sebagian kecil puisi yang memperlihatkan sikap penyair selaku makhluk lemah (dlaif) menghadapi kebesaran Tuhan. Sebut saja puisi Ulang Tahun, Sabda Asa, dan Dalam Pelarian.

Sesuatu yang tidak mengherankan. Mengingat, MAE pernah tumbuh besar dalam pesantren, tempat yang erat dengan ritual pendalaman agama serta perenungan hakikat hidup sesungguhnya.

Riza Multazam Luthfy
, Kontributor tetap di komunitas Sastra Minggu.


Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 September 2013